Jumat, 18 Juni 2010

Layat Cinta

Sedulurku tercinta, kemaren aku mendatangi Haflah Akhirussanah di Yayasan Darul 'Ulum, Wates Mijen Kota Semarang, jenjang pedidikannya mulai dari TK, MI, MTs, MA, di pojok kota aku temukan keindahan bak menemukan mutiara dalam kedalaman samudra. Dalam banyak media selalu memberitakan keburukan yang melimpah, dalam kenyataan di lapangan tidak seburuk yang di beritakan. Pengunjung sedemikian melimpah, wali murid dan masyarakat umum sedemikian rukun dan guyub menyanyikan kidung cinta, dalam wujud mencerdaskan kehidupan bangsa.

Aku lebih percaya akan jaminan Allah bahwa Dia tidak akan memberikan bencana kepada suatu kaum atau bangsa selagi kaum itu masih ada saja yang berbuat kebajikan dan kesalehan. Kebajikan semua civitas akademika di Yayasan Darul 'Ulum kampung ini, bagian dari titik tumpu rahmat dan kasih sayang Allah diturunkan. Malah dimana-mana aku temukan kesalehan itu, cuma semua kebaikan yang melimpah ini tidak diberitakan, malah keburukan saja yang diceritakan dan diberitakan.

Belum lagi alunan musik gambus dan rebananya, aku lihat sangat indah, yang dimainkan anak-anak siswa madrasah itu, sebagai sarana menyatukan jiwa-jiwa. Aku sampaikan kata-kata Sayyidina Ali, Orang tua Ibarat busur, anak-anak ini ibarat panah, yang akan dilepaskan. Dalam pelepasan ini ada yang perlu direnungkan, bahwa orang tua mendampingi anak-anak itu paling banter sampai cicit, setelah itu mati. Jangankan kita mati, ketika masih hidup saja banyak yang tidak mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak itu, apalagi manakala kita sudah mati : siapa yang akan memberikan kasih sayang itu dalam bentuk pendidikan akal dan budi pekerti?

Orang pasti akan ribut dengan kebutuhan masing-masing, mana sempat sampai menegur anak-anakmu itu, kalau tidak kau bawakan cahaya iman yang menetes cintanya di dada anak-anak itu. Sehinga anak-anak itu tidak harus ditegur melakukan kebaikan, tetapi melalui dari dorongan dalam hatinya, yang bekalnya sudah kita bawakan.

Lihatlah,ada seorang anak kelas empat MI, namanya Andika bin Poniman yang aku temui malam itu. Anak ini sejak TK memiliki sikap yang tidak umum, hobinya takziyah atau melayat kalau ada yang meninggal, sehingga guru-gurunya memaklumi kalau Andika ini mohon izin dari sekolah: untuk melayat. Dari mulai menahlilkan, memandikan, mengafani, menyolatkan, mengusung ke kuburan, sampai pada meletakkan ke liang kubur.

Anak shaleh ini tentu belum kenal dengan apa yang disebut hak-hak muslim antara satu dengan yang lain: kalau ada yang mengundang datanglah, kalau ada yang meninggal layatlah, kalau ada yang sakit jenguklah, kalau ada yang uluk salam jawablah, dan kalau ada yang bersin do'akanlah. Kalau ada yang sampai melarang, dia punya taktik: ingin mencari ayahnya, padahal sebenarnya akan melihat langsung prosesi penguburan orang yang meninggal itu. Bahkan kalau tetap dilarang dia akan menangis dan tangisnya akan diam kalau sudah berhadapan dengan seluruh proses pemakaman.

Aku tanya: apakah adik senang melihat orang kesusahan? Tidak--sahutnya. Kenapa--lanjutku bertanya--tidak seperti sebaya adik, kalau ada mayit diusung ke kuburan mereka bersembunyi atau mengintip lewat lubang dinding rumahnya? Ada keindahan dibalik itu--katanya. Apa itu--kejarku. Aku senang pada kematian--katanya....

Kawan-kawan, sontak aku ingat akan kata Rumi, setiap kematian membawakanmu lebih banyak kehidupan. Engkau berdiri di tepi samudra CintaNya. Terjunlah ke bawah ombak besar perpisahan. Menyelamlah ke kedalaman mistis. Larutkan dirimu dalam samudra itu. Bagai seekor ngengat di seputar lilin, biarkan dirimu terseret tanpa daya dalam api sampai engkau terlumat oleh api dalam inferno komune. Pecinta memilih api karena ia mengetahui rahasia: madu berharga sengatan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar