Sedulurku tercinta, ketika hujan turun, badai mengamuk dan suara halilintar mengelegar-menggelegar pada malam hari, aku dirumah pas tidak ada acara keluar. Aku melihat anai-anai (laron) dalam jumlah yang banyak, listrik mati, hanya cahaya lampu lilin yang menjadikan aku terang melihat anai-anai itu.
Tap, tap, tap, tap, suara tubuhnya membentur kaca jendera kamarku, aku lihat mereka ingin berebut masuk mendekati cahaya kecil itu. Antara cahaya lilin dengan hasrat laron-laron itu memercikkan hikmah yang tiada tara. Dalam sunyi itu, sepertinya cahaya lilin menyapa siapa gerangan yang ada dibalik jendela itu. Suara tap tap tap tap itu aku bayangkan jawaban laron, aku aku aku aku aku aku dengan begitu gemuruh, seperti tidak sabar mendekat andai tidak ada selubung halus kaca jendela kamarku.
O, engkau laron--kata cahaya, mau hajat apa malam-malam begini begitu banyak datang mengetuk-ngetuk diriku. Wahai cahaya, izinkan kami menikmati kehangatan cahayamu, dalam gelap telah aku lintasi jalan begini mengerikan, dengan sayap-sayap kami yang rapuh menantang badai, kuyup oleh derasnya hujan dan gemetaran sepanjang jalan oleh sambaran guntur, apalagi kafilah kami tadi siang berhadapan dengan sambaran burung-burung mau menyantap kami.
Kenapa derita yang menumpuk tidak menyurutkan hasratmu untuk mencariku--tanya cahaya lilin. Wahai cahaya, dalam terangnya cahaya matahari, mata kami menjadi silau tak bisa melihat, pun dalam kegelapan malam, walau ada kebebasan, justru mebikin kami saling bertabrakan dan berbenturan, kami tidak tahan wahai cahaya, yang kami rindukan kebebasan ternyata malah membelenggu, yang kami pelothoti cinta ternyata semua semu, semu, semu, kami datang ini hanya ingin dekapan kehangatan cahayamu,walau sedikit,bolehlah sebagai penawar dahaga hasrat kami semua.
Aku tahu--jawab cahaya, namun kamu semua harus melihat sahabat-sahabatmu yang telah melewati selubung halus kaca itu di dekatku ini, lihatlah sayapnya ada yang patah, lalu merangkak-rangkak mendekatiku, ada yang lunglai dibawah panas cahayaku, ada yang gagal mendekatiku setelah melewati prahara seperti dirimu, ditangkap cicak-cicak itu, dan ada yang mati, lihatlah.
Wahai cahaya, atas hasrat cinta cahayamu ini, kami semua telah melewati, cinta wahai cahaya telah memaniskan segala yang pahit, telah mendekatkan segala yang jaun, meringankan segala yang berat, mensucikan segala yang najis dan menyejukkan segala yang panas, dan menghidupkan segala yang mati, derita telah melahirkan keterjagaan kami sepanjang jalan menujumu, andai kami mati dibawah panasnya cahayamu, bukankah itu tanda cahayamu bermahkota diatas kepala kami, kami rela, kami rela, kami rela.
Setelah anai-anai itu menyatakan pasrahnya, dan telah mengaburkan pikiran-pikirannya, sepertinya mempersilahkan mereka untuk mendekat dengan berbagai celah-celah lubang kamarku. Dan aku lihat dengan nasib yang sama dialami sahabat yang telah sampai. Bagi yang sayapnya masih utuh, mereka terbang dengan menyambar-nyambar panasnya cahaya itu, sepertinya menari-nari kegembiraan atas terjawabnya hasrat kerinduan.
Ternyata aku lihat, dibalik kaca jendela mereka berpacu dengan waktu, ingin menyusul juga, sahabat-sahabatnya yang telah sampai....
Saat siangnya kawan2, aku lihat di emperan kamarku banyak yang menjadi martir dalam perjalanan, sebuah resiko yang lezat, bagi pelakunya....
Subhanallooh, walhamdulillaah, walaa ilaaha illallohu Allaahu akbar….
Kamis, 03 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar