Sedulurku tercinta, pertanyaan Tuhan: nikmat manakah yang bisa kau dustakan, sebenarnya merupakan salah satu pernyataan yang sangat obsesif, maknanya karunia-karunia yang tak terhitung ini selalu mengelebat di hati, ujungnya ingat Dia sangat sulit dihilangkan. Dimana kita berpaling di situ nampak wajahNya, secara abstaksi.
Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam hari, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang cerdik cendikia. Yakni, orang yang ingat Dia ketika duduk, berdiri dan berbaring, mereka selalu berfikir atas ciptaan langit dan bumi. Pada akhirnya menggetarkan hati seraya berdo'a: Wahai Tuhan kami tidak ada yang Kau cipta semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, jauhkan kami dari api neraka.
Bagi pecinta selalu obsesif, sehingga ada ungkapan: Barang siapa mencintai sesuatu, ia akan menjadi budaknya. Obyek cinta sedemikian melimpah, soal level itulah yang akan menjadi peringkatnya, karena jiwa selalu berpotensi hasrat mencari. Karena masing-masing mencari jawaban hasrat dan gairah, maka sebenarnya orang tidak mungkin punya waktu untuk menghakimi pihak lain, kecuali mengenang atas kebaikannya, sekecil apapun--biar tumbuh cinta.
Gambaran-gambaran obsesi ini yang tak bertepi ini bukan bahan olok-olok, malah menjadi ayat-ayat perjalanan arus cinta itu. Lihatlah orang suku burung, suka motor, suka mobil, suka pacar, suka, suka, suka, suka. Atas kesukaannya ini, mereka merasakan manisnya derita dengan bukti merawatnya dengan sepenuhnya, sampai lupa selain obsesinya itu.
Dalam hitungan detik, ketika Nabi Musa mandi melihat seekor belalang dengan warna keemasan, menjadikan beliau mengejarnya sampai lupa kalau beliau itu lari dengan telanjang, hingga Tuhan menegurnya. Baru seekor belalang yang sangat indah menjadikan Musa detik itu juga lupa diri dan lupa Kekasihnya itu.
Lihatlah banyak manusia mencintai sesuatu, sampai lupa diri dan lupa Tuhannya. Andai arus cinta itu menanjak, maka manusia akan memperoleh puncaknya: Cinta Tuhan dan tidak melupakan semuanya, termasuk dirinya itu.
Tersebutlah cerita, seorang yang baru pulang haji bilang kepada Buya Hamka: Buya….ternyata aku melihat sendiri di tanah suci dan di kota Nabi, ada pelacur. Dengan menggoda orang itu Buya menjawab: Di Jakarta, aku tidak pernah melihat ada pelacur....
Kawan-kawan, bisa anda bayangkan, orang yang menjadi tamu Allah saja masih terbersit dalam pikiran yang tak hilang: pelacur. Karena ini bagian dari tingkat obsesi cintanya maka pikiran itu dijawab oleh Allah, walau di tanah suci dan di kota nabi, Dia mempertemukan dengan obsesinya itu, seorang pelacur. Sementara di Jakarta yang jelas-jelas banyak kemesuman bertebaran, karena dalam ketakhilangan atas ingat Tuhan selalu, maka orang ini dijawab Tuhan dengan dihanyutkan kepada pemikiran yang selain pelacur: bentuknya bisa shalat, tahajjud, tadarrus, silaturrahmi, memulyakan tamu, menghargai tetangga, melayat yang meninggal, menghadiri undangan saudara, menolong anak yatim, mendo'akan orang bersin, menjawab uluk salam, bercengkerama dengan keluarga, menghadiri pengajian, menyingkirkan duri dari jalan, tersenyum ketika ketemu saudara dan seterusnya.
Mereka terobsesi Tuhan dengan menyapa semua miliknya dengan cinta sepenuhnya. Kalau orang bilang obsesi itu penyakit jiwa, benar adanya kalau hanya mandek kepada kurnia-kurnia. Tetapi tidak penyakit jiwa kalau obsesi itu terhadap Dia, karena Dia tidak butuh makhluk maka cinta itu turun kepada karunia, atas energi dan restu Tuhan. Kalau begitu, di Jakarta tidak ada pelacur, tidak ada, tidak ada….
Jumat, 18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar