Jumat, 18 Juni 2010

Putaran Cinta

Sedulurku tercinta, ketika Siti Fatimah binti Rasulullah kedatangan pengemis dan sedang tidak punya apa-apa, maka sebuah kalung emas hadiah dari Kanjeng Nabi diberikan kepada pengemis itu, terserah laku berapa. Begitu ketemu pembeli, tanpa tawar menawar pembeli itu langsung minta berapa harganya kepada pengemis, lalu transaksi selesai. Cinta melampaui ranah perhitungan dagang, begitu cepat. Tidak tahunya, pembeli itulah yang memang menghadiahkan kalung emas itu kepada Kanjeng Nabi, sehingga dia bayar sesuka pengemis bilang harganya. Di tangan Kanjeng Nabi, kalung itu dihadiahkan putrinya, ya Siti Fatimah Az-Zahrah itu.

Dengan merahasiakan kekagetannya kenapa kalung emas ini bisa di tangan pengemis, kalung tersebut dihadiahkan kepada Rasulullah untuk yang ke dua kali, oleh pedagang emas yang shaleh. Kanjeng Nabi lalu memanggil putrinya dan menyerahkan kalung yang sudah diserahkan pengemis itu: Ya Fatimah, ini kalungmu, dikembalikan Allah setelah berputar memenuhi kebutuhan hambaNya, bersyukurlah. Memang harta itu kalau tidak ingin tercuri, terampok, terbakar atau membusuk harus ditipkan Allah dengan cara disedekahkan. Kalau engkau butuh--pesan Allah--bilang langsunglah kepada Ku, maka akan Aku berikan kepadamu: cash!

Aku percaya janji Allah ini. Percaya sepenuhnya. Bukankah dunia ini bagai gunung, kalau kita lepaskan suara indah, maka gaungnya akan kita dengar sendiri lagi keindahannya, ke kuping kita. Orang Jawa selalu menyatakan: ngunduh wohing pakarti, ojo moyok bakal nemplok.

Walau bukan sekelas sedekah kalung emas, ini ada seorang Ibu janda miskin punya anak empat masih kecil-kecil, ingin rasanya yang ragil (paling kecil) bisa merasakan manisnya jeruk yang warna kuning itu. Karena sejak ia hamil anak yang ke empat pernah nyidam jeruk yang tak terbelikan saat suaminya masih hidup. Pagi-pagi pergilah ia ke pasar dengan membawa sekor ayam jago piaraan, untuk dijual, untuk belanja makanan pokok dan sebuah jeruk impian hatinya--untuk anak ragil itu--obat nyidam.

Begitu malam tiba, ketika kakak-kakaknya sedang mengaji di Mushalla kampung, dipanggillah anak ragil itu sambil berbisik dia bilang: Le (nak), tadi Ibu ke pasar disamping nempur (beli beras) dan bumbu, masih ada sisa uang lantas aku belikan kamu sebuah jeruk kuning ini, melihat kulitnya saja indah nak, apalagi rasa isinya, makanlah sekarang sebelum kakak-kakakmu datang. Ternyata sebuah jeruk ini di tangan anak ragil menjadi lain, hatinya menyatakan tidak mau memakannya, karena sudah pernah merasakan ketika dikasih Bu Guru di sekolahan, biar kakaknya saja yang ngicipi (makan).

Begitu semua tertidur--di atas ranjang lebar bareng2--anak ragil ini tidak, lantas dibangunkanlah salah satu kakaknya: kak, tadi aku dikasih Ibu jeruk, namun aku sudah pernah merasakannya, aku rela kakak saja yang makan jeruk ini, aku sudah pernah merasakan. Kakaknya ini memiliki perasaan cinta yang sama dengan adiknya, dibangunkanlah kakaknya lagi: kak, ini ada jeruk dari adik hadiah Ibu, makan kakak saja, aku sudah pernah merasakan kok, barangkali kakak belum. Kakak ini juga sama, bilang kakak yang paling besar: kak, aku di kasih jeruk adik, tapi aku sudah pernah merasakan, barangkali kakak belum.

Saling membangunkan dengan tempo yang berbeda karena menjaga perasaan saudaranya, pada jam menjelang subuh. Kakak paling besar ini membangunkan Ibunya: Mak (Ibu), aku dikasih jeruk adik, tapi aku sudah pernah merasakannya kok Mak, ini jeruk untuk Emak aja.....

Kawan-kawan, sebuah jeruk berputar, pada saat tarkhim sayup-sayup terdengar dari Masjid Agung kampung, dibangunkannya anak-anak itu semua oleh Ibu, jalan satu-satunya Ibu itu bilang kepada anak-anaknya: Le (anak-anak), ayo sebuah jeruk ini kita bagi, kita makan bersama pagi ini.

Sembab sudah mata Ibu ini dengan hati yang gembira tiada tara, karena merasa dihadiai anak-anak yang penuh cinta: Nak, alangkah indah akhlakmu, aku bahagia pagi ini, aku bahagia sekali, aku bahagia sekali Nak, ayo kita makan bersama.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar