Sedulurku tercinta, semua pernik dan atribut yang bersifat lahiriyah, tidak bisa dijadikan parameter dalam memandang perkara yang batiniyah. Secara lahiriyah Abu Thalib itu disebut kafir oleh banyak kalangan sejarah, termasuk pelajaran tareh itu. Tetapi siapa yang berani membantah pembelaan beliau habis-habisan kepada Kanjeng Nabi itu, sampai mengatakan: siapa yang berani-beraninya mengganggu Muhammad, hadapi aku dulu!
Pernah juga ada yang melapor Kanjeng Nabi kalau sehabis membunuh orang yang sebelumnya telah syahadat dulu, kemudian tetap ia bunuh juga orang yang telah bersyahadat itu dengan asumsi kepura-puraan untuk mencari selamat. Kemudian Kanjeng Nabi balik bertanya: apakah engkau telah membedah hatinya? Ada lagi saat seorang tawanan perang--seorang gadis--menceritakan kebaikan orang tuanya --yang masih kafir menurut mata lahiriyah--dan didengarkan oleh Kanjeng Nabi dengan kepercayaan penuh: Wahai Rasulullah, ayahku itu suka memulyakan tamu, membayarkan hutang orang, menjenguk yang sakit, suka membantu anak yatim, membantu orang fakir miskin, suka mendatangi undangan kawan saudara, memberi makan orang lapar, menyuguhi minum orang kehausan, menasehati mereka yang kesusahan, takziyah mereka yang keluarganya meninggal.
Setelah beliau menyimak dengan seksama lalu memerintahkan sahabat untuk membebaskan gadis itu seraya berkata: bebaskan anak ini, karena ayahnya itu besok di akhirat dekat dengan Allah. Belum lagi cerita tentang anak yang menuntun onta yang dinaiki Abu Bakar dan Kanjeng Nabi, ternyata dalam tanda petik--masih kafir. Tambah lagi perlakuan orang Toif yang demikian keji mengusir beliau, menurut kacamata batin beliau, direlakan kalau tidak hari ini ya besok. Ternyata benar, jendral perang beliau kebanyakan orang Toif yang dulu menganiaya itu.
Dari sinilah kita lihat kemegahan jiwa beliau terbukti dalam ranah perjalanan sejarah. Kejahatan bisa jadi kebaikan yang belum mendapat ruang atau tempat. Ini ada kisah yang sederhana sebagai sampel, yang melakukan adalah orang yang disebut Habib, dikenal orang keturunan Rosul, tetapi belum mencerminkan kemegahan beliau. Dua orang Habib silaturrahmi ke sorang Kiai, pas menjelang Isyaa', lalu diajak berjama'ah Kiai itu. Mustinya yang namanya sholat itu menghadap Allah dengan cara menghudzurkan hati kepadaNya. Ternyata habib ini begitu mendengar bacaan Fatihah Kiai--dalam batinnya--melihat dari sisi lahiriyahnya: tidak fasih, tidak tartil. Mustinya dalam ranah Cinta, kata itu tidak penting, yang penting hatinya hudzur kepadaNya dengan kegairahan menyala. Kesimpulan Habib-habib itu shalatnya Kiai tidak sah.
Tengah malam duo habib ini mau berwudhu di kolam Pesantren, ternyata ditemui seekor macan yang disangkanya akan menerkam. Duo habib ini membaca segala do'a, tetapi macan gak hilang dari pandangan matanya, dibacakan Fatihah malah serasa macan mengejarnya. Larilah duo habib ini,terus mengetuk pintu Kiai, orang sederhana dan tawadzuk ini menyarankan bacalah Fatihah sekali lagi, dia akan menghilang. Dengan keberanian atas anjuran Fatihah Kiai ini, duo habib ini mendekati tempat macaan, dan benar setelah Fatihah ijazah Kiai, macan menghilang.
Dalam hati duo habib ini menyadari bahwa Kiai ini membalikkan prasangka hatinya terhadap Fatihah yang dianggapnya tidak fasih, tidak tartil, sampai shalatnya tidak sah---dalam jama'ah Isyak' itu….
Kawan-kawan, kisah ini terjadi di Bangkalan jaman dulu, ada sebuah Pesantren yang diasuh oleh seorang Kiai wira'i, yang populer disebut mBah Kholil Bangkalan, gurunya K.H.Hasyim Asyari dan K.H.Ahmad Dahlan, pendiri organisasi besar Islam di negri ini, Nahdlotul Ulama' dan Muhammadiyah….
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar