Sedulurku tercinta, dalam kepasrahan doa, yang kita yakini bahwa Tuhan Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan dan Maha Indah lainnya, cukup kiranya menjadikan kita tinggal menunggu jawabanNya. Hasrat cita dan harapan manakala telah kita setorkan datanya ke Tuhan, bagai menanam benih dalam tanah tinggal menunggu musim semi, percayalah.
Menanamnya itu yang menjadi syarat sunnahnya, soal hasil itu mau langsung, atau ditunda waktunya, atau tersimpan kokoh disisiNya, karena kepasrahan kita, terserah yang andum (membagi), yakni Dia itu yang kita yakini Maha-Maha. Kuatkan hati, dan lihatlah di layar hatimu kawan, ada info jelas kan--loading.
Sebuah episod hidupku, aku yakin anda punya suasana yang sama, problem saja yang berbeda, saat petugas PLN membongkar listrik pondok karena alasan perintah, setelah gagal aku mengemis waktu mengulur seminggu untuk bisa membayarnya. Memang ini kesalahanku, telat tiga bulan, namun seperti biasanya, walau kadang telat petugas ada yang ridlo memaklumi, kanthong sakuku, yang bukan pengusaha, bukan pegawai, bukan siapa-siapa--tetapi kali ini tidak. Listrik dibongkar.
Bisa anda bayangkan, semuanya macet. Seluruh penghuni komplek aku kumpulkan pada malam hari, ditengah cahaya lilin, di aula yang saat itu Cak Nun menyebut komplek ini sebagai rumah cinta. Aku memberi arahan, jangan sampai ada yang mengeluh, kita menimba sumur tua itu untuk mandi dan wudlu, carilah kaleng atau botol kratingdeng untuk bikin lampu oncor, nikmati ini dan kegelapan ini sampai Dia bekerja, tunggulah.
Aku baru tahu beberapa hari ini, di komputer, istilah menanti jawaban atas setoran data-data--namanya loading. Ada yang bisa beli genset, tapi kemampuannya tak mencukupi lokasi komplek, sangat terang. Ada yang beli lilin2, lampu teplok, dan ada yang tidak mau pakai apa-apa. Ketika larut, aku pandang dari kejauhan sedikit, ada orkresta warna di pesantren ini, diterangi temaram cahaya rembulan, yang tentu sampai padhang mbulan, purnama. Usai ngaji, ada yang tetabuhan, jithungan, shalawatan, aku rasakan ada orkrasta musik saja kayaknya. Aku tersenyum, siapa bilang derita itu derita--gumamku. Bisa saja baimu pahit, bagiku manis, bagimu derita bagiku kegembiraan, bagimu racun yang mematikan bagiku ternyata terasa madu yang mengobati.
Suasana itu berjalan tiga bulan tidak terasa, kalau ada yang silaturrahmi menonjok pertanyaan soal kegelapan, aku bilang--mpun rejekine (sudah rezekinya), biasa kan aku sambil tersenyum. Pada saat aku bersama Cak Nun dan M. Nuh (sebelum jadi mentri) di Bang-Bang Wetan, istriku menelpon kalau malam ini ada pimpinan pusat PLN Jakarta, menengok bongkaran dan menikmati kegelapan kita. Kata istriku, mereka semua menangisi sikapnya dan mohon ampun atas pembongkarannya. Saat pejabat itu menelpon, aku bilang--tidak apa-apa, kami masih dikasih tenaga Allah untuk mencari duit, sampai kami bisa masang lagi, kapan-kapan, ampun pemerintah.
Begitu aku sampai rumah, pembongkar itu bersimpuh menunggu, sebelum mereka bicara, aku tahu kehadiran tanpa aku rindukan dan bukan atas kerinduannya---pasanglah lagi sebagaimana engkau semua membongkarnya, kataku pelan tanpa dendam. Malah ketua pembongkar itu pada pamitnya meminta aku menikahkan keluarganya, aku sanggupi juga, biar dia pulang tanpa tangan hampa....
Kawan, dia pulang pamit tersenyum bibirnya, menetes airmatanya….
Maafkan aku Mas-Mas, selamat bekerja semoga baik-baik adanya….
Senin, 07 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar