Senin, 07 Juni 2010

Sepeda Cinta

Sedulurku tercinta, kalau ada apa saja dilaporkan ke Kiai yang satu ini, buruk atau baik, suka atau duka, selalu beliau berkata pelaan--sae-sae (bagus-bagus). Harap maklum, dalam pandangan batin beliau ini, mana afal Allah yang tidak baik. Beliau disamping begawan Qur an,menguasahi kitab kuning, dan wirai (orang yang menjaga adab).
Pesantrennya menelorkan jagoan hafidz yang menyebar di seluruh nusantara, bahkan sampai tetangga negara ini. Tutur katanya lembut, kalau pas ngendikan (berkata-kata) sambil merunduk. Pelayanan kepada masyarakat bagian dari nafas hidupnya, tidak bermobil, tidak sepeda motor--saat zaman itu, pakai sepeda onthel. Tirakat semacam ini amat mafhum, sebab menanggung derita dengan manis adalah adab yang harus dibayar dalam ranah cinta. Manakala mengabulkan permintaan masyarakat, beliau mengayuh sepeda, sementara santri yang diboncengkannya. Selalu begitu. Misalnya ada orang sowan (silaturrahmi), bilang kalau dirinya masih suka nonton bioskop, beliau lembut bilang--sae-sae.
Ternyata sampai dirumah menjadi bahan diskusi panjang, pada ujungnya temannya ada yang menjawab, sae menurut Yai itu, hanya bagus menurut hawa nafsumu bukan menurut yang sejati. Kalau ada yang mengadu tentang musibah, Yai juga bilang sae, ternyata sae disini pada ujung diskusi bahwa setiap apapun--termasuk tertusuk jarum--sebagai tebusan dosa dan kesalahan. Semua sae, namun sae itu bertingkat-tingkat.
Pada suatu saat, Yai mendatangi ke lokasi pengajian (semaan), yang tadinya cuaca terang, baru separo perjalanan mengasuh sepeda, hujan datang, berteduhlah disuatu gardu kampung. Begitu hujan reda, yang namanya jalan ndeso, tadinya mulus berbalik becek, perjalanan masih tiga kilometer. Nak,,--dawuh Yai, untuk bisa pulang kita nanti bermalam di sana, menanti jalan bagus, maka sekarang bawalah ini sandalku, aku yang memanggul sepedanya.
Yai,,--jerit santri, akulah yang memanggul, jangan Yai. Tidak Nak--lanjut Yai, saksikanlah Nak, aku memberi pelajaran kepadamu, semoga hidupmu berkah, aku tujukkan Nak kalau ingin tahu jalur tercepat rahmat Gusti Allah turun kepadamu, bayarlah ongkos pelayanan tanpa pamrih ini. Tidak Yai,,--pekik santri. Tidak Nak cah bagus--sambung Yai.
Santri menerima sandal dengan gemetaran seluruh sendi tubuhnya, air matanya mulai keluar. Langit bumi menjadi saksi. Seorang begawan Qur an nampak sedang memanggul sepeda sepanjang jalan tiga kilo meter, sambil menjawab sapaan setiap orang yang bertemu, sambil senyum. Santri dengan merunduk ketakdziman, dengan berurai air mata sepanjang jalan, sambil curi2 pandang--ternyata sambil memanggung sepeda onthel bibir Yai ndremimil tadarus Quran dengan bisik2, bagai bercumbu dengan Tuhan....
Kawan-kawan, inilah sepenggal kisah orang sholeh, Romo K.H. Arwani Kudus pengasuh Pesantren Huffadz Yambuul Quran, istriku salah satu dari alumni pesantren beliau (Allahu yarham). Kalau engkau pernah mendengarkan kefasihan dariku saat aku dendangkan Quran, itu karena keberkahan beliau, lewat aku mengecup bibir istriku itu kali....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar