Kamis, 17 Juni 2010

Sahabat Cinta

Sedulurku tercinta, kalau ada surga di dunia maka wujudnya adalah rumah tangga yang rukun, dan sebaliknya kalau ada neraka di dunia bentuknya adalah rumah tangga yang cekcok melulu. Kalimat ini dari lesan suci Kanjeng Nabi.

Kata rukun menjadi sebuah suasana yang begitu indah bagai keindahan sebuah taman, Taman Surga. Suasana ini bisa menjadi dalam diri, bentuknya merukunkan seluruh instrumen tubuh hingga tercipta harmani, tentram hatinya, bahagia hatinya, sejahtera hidupnya. Suasana ini bisa mengemuka dalam berbagai organisasi--sosial, keagamaan, politik, kebudayaan--sehingga sekumpulan orang itu mengarah pada satu titik: kerukunan.

Power energi bisa menjadi lebih dahsyat karena sebuah kelembagaan, sampai pada ikat pinggang kependetaan bisa menjadi sarana pelayanan kehidupan secara luas tanpa batas. Semua keberadaan bisa memperoleh peran yang sesuai dengan kediriannya. Sejarah timbul tenggelam ini nampak pada suasana surga dan neraka, tinggal kejeniusan masing-masing dalam menyikapi proses yang ada, Pergulatan hidup ini akan menghasilkan piala citra di mata Tuhan dengan dimahkotaiNya, Dia hadir di hati manusia untuk berbagi.

Manusia akan digerombolkan menurut siapa yang mereka cintai, maka lahirlah kelompok-kelompok itu. Akan menjadi naif manakala setiap kelompok akan menjadi satu-satunya pemberesan masalah, sebuah kemustahilan, kecuali Tuhan itu sendiri. Perjalanan masa lalu harus menjadi cermin, bahwa ketika Cinta dipahami secata sepotong akan melahirkan sikap yang tidak kooperatif, pada ujungnya meneteskan suasana neraka yang diturunkan di bumi.

Kita butuh pola yang baru dalam langkah sejarah supaya hubungan antara yang satu dengan yang lain sangat-sangat simbiosis mutualis, bagai bunga dan kumbang. Kumbang datang menyerap madu, sementara kehadiran kumbang bagi kembang mempertemukan putiksari dan benangsari yang akan meneteskan buah bagi kelestarian kehidupan ini.

Hal yang sederhana bisa kita lihat, ada dua sahabat cacat bertemu pada suatu tempat, akan melanjutkan perjalanan pada satu tujuan, padahal harus menempuh perjalanan panjang, termasuk melewati sungai-sungai. Yang satu cacat lumpuh tetapi bisa melihat, yang satu cacat buta namun bisa berjalan. Kalau bergerak masing-masing akan menjadi amat sangat berat mencapainya, bahkan bisa menjadi sebuah kemustahilan. Namun dua sahabat ini sepakat melenyapkan ego masing-masing larut dalam kebersamaan, dengan menciptakan kerukunan. Strategi ini sangat jitu, sebuah drama cinta terjadi: yang buta karena bisa berjalan, rela menggendong yang lumpuh tapi bisa menujukkan jalan. Kalau si lumpuh bilang kanan, si buta belok kanan. Kalau si lumpuh bilang kiri, si buta belok kiri atas petunjuk si lumpuh yang digendong itu. Kalau si lumpuh bilang lurus, naik, turun, si buta begitu percaya akan cinta yang disepakati bersama itu.

Persahabatan cinta yang indah dalam mencapai tujuan bersama. Dalam ketegangan perjalanan yang panjang dan melelahkan itu, bisa saja tercipta humor-humor yang indah juga. Ketika si lumpuh bilang turun, si buta turun, nurut saja. Karena si lumpuh tidak bilang menyeberang sebuah sungai dangkal, tapi si buta kakinya menyentuh air, lalu berhenti agak lama. Lama menanti komando sambil gendong si lumpuh, tiba-tiba si buta di dadanya ada getaran aneh, getaran pesona kelelakian, ada atmosfir sensualitas. Si lumpuh, karena bisa melihat pesona itu agak lama tertegun dengan tidak merasakan beban seperti yang gendong itu, si buta. Lantas si buta agak meradang bilang: Hai kawan, apakah di sungai ini ada gadis yang sedang mandi, lantas menjadikan lupa atas deritaku gendong kepadamu, aku merasakan ada fibrasi aneh dalam letupan birahiku, walau aku tidak melihatnya. Si lumpuh jujur menjawab sambil ketawa di atas gendongan: hahahaha I love you full kawan, maafkan aku, benar katamu, ada gadis mandi di kali....

Kawan-kawan, akhirnya si buta ketawa juga, sambil ngebrukke (menjatuhkan pelan-pelan) si lumpuh di pinggir kali, sambil istirahat sebentar, ngakak (ketawa terpingkal) bersama: hahahahahahaha….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar