Kamis, 21 Oktober 2010

Benih Cinta

Sedulurku tercinta, betapa soal kegigihan dalam melibatkan diri kepada pekerjaan itu amat penting--bisa di sebut kesetiaan. Dalam drama agung kehidupan, manusia paling banter bisa mengambil satu peranan dalam ladang akhirat ini, ya mengambil satu peranan.

Banyak para guru sufi memiliki pekerjaan sebagai penghidupan mereka: tukang sol sepatu, memintal kain, berdagang dan lain sebagainya. Kemandirian adalah kuncinya, mereka tidak bergantung kepada siapapun kecuali memethik dengan segar rizki dari Allah. Misalnya seorang mistikus Abu Huseyn Nuuri: Setiap pagi dia berangkat dari rumah menuju tokonya, dan membeli beberapa iris roti di tengah jalan, dia memberikan roti itu sebagai sedekah, kemudian pergi ke masjid tempat dia menunaikan shalat sampai tiba shalat dhuhur, dia akan pergi dan membuka tokonya sementara masih berpuasa, para saudagar lain menganggap bahwa dia telah makan di rumah, sementara orang rumah menganggap dia sudah makan di pasar, dia dua puluh tahun melakukan jalan [lelaku] ini, dan melakukan pekerjaan itu.

Kisah ini bisa menebar wangi dalam bentuk: keterlibatan dalam sebuah pekerjaan, menghindari kemalasan dan pengangguran. Disamping itu sikap ini juga membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung perkembangan kualitas-kualitas manusia di antara saudara mereka, mereka menjunjung tinggi cita-cita yang amat luhur ini--berbagi itu.

Misalnya ada kisah lagi: ada seorang Waliyullah Ma'ruf Al-Karkhi mengumpulkan buah kurma, pekerjaan ini dilakukan hanya karena beliau melihat seorang anak menangis [anak yatim-piyatu], padahal hari itu hari raya, dimana semua anak diberi baju baru, sementara dia tidak, anak-anak yang lain bisa main kelereng sementara dia tidak, lalu Kiai Ma'ruf itu mengumpulkan buah kurma itu untuk dijual, untuk membelikan kelereng agar anak yatim-piyatu itu dapat bermain, sehingga dia tidak menangis lagi.

Ada lagi, biasanya dilakukan oleh santri "ndalem" [santri yang ikut di rumah Kiai]: tadinya anak orang kaya, ilmu punya, praktek spiritual sudah, meditasi sudah namun dia butuh mengalami terlepas dari semua itu, maka salah satu "jalan" dia adalah melakukan pelayanan kepada Kiainya itu--mengabdi, mulailah dia melakukan tugas pribadinya untuk membersihkan kamar mandi, memasak, mencari kayu bakar, belanja, bertani dan sebagainya, dimana dia melakukan dengan gigih dan ikhlas, dia menjadi terbiasa melakukan itu semua dan menyadari keberartian ruhaniyahnya, bahkan untuk kebutuhan Kiainya dia jual serbannya, jual sepatu mahalnya, jual kain bordir jubahnya, ketika ayahnya melihat dia seperti itu bertanya: Nak, putraku apa maksudmu dengan semuanya ini? Anak itu menjawab: lihatlah aku Ayah, tetapi jangan tanyakan tentang semua ini!

Malam ini juga ada kisah menarik dan menakjubkan, seorang anak yang kemaren aku kirim sajak lewat Kang Budi Santoso saat dia berulang tahun, namanya Nurul binti Awi Tasripin, dia membahasakan cinta yang telah ditunaikan, telah dibayar, aku melihat gambar fotonya nampak sedemikian semeleh hatinya bagai sosok seorang ibu yang santun [lihatlah sendiri fotonya], aku membayangkan dia punya perkataan yang halus, sikap yang menyenangkan, air muka yang gembira, sifat derma, toleran, sikap memaafkan bahkan rela mengabaikan kebajikannya [ciri keikhlasan], bahkan aku yakin ia akan punya cinta yang universal, amin….

Kawan-kawan,bacalah goresan jiwanya dalam tulisan yang amat sangat indahnya ini:
Setiap hari jaga adikku Shofa
Dan membantu Ibuku jam 12.00
Aku pulang sekolah jaga adikku lagi
Pantang menyerah itulah hidupku sehari-hari
Nurul, 20/10/10

Karena dia masih kecil, maka aku sebut bibit, dan karena cinta yang telah ia tunaikan seindah itu maka aku sebut bibit Cinta, dimana setiap orang tua memiliki harapan dan cita seperti itu, cita-cita adalah bagai benih itu dalam tanah, tumbuhnya hanya menunggu seiring musim, maka ia akan menjelma Cinta, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah….

Selasa, 19 Oktober 2010

Sambal Cinta

Sedulurku tercinta, aku sering kedatangan seorang suami yang mengeluhkan istrinya, sampai ada yang stres karena ketidak-kuatan atas kemegahan istrinya dari sisi "ngomel"nya itu. Selalu aku sarankan: jangan bercerai, karena cerai itu perkara halal yang dibenci oleh Allah itu.

Lalu aku kisahkan tentang singa padang pasir Sayyidina Umar, dimana beliau walau punya kuasa sebagai khalifah dan suami, tetapi tetap rendah hati dengan fakta: beliau selalu kuat mendengar istrinya yang super ngomel itu. Aku tidak kaget kekuatan beliau ini karena pancaran cintanya Kanjeng Nabi saw membungkus diri beliau sehingga merelakan semua kejadian menggores pada dirinya.

Akupun bilang kepada para suami itu, seburuk apapun ocean burung-burung, semua adalah kreasi Allah yang sangat Indah. Seorang istri adalah amanah dari Allah, apalagi yang sering aku sebut bahwa wanita adalah bayang-bayangNya, dengan kesaksian: dari rahim wanitalah manusia sejagat ini lahir, sehingga siapaun lelaki yang meremeh-remehkan wanita maka ia akan menemukan kesulitan dalam proses menatap jamaliyahNya.

Dalam kehidupan sudah pada galibnya, suka duka, pahit manis, berat ringan, jauh dekat, sehat sakit dan seterusnya itu, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Kalau boleh di andaikan dunia ini adalah sebuah gunung, siapapun yang berteriak buruk, maka keburukan itu akan mengenai diri yang berteriak itu, demikian juga manakala teriakannya merdu maka kemerduan itu akan kembali ke diri mereka juga.

Orang mengira kehidupanku ini serba berkecukupan, ke sana ke mari diundang orang, ada uang ada makan enak melulu, tetapi kehidupan selalu punya kesamaan-kesamaannya, terutama diomeli istri itu, bahkan banyak suami yang gagah di kantornya tetapi habis riwayat manakala masuk rumahnya, seperti Sayyidina Umar itu. Banyak juga Kiai yang bagai singa podium saat di pengajian, namun punya nasib yang mengenaskan di depan Bu Nyai itu. Bukan Kiai tak bisa melawan, tetapi ittiba' kepada Sayyidina Ali itu, rata-rata mengalah, mengalah, mengalah, mengalah dan mengalah.

Mengalah itu aslinya meng-Allah, dimana goresan hidup selalu diprasangkai sebagai kado temanten dariNya, dimana kala dibuka isinya ternyata sekuntum bunga teratai yang bermahkotakan seribu bunga, artinya setiap ketidaksukaan suasana hati itu dipahami pasti ada hikmah agung di baliknya, pasti itu. Apalagi seperti aku ini banyak kelemahan dan kesalahan, dimana: hidupnya tidak pomah [selalu melayani panggilan pengajian--punten--tanpa transaksi], melek malam sudah pasti [maaf, sampai jarang kumpul malam, hehe], uang di mataku aku pandang uang manakala aku sedekahkan, kalau tidak aku merasa hanya menumpuk kertas, aku biasanya tak mau menunda besok pagi, dengan asumsi: iya kalau umurku nanti sampai besok pagi itu, belum kesalahan dan kelemahan yang lainnya. Maka, aku merelakan andai istriku marah atau ngomel seperti yang dialami oleh para suami yang berkonsultasi itu, tetapi nasib itu tidak selamanya, bahkan aku pahami sebagai derita yang melahirkan keterjagaan hatiku.

Pernah pada suatu ketika, istriku muring2 [ngomel melulu] dengan orkresta komentar, tetapi aku dengar dengan keta'dziman sebagai suami, ternyata ngomong itu juga tidak lama, paling hanya beberapa jam dan setelah itu diam. Ketika diam itulah aku dekati dengan tingkat kemesraan: masih adakah stok untuk dilanjutkan? Ternyata istriku bilang seperti nada bergurau: sebentar Mas, aku mau mengarang kata-katanya dulu! Meledaklah tawa dan senyumku padanya, dan kalau masih aku minta untuk dilanjutkan sepuasnya [sak lempohe, Jw]. Setelah kejadian itu sampai sekarang istriku tak pernah ngomel, paling banter hanya senyum padaku, ya senyum: dia pandang aku tanpa komentar itu.

Malah sampai pernah kejadian, dimana uang sepeserpun nggak ada, aku bangun pagi dalam keadaan lapar banget, maka istriku [dengan senyum] menyuguhkan sepiring nasi dengan sambal bawang [lombok, garam, bawang], maka dalam benakku tidak ada bibit marah, tetapi mengharu biru, dimana aku pahami cara ini dia menasehatiku dalam bahasa sunyi: biar aku mengerti sendiri! Akupun memandang suguhan itu sebagai suguhan yang terindah dalam hidupku, aku tidak mau meremehkan sentuhan lembut darinya walau sebiji nasi, karena sebiji nasi pun sampai dimulutku ini berkat sentuhan jutaan tangan manusia sampai dibibirku, lombok itu pun sentuhan lembut tanganNya, apalagi bawang itu kreasi Allah yang sangat indah dan penyedap yang lezat. Seketika aku menyongsong suguhan itu dengan hasrat yang menyala, aku makan dengan lahap dan rasa syukur yang tiada terkira, aku syukuri suguhan itu sampai aku meneteskan airmata, aku menangis bahagia, aku menangis bahagia!

Ternyata istriku memandang aku makan dengan penuh nyala hati ini pun menangis, dan ketika aku tanya kenapa dia menangis, dia menjawab: aku takut engkau marah dengan lauk sambal ini, ternyata prasangkaku salah, engkau makan dengan semangat melebihi lauk yang mahal sekalipun. Pagi itu aku makan dengan kuah airmata kesyukuran….

Kawan-kawan, sampaikan salam kepada istrimu semua, derita dan nestapa jangan sampai menjadikan mahligai rumah tanggamu retak, justru derita dan duka melahirkan perekat dan keterjagaan hati akan ingat karunia-karuniaNya ini, hatimu dan hati istrimu yang lembut akan melahirkan anak-anakmu yang berhati lembut: dimana di dadanya Tuhan bermahkota, dan anak-anakmu itu menjelma menjadi Cinta, hatimu akan bernyanyi pada anak-anakmu, amin ya Allah, amin ya Allah, amin ya Allah, amin….

Sabtu, 16 Oktober 2010

Gemetar Cinta

Sedulurku tercinta, bermula dari masa kecilku yang dilarang oleh pak guru Madrasah [ternyata dari dawuh Kanjeng Nabi saw] untuk tidak mengencingi lubang [leng, Jawa] karena di sana ada makhluk yang butuh tak diganggu, menjadikan hatiku sampai sekarang tidak tegaan jadinya. Sehingga pada puncak keimanan pun sebenarnya sejauh mana tangan dan lisan ini tidak mengganggu orang lain dan sejauhmana mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.

Aku tidak kuasa apa-apa, tetapi hati ini menjadi gemetaran saat mendengar pembantu rumah tangga dianiaya, melihat kuli bangunan diremeh-remehkan mandornya, anak-anak dihajar orang tuanya, dan silahkan cari penganiayaan yang lain, lalu [ini yang akan aku ceritakan] pelacur dikewer mucikarinya lalu dijambak rambutnya sambil didorong keras tubuhnya, lalu ditangkap pemesannya di sebuah hotel, tepat didepan pintu.

Aku langsung gemetaran, dan membayangkan andai dia punya suami, andai dia dilindungi keluarga, andai dia dilindungi pemerintah daerahnya, andai dia diurusi organisasi sosial agamanya, andai dia dirawat partai politiknya, andai dia dijamin negaranya andai dia, andai dia, andai dia, andai dia, andai dia, andai dia.

Kalau aku amati: orangnya cantik banget, tetapi sedemikian tidak berharga kehormatan dirinya. Ingin rasanya akan aku rebut dari pelanggannya dengan cara menebus kontraknya, bukan untuk keinginan menggaulinya, tetapi untuk membebaskannya itu dari penganiayaan yang entah kapan itu usainya, paling tidak saat aku melihat itu. Tetapi apa dayaku, aku tertunduk malu, dalam ranah Tauhid: ini juga kesalahanku, kesalahanku, kesalahanku!

Lalu aku teringat pesan Nabi saw sebelum meninggal: jagalah wanita, jagalah wanita, jagalah wanita, wanita adalah tiang negara, kalau mereka baik jayalah bangsa, kalau mereka buruk, hancurlah bangsa, sorga dibawah telapak kaki Ibu. Bahkan Gandhi pun menghargainya: tanpa wanita kemajuan tak akan bisa dicapai. Aku membayangkan apa yang terjadi di kamar itu, bisa menjadi ladang pembantaian nafsu, dia hanya dihargai tubuhnya tetapi tidak perasaannya, sedemikian kuat itu lembaran kertas yang namanya uang.

Banyak hal ini yang disalahkan adalah orang lain: salahnya sendiri!! Tetapi mana hidup ini yang sendiri, dalam kesatuan Wujud bukankah semua ini bersumber dari Satu Ruh, akhirnya aku beranikan menyalahkan diriku sendiri: aku salah, aku salah, aku salah!

Aku pahami dalam jeritan Tuhan pada Hadis Qudsi: Aku lapar kenapa kau tak memberiku makan, Aku sakit kenapa kau tak menjengukku, Aku haus kenapa kau tak memberiku minum, Aku telanjang kenapa kau tak memberiku pakaian, Aku, Aku, Aku, Aku.

Kalau demikian, dalam setiap perjalanan kita akan kita temui keadaan yang demikian, jeritan Tuhan ini hakekatnya adalah mewakili derita hambaNya. Citra keberagamaan kita sebenarnya diukur sejauhmana keterlibatan mengurusi derita umat ini, bukan pada indahnya pernik tasbih, bagusnya lembar sajadah dan kemegahan jubah-jubah itu, tetapi membebaskan derita hamba itulah bagian dari cara kita: mendekat atau taqarrub itu kepadaNya….

Kawan-kawan, jangankan soal-soal yang berat ini menyangkut manusia, bahkan ketika Kanjeng Nabi saw melihat seekor onta dibenani diluar batas kewajaran, beliau gemetar seluruh sendinya. Ow, ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Allah, aku hanya bisa melihat namun tak kuasa menolongnya….

Kafarat Cinta

Sedulurku tercinta, ketika aku melihat semua bentuk derita, terbayangkan di baliknya adalah cahayaNya, sementara mereka yang tak tahu di balik penderitaan itu selalu mengeluh dengan bermacam ungkapan, lucu sebenarnya. Sikapku ini bukan tidak empati kepada derita dan kepayahan namun keprihatinan itu sebenarnya selubung dan di baliknya adalah kehendak baikNya itu, di balik kulit ada isi yang segar.

Kalau manusia merasakan kegembiraan dengan berbagai warna, waspadalah bahwa ujungnya bisa berubah kepahitan dan tragedi. Sekaliber singgasana Fir'aun, tragedinya adalah melahirkan supremasi dirinya itu di hadapan Tuhan, imperium diperoleh tetapi ia kehilangan di hatinya singgasana Tuhan, dia sendiri yang mengaku Tuhan. Namun bagi yang menderita dalam kepahitan, pahamilah pada ujungnya terasa sebagai manisan, memang tak merasakan kenyamanan dalam imperium itu, tetapi ia akan mendapatkan imperium lain yang Maha: Dia bermahkota di hatinya.

Aku bergembira selalu dipertemukan Tuhan kepada mereka-mereka yang nampak menderita, tetapi tidak sebenarnya, sebaliknya aku sering menemukan banyak orang yang nampak gembira tetapi hakekatnya menderita, derita yang dibungkus ketawa dan senyuman.

Misalnya pagi ini, aku dipertemukan seorang penjual jamu gendong ketika sedang jalan-jalan pagi, sambil jajan nasi pecel minumnya jamu paling pahit darinya itu [barangkali berguna bagi tubuhku]. Di samping penjual pecel dan jamu gendong ini, ada tukang sapu jalan, tukang becak, penjual kelontong kaki lima, satpan perusahaan, sopir truk yang kepayahan dan deru kendaraan yang lalu lalang dengan menjemput derita masing-masing. Aku sebut derita masing-masing, karena dunia ini batu gosok sementara manusianya dengan berbagai level adalah pedangnya, dan tentu yang menggenggam itu Tuhan, seburuk apapun mereka, iya kan?

Aku tak mampu menceritakan semua derita penggosokan ini, maka akan aku ceritakan satu saja: tukang jual jamu gendong yang aku reguk dari adonan tangannya yang paling pahit itu. Namanya Ibu Maryati [indah kan], alamatnya tidak sempat aku tanyakan, usianya 55 tahun, anaknya tujuh [semua di Jakarta], berkerudung sederhana, baju kebaya Jawa, pakai tapeh [jarit], sudah 25 tahun berjualan jamu gendong, [oh,iya] sandalnya jepit.

Dia berdinas mulai sehabis subuhan sampai jam sebelas siang, menjelang dhuhur, keuntungan bersih limapuluh ribu rupiyah. Ya, cara dia berjualan itu sederhana: ia hanya berjalan terus dari gang ke gang, dari kampung ke kampung, ternyata merekalah yang memanggil dia, bukan dia yang bengak-bengok [gembar-gembor] menawarkan. Dia tidak mau bantuan anak-anak yang dibesarkan itu, walau sukes di Jakarta.

Kemandiriannya itu yang aku takjubi, ya dia tak mau mandek namun terus bergerak, sampai ajal tiba--katanya. Senyum tetap mengembang: sepanjang jalan. Sesaat aku termenung oleh kata-kata Iqbal: semesta ini penempaan, semua bergerak: matahari, bulan, bintang-bintang dan gugusan bintang-bintang, kalau kau tak bergerak maka mingggirlah karena kau tak siap dalam dunia penempaan ini, jadilah kau bunga tanpa aroma dan gelak tanpa tawa.

Aku lebih terpikat pesona Ibu Maryati ini dibanding khabar-khabar besar di televisi dan koran yang nggegirisi itu: anda tahu sendiri kan? Aku melihat dia: senja yang bertaburan akan fajar, ia menyongsong sang ajal dengan semangat yang menyala, tetap bekerja, tetap bekerja. Aku bayangkan betapa bening hatinya, karena derita kerja dengan kesungguhan dan kesetiaan itu mengantarkan dia pada ampunan Tuhan.

Kanjeng Nabi saw menyatakan: kerja keras itu menjadi kafarat dosa, yakni menjadi tebusan dosa. Bahkan sekecil kena ujung jarum saja menjadi kafarat dosa. Akhirnya dalam hatiku menjerit-njerit: Wahai saudara-sadaraku yang dilanda musibah, saudara-saudaraku penyapu jalan kota yang sungguh-sungguh, saudara-saudaraku tukang becak yang megah kesabarannya, saudara-saudaraku yang teraniaya, saudara-saudaraku para sopir yang hati-hati, saudara-saudaraku siapapun kamu yang merasa menderita, jangan bersedih dan mengeluh, ayo teruslah melaju dalam penantian nan indah ini, menuju kepadaNya, lebih berharga mana kau tanpa derita tetapi hatimu kosong tanpa Dia tuan rumahnya, dibanding imperium tak kau punya tetapi dipuncak deritamu Dia bermahkota di hatimu, ayo, ayo, ayo, ayo......

Sedulurku, begitu jeritan hatiku terhenti, Ibu Maryati berpamitan dariku dengan setumpuk do'a: mas, mugi panjenengan pinaringan sehat panjang umur murah rejeki, pinaringan anak-anak ingkang sae-sae, pengeran ndandosi lahir batin panjenengan sarono manah ingkang sae lan suci, soho pinter olehe nyukuri kanikmatan, pareng-pareng....

Suaranya masih terngiang entah sampai kapan ini...