Sedulurku tercinta, aku sering menerima tamu-tamu dengan pertanyaan yang hampir sama, dari mana memulai dalam menyelami samudra cinta tak bertepi ini. Orang-orang itu mengira aku bisa menjawabnya dengan tuntas, akademik, ilmiyah. Kalau soal yang rasional, intelektual betapa sudah melimpah ruah sehingga bertaburan kita nikmati kurnia-kurnia itu. Aku senang melihat itu semua tanpa mau menambahi, malah aku nikmati sebagai tadarrus kehidupan, sejauh aku mendengar suara-suara terburuk sekalipun.
Sejauh aku tahu, aku dihadapan ketidaktahuan, sehingga aku senang melihat ada orang yang sok tahu, indahnya bukan main. Sejak kecil dulu, aku merasa ada perintah dari dalam diri saat adiku rewel: gendonglah dia. Ternyata masih menangis, lalu aku ajak sepedahan jalan-jalan, baru tenteram adiku itu. Saat aku menyalip sorang Ibu pergi ke pasar, ada dorongan dari dalam, kenapa bonjengan yang kosong itu tidak kau isi Ibu dengan perjalanan searah itu.
Suara-suara itu aku turuti lebih jelas saat aku masuk Madrasah, disana ada semacam panduan: kalau ada duri singkirkan, kalau ada orang sakit jenguklah, kalau ada yang kehausan dan kelaparan beri dia makan dan minum, kalau ada yang buta beri dia tongkat, kalau ada yang kehujanan dan kepanasan beri dia payung, kalau ada yang meninggal takziyahlah, kalau ada yang susah gembirakanlah, kalau ada, kalau ada, kalau ada. Semua ajaran-ajaran itu aku sesap dengan ujung yang aku lihat, membikin manusia tersenyum. Ternyata dalam tujuan Allah menurunkan ajaran-ajaran ini sebagai panduan hidup dan membahagiakan manusia secara universal.
Setelah di Pesantren pengamalan ajaran itu lebih jelas tadarusnya. Kitab-kitab itu seperti mewakili suara-suara cinta yang menyuruh mengayunkan langkah untuk dituruti. Siapa yang tahu akan dirinya, ia akan tahu akan Tuhannya. Wahai manusia praktekkan saja apa yang bersuara di dhomirmu itu. Ternyata Tuhan itu tak tergambarkan oleh apapun, Ia misteri yang Nyata. Apa yang disebut cakrawala dan diri itu bagai tumbu dapat tutup, sebagai satu kesatuan. Jantera alam semesta memantul dalam diri, semua ada di sini. Semua yang terjadi menjadi keajaiban yang mengagumkan.
Tidak aneh manakala semua itu melahirkan komentar yang begitu melimpah ruah, sejauh kitab-kitab itu. Guru-guru itu aku takdzimi dengan sepenuh cinta, dibalik guru yang Sejati, yang aku rasakan hadir sejak aku kanak-kanak itu. Setapak demi setapak melintasi ruang dan waktu, semakin penuh suara-suara itu, suara-suara cinta, dari Dia. Aku yakin suara-suara sunyi itu dimiliki setiap manusia. Maka perhelatan harian yang begitu riuh ini dalam sejarah, memiliki titik ending saling melayani diantara sesama. Sebuah drama agung yang bertemakan cinta.
Adanya setiap kelompok merupakan ruang pelayanan yang sepatutnya dihargai, tidak diremehkan. Perbedaan setiap keberadaan merupakan fakta orkresta alam yang akan mewujud dalam lagu indah bernama Cinta. Ternyata semua makhluk ini adalah keluargaNya. Makanya hanya ada satu kata yang bersuara di hatiku untuk merajut sebuah lagu cinta itu, yang bernama persaudaraan, tanpa tepi.
Penggapaian Dia yang tak tergambarkan itu, bisa diwujudkan dengan membangun kemesraan dengan makhlukNya, terutama manusia. Aku yakin, di hati manusia ini Dia berbagi secara menyeluruh, Adil. Aku tidak peduli pada level penggapaian jiwa-jiwa manusia, kuncinya adalah apakah dalam penantian ini bisa berbagi kasih sayang diantara manusia, yang pada puncak penggapaian justru Dia akan turun cintanya kepada siapa yang menaburkan cintaNya....
Kawan-kawan, pengalaman ini jadikan pembanding saja, kalau sosok kekasih-kekasih Allah itu tak terbantahkan, sosok yang ideal, namun apakah diri ini sampai, itulah persoalannya. Bagi mereka yang merasa sampai bersyukurlah, tapi jangan lempari cemoohan bagi mereka yang kau anggap belum sampai, masih ada harapan, masih ada cahaya, masih ada waktu, abadi….
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar