Sedulurku tercinta, aku saksikan saat aku diajak Syeh Musthofa (yang memberi udeng2nya itu kepadaku) ziarah ke makam Mbah Sholeh Darat Semarang, belakangan saya tahu menurut beliau min habaib--semacam mBah Priok itu. Aku rasakan beliau amat sangat berat meninggalkan makam mBah Sholeh, dengan terus menambahi bacaan-bacaan kalimah2 thayyibah, sepertinya ketemu sahabat seperjalanan.
Sambil menangis beliau mengatakan--terima kasih ya habiby percikan cahayamu telah menjadi lentera di hatiku, aku telah menikmati goresan-goresan penamu, trimakasih (sambil merunduk penuh ketakdziman), lalu undur diri. Dengan nada yang sama, ketika ziarah ke makam mBah Hadi Girikusumo Mranggen, buyutnya Gus Munif Zuhri.
Pengembaraan ke makam demi makam bagian dari belajar ilmu ketiadaan, jangan dikira yang sudah terpendam dalam tanah itu tiada. Penggambarannya, jangan dikira akar bagi pohon kehidupan yang terpendam dalam tanah itu tiada, malah hakekatnya akar itulah yang menjadi sumber segala pesona pohon itu, termasuk wangi bunganya. Kalau demikian akar itu sebenarnya bunga juga, namun sudah berani menghina-hina kemasyhuran. Jangan kau katakan orang yang mati dalam jalan Tuhan itu mati, tetapi mereka hidup, sayang kamu semua tidak mengetahui--firman Allah.
Jejak pengembaraan ini berlanjut, ketika aku usai mengikuti Mocopat Syafaat bersama Cak Nun di Kasihan Bantul, jam dua pagi. Aku meluncur ke Imogiri menyusul Syeh Musthofa dan jamaah, ternyata beliau dan kawan2 baru memakai pakaian kraton, lengkap dengan blangkonnya. Syarat ini tidak bisa ditawar, akupun diminta memakai busana kraton itu.
Juru kunci membuka pintu, suasana gelap karena listrik putus sejak gempa Jogja itu, bangunan banyak yang runtuh, penerangan jalan pakai lampu hp. Sementara tangga-tangga naik turun begitu banyak, ratusan tangga sampai ke makam Sultan Jogja itu, dan Syeh Mus kakinya sejak kecelakan belum sembuh, harus pakai penyangga kanan kiri, aku ikuti di sisi kiri beliau.
Setingkat demi setingkat tangga terlewati, kadang berhenti sejenak, jalan naik lagi. Iring-iringan ini bagai sasrahan temanten saja, mempertemukan cinta. Lagu Ilir-ilir sebenarnya multi makna, dimana yang dimaksud temanten anyar adalah pertemuan kekasih dengan kekasih, saat innalillahi wainna ilaihirojiun itu.
Cah angon, adalah penggembalaan diri ini untuk sampai memethik blimbing, walau licin pohonnya, tetep nanjak. Semuanya ini dalam rangka kafarot (tebusan dosa), kanggo masuh dodod, iro (untuk menyucikan kotoran baju, dimana baju iman adalah taqwa), kalau baju taqwanya compang-camping, dianjurkan untuk menjahit dulu, mumpung masih ada waktu, mumpung masih terang bulan, karena dibalik kegelapan rahim dunia ini, persiapan menyongsong fajar jiwa, matahari hati terbit, terang benderang menatap yang Tercinta (kanggo sebo mengkosore).
Makna simbolik ini menemaniku dalam tanjakan tangga-tangga, kalau aku dan teman-teman sepayah apapun masih bisa melenggang jalannya, tetapi Syeh Mus itu. Maka aku tawarkan beliau--ya Syeh, kalau berkenan aku gendong sampai ke puncak makam. Syeh Mus sambil tersenyum menjawab--ya Kiai Budi, tidak, tidak, sudah rejekinya (wis rejekine). Perjalanan berlanjut, menanjaki tangga-tangga itu......
Kawan-kawan, kembali aku lihat sambil kami bergerak merangkak--termasuk Syeh Mus itu--begitu sampai di makam Sultan, merangkak(brangkang) ini dikarenakan malang melintangnya tiyang2 makam yang rubuh sejak gempa belum dibenahi, ziarah sebelum shubuh itu kembali aku rasakan beratnya perpisahan, bagai nyerinya kekasih pisah dengan kekasih......
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar