Sedulurku tercinta, kalau aku sebut golden, itu maksudnya kepingan uang jaman Belanda, yang waktu aku masih kecil dipakai untuk ngeroki ibuku kalau pas aku masuk angin. Golden ini bernilai emas, ditangan seorang ibu tua di daerah Tegal karena manakala orang kampung masuk angin, dengan golden itu, di tangan ibu tua penyakit masuk anginnya atas izin Allah, jadi sembuh.
Ibu tua tukang kerok masuk angin ini, manakala sedang dinas ngeroki pasian baik yang datang ke gubuknya atau ia mendatangi pasen yang memanggil, gerakan tangannya yang lincah penuh hasrat doa itu, sambil ngeroki orang hatinya sambil sholawatan.
Ketika ditanya orang-orang kenapa melakukan amalan ini, maka dia jawab dengan tangkas bagai orator ulung, bahwa Kanjeng Nabi saw itu pendatang yang di nanti dengan debaran hati, kedatangannya dinanti dan kedatangannya memberi. Tiada yang lepas di kehidupan yang ada, kecuali disucikan secara menyeluruh, tanpa batas. Tiada jeritan yang luput dari cintanya, walau domba atau onta dan semesta ikut merasakannya. Beliau itu pemimpin yang unggul, seluruh umat menjadi tanggung jawabnya, namun sedemikian sederhana hidupnya di tengah umat. Beliau itu tidak sekedar memberi contoh, namun ikut serta dalam penderitaan merintis jalan kehidupan yang bagai taman.
Si tukang kerok itu didera rasa malu, karena hanya demikian cara dia membalas cinta yang agung itu. Hanya dengan golden itu yang menjadi sarana hatinya lari sekencang-kencangnya untuk meraih kafilah Kanjeng Nabi itu, sambil menolong sesama, termasuk yang minta kerok itu multi etnis, multi agama dan ormas, ia ekspresikan dalam keseharian, tanpa dikenal oleh media apapun, ia tidak ingin dikenal kecuali, pelayanan atas percikan cinta Nabi itu.
Sekampungnya, ada nenek tua ibunya orang2 berada di Jakarta mudik lebaran, anak-anaknya menawarkan akan membangun rumah tua itu, nenek tua itu bilang, jangan nak aku tinggal berapa lama lagi lihat kamu2 dan tinggal di dunia ini yang aku lihat di tv sedemikian gaduh. Anaknya lalu menawarkan membelikan mobil mewah, nenek itu menolak, jangan nak, pergi2 sudah kita nikmati bersama sampai ujung dunia saka kamu, sekarang aku punya rumah sangat indah di hati ini, yakni aku merasakan kehadiran Tuhan di sini, biarlah aku nikmati kesendirian ini, sunyi nak tapi kudus (suci).
Dan ketika anaknya menawarkan untuk menaikkan haji ke baitullah dengan beaya haji plus, ibunya meneteskan airmata, sambil menganggukkan kepala, tanda persetujuan. Tapi nak, nenek itu melanjutkan, apakah kamu semua tidak keberatan. Tidak mak, kami semua malah gembira kenapa baru kali ini ibu bilang. Kamu tahu kan, ibu ini sering masuk anginen, engkau semua jauh dariku, berada di luar kota semua, kalau pas aku sakit langgananku tidak ada lain kecuali tukang kerok dengan uang golden itu di kampaung ini.
Pas dia ngeroki aku, aku jadi larut dalam getaran rindu dia sama kanjeng Nabi, dia itu berselawat melulu, kayaknya seperti aku menggendongmu dulu sambil berdendang, dan tukang kerok itu aku rasakan keronto-ronto atine, andai ada rejeki tentu ingin ziarah ke pusara Kanjeng Nabi, tapi siapa nak yang peduli. Aku sembuh tidak sekedar kerokan golden itu, tapi shalawatnya itu lho, mewakili kerinduanku kepada Kanjeng Nabi itu, ketika aku memethik derita Kanjeng Nabi seperti yang sering diceritakan tukang kerok itu, sembuhlah penyakitku,aku juga antarkan ziarah kesana. Tapi nak, tolong, tolong, maafkan mamakmu, ikhlaskan hatimu, aku mau berangkat ke baitullah asal tukang kerok itu kau beayai, bersamaku…
Kawan2, mereka berdua pada akhirnya berangkat atas beaya anak2nya, haji plus, terbang ke baitullah dengan berbekal kerinduan. Di hati tukang kerok pakai uang golden itu tak terbayangkan gembiranya, sekeping golden mengantarkan kepada orang yang selalu dia panggil-panggil itu, ia berfikir dan merenung andai golden tanpa sholawat apa jadinya.....
Labbaik allahumma labbaik, labbaika laa syarikalaka labbaik innal hamda wannikmata laka walmulk laa syarikalak… labbaik…
Kamis, 03 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar