Kamis, 17 Juni 2010

Suara Cinta

Sedulurku tercinta, malam jum'at ini ada yang aneh, keanehan yang nyata. Sejujurnya, karena saat kumpul sama istri aku nyetel lagunya Umi Kultsum, maka lahirlah anakku yang nomer lima, Muhammmad Syahiq bersuara bagus dengan getaran suaranya persis Umi Kultsum, yang biasa tarkhim di Maiyahan itu, suara adzannya bisa model mana saja tanpa diajari. Begitu mendengar langsung bisa. Suara cinta bisa menembus ruang dan waktu, sampai ke anakku.

Sampai aku membentuk group orkresta Umi Kultsum, yang kemaren mengiringi tarian Darwis disaksikan lama sekali oleh Syeh Hisyam itu. Demikian juga kecintaanku dulu membaca buku stensilan karya Cak Nun, pada akhirnya aku diizinkan oleh Allah selalu bersamanya. Group orkresta itu aku bentuk juga setelah dihadiahi buku lagu-lagunya Umi Kultsum sepulang lawatannya bersama Kiai Kanjeng ke Mesir, langsung aku berikan kepada Kiai Najib Abdullah, jadilah group itu.

Kalau pas aku sepanggung dengan Kiai Kanjeng mereka tahu kalau kesukaanku lagu Umi Kultsum, mereka suguhkan dengan orkresta gamelannya itu, aku pun menari-nari. Sepanjang hari sampai semalam ini, ditengah aku menulis catatan-catatan, terus aku setel lagu Umi Kultsum tanpa henti. Begitu ada jeda menulis, aku menari-nari sendiri--tarian berputar bagai gasing itu. Suara cinta itu menjadi kekuatan tak terhingga, aku bisa menulis seharian sampai lima judul sekaligus, belum ditambah menjawabi teman-teman facebookan.

Aku tidak merasa lelah, tidak ngantuk sampai tulisan ini aku bikin. Hebatnya, tiba-tiba ada yang chat--namanya Falih Vava--anak Indonesia yang baru sekolah di Mesir. Melihat gambar profile berlatar belakang sungai Neil. Jam di sini menunjukkan jam 3 pagi, di sana jam 10 malam. Kang Falih ini kesukaanya lagu Umi Kultsum, dan suka menyepi di pingir sungai Neil di senja hari. Maka malam ini aku ceritakan kepada Kang Falah--tentu lewat tulisan--bahwa saat aku berkomunikasi dengan dia, teriring lagu tentang Sungai neil itu. Lagu itu artinya, pada suatu senja di Sungai Neil ada sinar matahari menyinari permukaan sungai, maka cahaya matahari itu memantulkan cahaya yang indah, keindahan cahaya itu menatap pohon-pohon kurma yang sedang bergoyang-goyang diterpa angin. Pada suasana eksotik seperti itu, ada seseorang yang melihat dibalik jendela rumahnya yang tinggi bahwa Tuhan bisa saja menaburkan fajar pada senja, atau sebaliknya menaburkan senja pada fajar. Sempat aku tulis sebuah puisi: pagi itu indah namun senja tidak kalah indahnya. Lagu itu pada akhirnya diakhiri, apa yang kau sebut pesona itu begitu matahari tenggelam, semua menjadi musnah: itulah dunia….

Kawan-kawan, ternyata suara-suara cinta itu menuntun pada kenyataan-kenyataan, dengan melintasi dimensi-dimensi tak bertepi, aku yakin….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar