Sedulurku tercinta, sebenarnya hidup itu kalau terhadap pihak lain yang dicari dan dikenang adalah kebaikannya supaya tumbuh cinta di dada, sekecil apapun jasa baiknya. Soal aib pihak lain itu mustinya ditutupi, sekecil apapun aib-aib itu. Sebaliknya solan diri sendiri, yang dibeberkan adalah aibnya: aku ini masih bodo, masih hina, masih apes, masih rendah martabat, kurang segalanya. Adapun soal kebaikan berusaha menyimpan rapat-rapat, biar hanya Allah saja yang tahu. Subhanaka inni kuntu minadhdhalimiin. Robbana dhalamna anfusanaa. Jadi arah yang musti dihadapi bukan orang lain sebagai sasarannya, tetapi: Wahai kamu, diriku!
Kanjeng Nabi selalu menyarankan demikian: mulailah dari dirimu! Allah juga demikian: Jagalah dirimu dan keluargamu, dari neraka! Ada sebuah syair yang mengatakan: Hadapilah dirimu dan sempurnakan keutamaan diri. Engkau dikatakan manusia bukan lantaran jasadmu tetapi lantaran Ruh mu! Orang sering berasumsi bahwa diri ini hanya seonggok daging, padahal kalau dicermati dari berbagai sudut pandang ilmu manusia ternyata sebuah misteri juga.
Dalam diri manusia ada 360 sendi, ada sekitar 400 karakter yang di simbolkan oleh 400 jenis wayang purwo, ada Pendowonya juga ada Kurowonya dalam diri. Kebanyakan orang memaknahi amar makruf nahi mungkar, selalu ditudingkan dan dialamatkan kepada pihak lain, terakhir Iblis yang salah. Padahal Iblis dicipta untuk menjadi legislator kelulusan menjadi manusia atau belum, lulus atau belum. Bahkan Iblis amat bosan kepada manusia yang belum digoda malah datang kepadanya: tangkaplah daku! Iblis rindu kepada manusia yang akan berkata kepadanya: tidak!
Dus, syari'at pada langkah awal musti ditudingkan kepada diri kita sendiri dulu. Dalil pun jangan dijadikan menghina orang lain, tetapi untuk parameter kita sendiri sudah sesuai atau belum dengan aturan Tuhan. Kadang aku tertawa geli, orang mau memperolok orang lain kok ndadak pakai dalil, rekoso men Rek! Lihatlah kisah ketika dua orang ulama' sowan ke Sunan Kalijogo, sudah beliau sengaja ketika mengajak solat, beliau paka sarung yang sobek sedikit, yang menurut orang yang ideal sudah batal. Ternyata dua ulama' ini dalam sholatnya mengamati dan mengomentari dalam hati, sholatnya apa diterima model begini. Begitu selesai sholat dua ulama' ini dengan crigis membawa banyak dalil menegur kepada Kanjeng Sunan: Kanjeng Sunan, sholat kita tadi apa diterima, karena kami lihat sarung Kanjeng Sunan sobek sedemikian rupa?
Dengan tersenyum Kanjeng Sunan Kalijaga menjawab: maafkan aku Gus, aku akui dalam penggapaian cinta kepadaNya yang tak bertepi, aku selalu merasa belum sempurna, sehingga menjadikan aku tidak pernah menegur atau tidak sempat punya waktu untuk mengukur pihak lain atas kegairahan hatinya dengan pengetahuanku yang ala kadarnya, kalau panjenengan menegurku hasil pengamatan dalam sholat panjenengan, berarti--nuwun sewu--sholat panjenengan tadi bukan menghadap Allah, tetapi menghadapi sarungku yang sobek ini….
Kawan-kawan, Kanjeng Sunan meneruskan, kalau melihat kesalahanku ini tentu Gusti Allah duko (marah), tetapi Gusti Allah luas cintanya, sehingga Dia menyatakan sendiri: sesungguhnya cintaku mengalahkan marahku….
Jumat, 18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar