Kamis, 17 Juni 2010

Taburan Cinta

Sedulurku tercinta, semalam aku melayani sedulur Naqsabandi ikut2 nyapu2 di Hotel Semesta, milik temanku yang menggratiskan kamar mewahku (jazakumullah), mengadakan acara silaturrahmi dengan umat, silaturrahmi cinta. Bagai Sunan Kalijaga diriku, ketika ingin menjumpai Raja, beliau nglamar menjadi tukang cari rumput untuk merawat kuda Raja, kendaraan saat itu.

Dengan melayani, aku menjadi hamba, tidak memandang apa2 kecuali membahagiakan semuanya. Bukan kali ini saja, itulah nafas hidupku membayar Cinta. Bagi Raja yang saat mau pergi melihat kuda sangat terawat, lalu menanyakan siapa yang memelihara. Raja mencari Sunan, bukan Sunan mencarinya. Kalau cara ini kita bawa dalam pelayanan makhlukNya, tentu Sang Maha Raja akan menemui kita, dengan cara menyelipkan hadiah di sudut hati kita yang tak ternilai harganya, tiada lain wujudnya adalah Cinta.

Bisa dibayangkan, hanya pelayanan yang tak seberapa itu, aku dipertemukan dengan saudara yang begitu banyak. Seperti mancing saja, hanya modal cacing, bisa memperoleh ikan yang begitu besar. Bukankah kekasih-kekasih Allah itu adalah ikan2 yang berenang-renang di samudra cintaNYa? Malam tadi aku bisa ketemu orang2 yang mencintaiNya, barang2 yang menggiring cinta kepadaNya, dan tentu aku harapkan adalah percikan cintaNya, walau percikan itu dari tetesan samudra Cinta itu.

Aku akhirnya menemukan, bukan sekedar Syeh Mustafa, bukan sekedar Syeh Hisyam Kabbani, tetapi menemukan kenikmatan atas kelelahan itu. Sementara dibalik kelelahan, aku didampingi orang-orang yang melayaniku juga, Gondrong dan teman-teman Gambang Syafaat. Saling melayani, alangkah indahnya. Bagai tarian Sufi yang semalam aku suguhkan kepada Syeh Hisyam dan keluarganya serta murid2 beliau itu. Indah itu bagai musik orkresta yang mengiringi tarian yang dikomandoi sahabatku, Kiai Najib Abdullah.

Keindahan hatiku mekar bagai mekarnya busana penari Darwis yang berputar bagai gasing itu, yang didalam hatinya hanya boleh ada Allah. Malam tadi begitu Indah. Keindahan yang digempitai rebana dari Kudus dan Pekalongan. Malah Syeh Hisyam larut dalam pandangan tarian dan orkresta itu, aku di sisi beliau, sampai usai.

Paginya aku masih di Hotel itu, datanglah Gus Mus, datanglah Kiai Said Agil Siraj, lalu datanglah Kiai Sahal Mahfud di ruang lobbi hotel, didampingi istri kami bercengkrama. Sore ini aku belanja sama istri, untuk ngliwet sebagai syukuran ultah ke 47 hari ini, di Jogja. Di jogja tentu merupakan kebahagiaan tersendiri, memasuki ruang rindu, aku bisa ketemu sedulur Maiyah begitu melimpah, ketemu dengan musik Kiai Kanjeng yang indah itu, ketemu dengan Noe Letto itu, ketemu Cak Nun, yang di mataku bagai Ibu kehidupan, semua di tampung, semua di sapa, semua diperhitungkan kematangannya, aku ketemu dengan keluarga Cak Nun, tentu termasuk mBak Via itu, lalu aku bisa mengecup tangan Ibunya Cak Nun Ibu kita semua. Walau beliau agak lemah fisiknya, tetapi di mataku, hatinya menyala, menari, selalu kalau aku sungkem beliau, ditunjukkan kitab asmaul khusna, nama-nama yang Indah itu.....

Kawan-kawan, kalau aku terima taburan cinta dari Cak Nun ini, aku telusuri arusnya, dan aku reguk air cinta dari sumbernya, aku tatap aura Ibunya Cak Nun itu, cukup bagiku sebagai sebagai sodoran, apakah aku masih pantas diakui anaknya yang ke 16 setelah anak yang pernah dilahirkan beliau itu sejumlah 15, termasuk salah satunya Cak Nun itu.....

Di Mocopat Syafaat inilah aku syukuri menatap diri, ultahku itu, terimakasih kawan-kawan, trimakasih....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar