Jumat, 18 Juni 2010

Bingung Cinta

Sedulurku tercinta, Dia ada di sebuah tempat yang tak terjangkau oleh pemikiran, tetapi ketika engkau menengok Dia dalam dirimu, engkau tidak akan curiga Dia di negri antah brantah, Dia ada di sana, ini adalah sebuah misteri yang Real, Nyata. Hanya Allah sajalah yang ada, jangan mendekati Dia hanya ketika terserimpung oleh jeratan dengan dunia, kalau kepepet ya tidak mengapa. Jangan seperti ombak yang hanya bernyanyi ketika terhempas di pantai, jadilah air bak menggubah dunia dengan amal pemberian itu.

Aku sering dongeng dengan banyak kisah, tetapi aku menyadari bahwa aku sendiri adalah sebuah dongeng. Dia tidak bersatu, juga tidak terpisah. Aku sendiri berlagak sok tahu, sok suci menyendiri, atau berlebih-lebihan, namun segala sesuatu yang aku bahasakan sangatlah tidak tepat: bagaimana aku dapat melukis gambar Dia itu?

Bagiku, kebingungan mistis ini adalah bagai burung amat sangat indah itu, yang kadang aku rasakan hinggap di atas kepalaku, kalau aku banyak omong dan gerak, Dia langsung terbang entah kemana, kalau aku berharap hinggap lagi, selalu menderaku harap-harap cemas: mungkinkah Dia datang lagi? Untuk menanti kedatangan burung indah itu, aku bacakan senandung cinta untuk menunjukkan aku rindu, dan hasrat ini sangat menggebu.

Ternyata Dia memberi syarat yang sangat berat: Aku mau bersamamu, tetapi jangan bicarakan sesuatu tentang ini dan itu, aku datang dalam keintiman, hanya ingin bercumbu denganmu, jangan buang waktu. Cinta penghancur perbedaan dan pengungkap Kesatuan.S egala sesuatu di dunia ini makan dan dimakan, semua perjalanan berakhir dengan tragedi, tetapi ada dunia lain yang bergerak selamanya.
Di dunia ini pencinta tak pelak terpisahkan, tetapi di dunia lain bersatu selamanya. Semua benda yang indah ini tidak berarti dibandingkan dengan Lautan nan dalam. Aku sering mengingat bagian-bagian, meninggalkan untuk menatap pada Keseluruhan, padahal kebaikan dan keburukan berasal dari Satu Sumber.

Apakah keburukan berasal dari Tuhan? Pertanyaan ini jelas salah, karena mana ada Tuhan punya kecacatan, malah keburukan adalah bagian dari kesempurnaanNya. Seorang Pelukis tentu suka-suka ia menggoreskan bakatNya dengan tanpa batas. Aku harus mengerti Ruh yang Satu, memecah menjadi bentuk-bentuk tak terhingga kala ia melewati dunia ini. Aku harus memahami bahwa samudra kesadaran itu luas, dan bentuk-bentuk itu muncul ke permukaannya bagai wadah-wadah, setelah wadah penuh maka ia akan tenggelam dalam kedalamannya. Siapa kawan yang tidak ingin tenggelam dalam Tuhan, sebab orang mengira permukaan itu lebih baik, ternyata di kedalaman itu terdapat mutuara-mutiara yang tak terhingga nilainya.

Banyak orang ingin jadi abu, tetapi--termasuk aku--takut pada api. Cinta adalah api yang melahap segala sesuatu selain Kekasih. Bila ini adalah apiMu, musti bagaimana rupa api itu, bila ini adalah ratapanMu, hasratku tak sabar menanti kehadiranMu, yang sungguh cantik dan teramat manis. Aku mengeluh selalu, aku senang dalam kekasaranMu maupun kelembutanMu. Bila kadang aku bisa mencercap Taman Kesenangan, hasrat ini merasakan ketakhinggaan lapis keindahan itu, aku tetap merintih, bagai orang yang ketingalan pesta makan yang manis dan lezat....

Kawan-kawan, teruskan kebingunganku ini, kebingungan cinta, Kekasih adalah Esa, yang tidak berawal dan berakhir, ketika engkau temukan Dia, engkau tak akan mengidamkan yang lain, Dia lah yang Maha Lahir dan Yang Maha Batin, Dia lah, Dia lah, Dia lah....

Duka Cinta

Sedulurku tercinta, banyak tamu-tamuku berdatangan tidak sekedar mereka mengundang pengajian, namun mereka meminta solusi masalah hidupnya. Mulai dari perjaka tua sulit jodoh, bangkrutnya kehidupan, anak-anaknya yang nakal, malas hidupnya, pacar putus melulu, sampai masalah ejakulasi dini, apalagi, apalagi, apalagi.

Semua mengisyaratkan kesusahan atau kesedihan, padahal selama jasad dan jiwa itu bersama, kesedihan tidak mau tertinggal, ikut kemana-mana, ikut siapa saja. Apapun yang mengenahi diri--dalam ranah cinta--adalah goresan yang kalau didalami dan diselami, maka kesedihan tidak semengeri yang dibayangkan banyak orang, semua tergantung kecerdasan diri dalam menghadapi semua itu. Aku itu gampang menangis, tetapi nangis kegembiraan dibalik duka cita dunia ini, apalagi menangis karena kegembiraan atas kebahagaan saudara-sadara: melihat kesehatannya, usahanya jalan, anak-anaknya beradab, rukun keluarganya dan sebagainya.

Aku bilang menangis kegembiraan dibalik kesedihan itu maknanya percayalah bahwa Dia tidak akan menyakiti kita, Dia membenahi kita, Dia menyempurnakan kita--pada ujungnya. Semua peristiwa ini proses yang harus direlakan--walau menyedihkan seperti apa--untuk menuju tangga-tangga kebahagiaan hidup. Dasarnya, Tuhan tidak akan membikin semua ini dengan sia-sia: Maha Suci Dia.
Lihatlah banyak kisah--biasanya orang-orang besar--dibalik kesusahannya mereka tidak sekedar memperoleh kurnia-kurnia, tetapi dimahkotai yang membikin karunia ini, yakni Tuhan.

Sementara yang aku temui diatas adalah masalah-masalah barang ciptaan, sementara yang aku tunjukkan adalah jangan disedihkan masalah barang-barang ciptaan ini, pandanglah yang menciptakan, maka musnahlah derita. Semua yang kita alami dalam selubung dunia ini adalah semacam bungkus-bungkus dengan beraneka warna dan rupa serta jenis. Bila bungkus itu terbuka, maka kita akan bisa memandang keindahan yang tak terkira, wujudnya adalah Kehadian Tuhan dalam diri ini.

Bagi manusia puncak menanggung derita, mereka itu para Nabi dan Rasul dengan titel Ulul ‘Azmi, beliau-beliau itu kuat karena ada kemampuan membongkar selubung pernik dunia, lalu dipandangnya Dia. Ketika Dia kita rasakan kehadiranNya dalam diri, kita akan megah dalam sejarah, kita akan menjadi khalifah di bumi. Megah dengan rendah hati, menang tanpa merendahkan, kaya walau tanpa harta, menjelajah dalam kesendirian, sakti walau tanpa senjata.

Orang semacam ini jiwanya bisa terbang bagai merpati, langkahnya bebas dari keterserimpungan materi walau kenyataannya harus menghadapi derita ini, kemudian berani menanggung resiko antara suka dan tidak suka yang biasanya diciptakan oleh arus pemikiran yang kalkulatif itu, dan tidak terjebak kepada keakuan yang melanda kepada orang-orang besar itu biasanya, bentuknya ingin hebat, menjaga gengsi, harga diri, kesombongan, sok kuasa dan sebagainya....

Kawan-kawan, sekali lagi, kita bisa tertawa sendiri kalau menyadari semua pernik masalah dengan ujung
karuania ciptaan ini, maknanya apa yang sepantasnya kita bawa dalam kehadiran kepada Dia, andai kita maturnuwun atas kurnia itu yang pantas. Ternyata semua tidak pantas, kecuali kita datang dengan menyerahkan hati dan kebaikan-kebaikan yang direndahhatii. Memang kesedihan tetep hadir tetapi telah kita olah dalam samudra cinta, menjadi kegembiraan adanya, itulah duka cinta....

Langgar Cinta

Sedulurku tercinta, dalam memori di hati, nampak jelas hingga kini, kalau aku bahasakan jadilah wujud tulisa-tulisan yang tak bertepi dan bisa aku suguhkan menjadi hidangan semesta ini. Dalam usiaku yang ke 47 ini, aku merasa sudah tua, tapi karena hatiku terbakar oleh Cinta maka suasana menjadi selalu muda. Cinta menjadi energi, yang hasrat dan geloranya bisa tumpah ruah mengalir di hati juga, wujudnya adalah kegembiraan hidup yang menyala-nyala. Cinta selalu melahirkan kesepakatan dari berbantahan, orang-orang yang mempunyai hati penuh cinta selalu akan mendapat pertolongan.

Cinta adalah kebaikan mutlak, apakah bentuknya spiritual ataukah sensual tidaklah penting, yang penting adalah bahwa cinta itu membawamu ke Cinta itu sendiri. Cinta dan imajinasi adalah pesulap yang menciptakan imaji Kekasih dalam pikiran, yang dengannya kita berbagi saat-saat intim yang rahasia. Bayangan tidak terbuat dari apapun, tetapi dari mulut muncul pertanyaan: Bukankah aku Kekasihmu? Dan dalam diri kita ada jawaban lembut : Ya, ya, ya, ya, ya, ya, ya.

Langit dan bumi terlalu sempit untuk menampung Cinta, cinta hanya bisa bersemayam di bidang yang sangat luas--yang penuh cinta juga--dalam hati pecinta, kita bisa mencari Dia di sana. Di sana itu aku mulai dari sebuah langgar (mushalla) kampung dengan bimbingan kasih sayang dari Kiai, setelah dari ayunan dan gendongan Ibuku. Langgarnya masih panggung terbuat dari bahan pohon kelapa, atapnya sudah genteng, dinding papannya dari kayu randu yang empuk itu--bila untuk tidur malam ramai-ramai selalu terasa hangat walau tanpa kemul. Halamannya sangat luas, tempat bermain gasing, jithungan, bal-balan, bahkan latihan gulat sama teman-teman, serta belbagai jenis mainan anak-anak, indah sekali, indah sekali, indah sekali.

Pada serambi langgar itu, lahir pemahaman bersama yang berasal dari belbagai kebijaksanaan yang sama, bukan dari bahasa yang sama. Pada serambi langggar itu terjadi ungkapan belbagai hal dengan satu hati, bukan satu lidah, bukan. Sumber kebaikan bisa aku lihat dari langgar itu awalnya, ada seorang Kiai yang baik hati kepadaku dan kawan-kawan, yang menumbuhkan keinsyafan berbagi kehidupan.
Dalam langgar itu sealalu ada semacam perayaan harian, Kiai selalu melumuri hatiku dengan keindahan perilaku atau adab, yang membukakan hatiku. Dalam hatiku yang tergerak oleh cinta, pelayanan semacam itu bagai permainan petak umpet, yang tempat tinggalnya di hatiku, cahaya Tuhan mulai nampak terang dalam fajar hidupku.

Walau aku anak yatim, tetapi pelayanan Kiai itu dengan cintanya nan manis membasuhku hingga bersih dari kepahitan dan kesepian hidup. Umur Kiai itu sepertinya sebuah kemabukan pelayanan dan pengabdian sampai beliau tidak mengetahui keadaan hidup yang sebenarnya. Usai Subuhan, aku mengaji sorogan di atas dampar yang sungguh-sungguh licin bukan karena amplas, tetapi karena gesekan atas penggeseran kitab dari banyak teman, murid-murid itu. Siang, setelah sholat dhuha, Kiai itu pake caping, memanggul cangkul, bawa sabit--pergi ke sawah. Hal ini nampak dalam pandangan hatiku, menunjukkan kerja, menamplakkan untuk mandiri, tanpa mau menyerah, namun pasrah bagai petani yang tak pernah putus asa itu, tahan banting sejarah.

Aku sepulang sekolah dasar, berjamaah bersama beliau dengan sebelumnya pepujian bareng yang menentramkan walau tanpa pengeras suara. Sore aku menuju ke madrasah yang dengan tarjet hafalan, sambil menelusuri lorong-lorong kampung menghafalkan nadhoman (syair-syair shorof, nahwu, tajwid). Sore, ditunggui Kiai itu, bagai Ibu menunggu anak-anak bermain, halaman langgar itu yang aku sebut seperti perayaan harian yang indah, belbagai permainan dipentaskan anak-anak seluruh kampung, sorak-sorai membahana, anak laki dan perempuan, sebagian ada yang terjadwal memenuhi air bak wudlu. Malamnya pesta ayat-ayat suci sampai isya', selepas ngaji bersama ada saja saat purnama, belbagai permainan digelar, dalam temaram cahaya, kami merasa bahagia.

Semuanya nampak spontan, hampir mirip sebuah kegilaan. Buku-buku belum aku kenal, agaknya saat itu mengesampingkan hal-hal yang belakangan aku tahu: rasional. Justru dalam kedinian usia aku dikenalkan dengan apa yang disebut kesadaran, kesadaran yang sesungguhnya. Ternyata hal-hal kecil itu, aku pahami mengantarkan pada Hadirat Ilahi. Semua pesona ini, tanpa sertifikat tetapi menjadikan aku tanpa keraguan melompat, mengejar momen, dan tidak sulit, sekarang ini, sekarang ini, sekarang ini....

Kawan-kawan, ayo kita nikmati sesuatu yang lengket di hati kita, sangat manis, sangat manis, angat manis....

Fana Cinta

Sedulurku tercinta, pada penglihatan hatiku, semua mengisyaratkan arus cinta yang tergerak oleh seruan Sang Ruh--orang bilang Tuhan itu, Allah. Apa yang aku sebut penglihatan--maaf--itupun bukan milikku, tetapi murni milik Dia. Dan apa yang aku bilang hati--sungguh--inipun bukan punyaku, namun nyata-nyata punya Dia. Kalau apa yang tersebut aku, sejujurnya itu berasal dari wilayah ego dan kepribadian temporal, yang betapa pun kecil dan lembut, bisa menjadi selubung rindu dalam merenungkan Tuhan, apa lagi memandangnNya.

Dalam keintiman dengan Dia, semua harus ditinggalkan--termasuk diriku--karena Dia tidak mau mendua, tetapi senantiasa ada ruang untuk berdua, bertiga, berempat, berlima, berenam dan seterusnya--tak terhigga. Sebenarnya, aku itu sendiri namun tidak menyendiri, ada Dia. Jadinya, aku mencari Aku, ketika pada akhirnya aku menemukan diriku sendiri, aku menyimpulkan bahwa diriku tidak ada, tidak ada.

Penggiringan akalku ini, merupakan tanjakan untuk masuk pada samudra Cinta, yang semata-mata aku harus mengamalkan dalam realitas hidup, yang bebas dari kepentingan pribadiku. Bentuknya adalah menekankan dan mendorong pelayanan kepada masyarakat--tanpa batas, toleransi dan kebaikan kepada sesama, dan melakukan panutan kemuliaan manusia, sebagaimana sejarah membuktikannya. Bagiku, kalau hanya untuk pembicaraan dan terkaan, memang akal menjadi panglimanya. Jadinya, tidak ada agama bagi yang tidak berakal--benar adanya. Ternyata model ini masih milik wilayah ego, buktinya bisa dilihat,tindakan praktisnya paling banter: cinta agama.

Cara ini memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Kepercayaan pada akal semata, berefek akan kosong dari keuntungan spiritual, ia akan berfungsi untuk membuat seseorang secara sosial dan secara moral: buruk. Karena seseorang mungkin dengan mudah menyelewengkan akalnya untuk membenarkan kepuasan diri dalam berbagai keburukan atau perilaku ofensif dengan mengklaim bahwa karena semua dari Dia, apapun boleh. Sikap ini bisa menggunakan agama untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri.

Jadi, kesetiaan akal bisa mencurigakan, karena ia sesungguhnya bisa menuntun kepada kebusukan moral yang merendahkan seseoran dari maqom puncak kemanusiaan. Buktinya orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan ajaran-ajaran dalam bentuk luar: shalat, puasa, sering pengajian, haji umroh berkali-kali dan sebagainya--tetapi tidak di dalam hatinya dan prilakunya. Sekali lagi cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang dan cinta.

Sebaliknya, akan menetes prilaku yang bersumber dari kebencian, irihati, dan fitnah--yang abadi. Demikian resiko nyata yang harus diperoleh kalau doktrin itu diajarkan dan dipelajari oleh semata akal pikiran, yang diajarkan di podium akademik saja. Memang upaya ini sungguh lumayan, karena bisa meningkatkan kesadaran intelektual seseorang.....

Kawan-kawan, ayo masuklah ke samudra Cinta, melibatkan sebuah jalan praktis di mana orang melihat segala sesuatu sebagai satu, karena difokuskan tidak lain dalam satu arah. Keadaan seperti ini merupakan praktek yang didasarkan pada pengalaman dan perwujudan langsung, bisa wahyu atau penglihatan batin--orang bilang makrifat itu.

Model ini membebaskan seseorang dari kesadaran diri dan membawa dia menuju kehidupan dalam Tuhan. Singkatnya, biarkan Tuhan berbicara melalui diri manusia. Praktekkan apa saja yang bertiup di dzomir manusia, yang diyakini tiupan nafas Tuhan. Bila demikian, agama hadir akan bisa menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat....

Layat Cinta

Sedulurku tercinta, kemaren aku mendatangi Haflah Akhirussanah di Yayasan Darul 'Ulum, Wates Mijen Kota Semarang, jenjang pedidikannya mulai dari TK, MI, MTs, MA, di pojok kota aku temukan keindahan bak menemukan mutiara dalam kedalaman samudra. Dalam banyak media selalu memberitakan keburukan yang melimpah, dalam kenyataan di lapangan tidak seburuk yang di beritakan. Pengunjung sedemikian melimpah, wali murid dan masyarakat umum sedemikian rukun dan guyub menyanyikan kidung cinta, dalam wujud mencerdaskan kehidupan bangsa.

Aku lebih percaya akan jaminan Allah bahwa Dia tidak akan memberikan bencana kepada suatu kaum atau bangsa selagi kaum itu masih ada saja yang berbuat kebajikan dan kesalehan. Kebajikan semua civitas akademika di Yayasan Darul 'Ulum kampung ini, bagian dari titik tumpu rahmat dan kasih sayang Allah diturunkan. Malah dimana-mana aku temukan kesalehan itu, cuma semua kebaikan yang melimpah ini tidak diberitakan, malah keburukan saja yang diceritakan dan diberitakan.

Belum lagi alunan musik gambus dan rebananya, aku lihat sangat indah, yang dimainkan anak-anak siswa madrasah itu, sebagai sarana menyatukan jiwa-jiwa. Aku sampaikan kata-kata Sayyidina Ali, Orang tua Ibarat busur, anak-anak ini ibarat panah, yang akan dilepaskan. Dalam pelepasan ini ada yang perlu direnungkan, bahwa orang tua mendampingi anak-anak itu paling banter sampai cicit, setelah itu mati. Jangankan kita mati, ketika masih hidup saja banyak yang tidak mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak itu, apalagi manakala kita sudah mati : siapa yang akan memberikan kasih sayang itu dalam bentuk pendidikan akal dan budi pekerti?

Orang pasti akan ribut dengan kebutuhan masing-masing, mana sempat sampai menegur anak-anakmu itu, kalau tidak kau bawakan cahaya iman yang menetes cintanya di dada anak-anak itu. Sehinga anak-anak itu tidak harus ditegur melakukan kebaikan, tetapi melalui dari dorongan dalam hatinya, yang bekalnya sudah kita bawakan.

Lihatlah,ada seorang anak kelas empat MI, namanya Andika bin Poniman yang aku temui malam itu. Anak ini sejak TK memiliki sikap yang tidak umum, hobinya takziyah atau melayat kalau ada yang meninggal, sehingga guru-gurunya memaklumi kalau Andika ini mohon izin dari sekolah: untuk melayat. Dari mulai menahlilkan, memandikan, mengafani, menyolatkan, mengusung ke kuburan, sampai pada meletakkan ke liang kubur.

Anak shaleh ini tentu belum kenal dengan apa yang disebut hak-hak muslim antara satu dengan yang lain: kalau ada yang mengundang datanglah, kalau ada yang meninggal layatlah, kalau ada yang sakit jenguklah, kalau ada yang uluk salam jawablah, dan kalau ada yang bersin do'akanlah. Kalau ada yang sampai melarang, dia punya taktik: ingin mencari ayahnya, padahal sebenarnya akan melihat langsung prosesi penguburan orang yang meninggal itu. Bahkan kalau tetap dilarang dia akan menangis dan tangisnya akan diam kalau sudah berhadapan dengan seluruh proses pemakaman.

Aku tanya: apakah adik senang melihat orang kesusahan? Tidak--sahutnya. Kenapa--lanjutku bertanya--tidak seperti sebaya adik, kalau ada mayit diusung ke kuburan mereka bersembunyi atau mengintip lewat lubang dinding rumahnya? Ada keindahan dibalik itu--katanya. Apa itu--kejarku. Aku senang pada kematian--katanya....

Kawan-kawan, sontak aku ingat akan kata Rumi, setiap kematian membawakanmu lebih banyak kehidupan. Engkau berdiri di tepi samudra CintaNya. Terjunlah ke bawah ombak besar perpisahan. Menyelamlah ke kedalaman mistis. Larutkan dirimu dalam samudra itu. Bagai seekor ngengat di seputar lilin, biarkan dirimu terseret tanpa daya dalam api sampai engkau terlumat oleh api dalam inferno komune. Pecinta memilih api karena ia mengetahui rahasia: madu berharga sengatan....

Peron Cinta

Sedulurku tercinta, pagi ini (jam 03. 00 WIB) aku menerima rombongan rebana Al-Majnun dari Bojonegoro, mereka mampir sebelum acara besok di Pantai Marina Semarang, walimah temanten. Group ini menamakan diri dengan Al-Majnun (si gila), mengandaikan diri dalam mewujudkan cintanya kepada Kanjeng Nabi SAW, melebihi dari cinta Qois kepada Layla itu. Aku sering mendatangi markasnya di pinggir sungai Bengawan Solo, yang kerap kali kebanjiran itu.

Dalam melayani masyarakat, mereka tanpa transaksi, orang-orangnya masih muda, hatinya dihiasi keikhlasan, dikomandoi oleh Kiai Hasyim. Seluruh anggotanya 24 orang, mereka sekarang membaringkan kelelahan di rumah cinta ini, sepertinya membalasku yang sering datang ke markasnya itu. Rombongan ini pernah aku ajak silaturrahmi ke Kenduri Cinta Cikini Jakarta, di TIM dengan menumpang kereta ekonomi Kertajaya. Sampai di Jakarta aku ajak silaturrahmi ke tempat Andi Priok, rombongan ini dalam keadaan apapun anti mengeluh, keikhlasannya menjadi energi yang hebat. Jenis musik yang diusung rebana hadrah dan balasik, latar belakang pemainnya: petani, tukang ojek, santri pesantren, dan guru-guru madrasah.

Aku selalu ditunjukkan bukti bahwa Indonesia tidak seperti yang tertera dalam media, kebaikan semacam mereka bagiku menjadi salah satu tumpu rahmat Allah diturunkan sehingga Indonesia tidak akan diberi kerusakan disebabkan penduduknya masih ada yang berbuat baik, seperti kebaikannya group ini. Anak muda, taat dan tawadzu', tidak seperti kebanyakan yang diberitakan media, anak muda merampok, mencuri, memperkosa, amuk masa dan lain sebagainya.

Sepertinya aku menemukan mutiara di kedalaman kampung, pinggir kali Bengawansolo. Malamnya mereka bersamaku, tampil di Kenduri Cinta, aku ajak juga pemain mandolin piawai: Habib Sholeh Jakarta. Kala itu suasana sangat makmur, sampai-sampai ada tamu dari Yaman yang menginap di Hotel Aliya turun menyambangi group ini begitu mendengar denting dawai mandolin yang dipethik oleh Habib Sholeh itu. Cak Nun yang dini hari datang menutup dengan suluk yang diiringi grup gendeng ini, malam sampai pagi menjadi kemesraan bagai perayaan temanten saja.

Selesai di TIM, kami dijemput oleh saudaraku Dick Doank sebab malamnya harus menemani pengajian As-Sajadah Kandang Jurang Doank Tangerang, juga sampai pagi jam 03.00WIB. Sepertinya kami tidak boleh istirahat, sebab paginya harus naik kereta ekonomi lagi melalui Stasion Jatinegara, menuju Bojonegoro, malam mereka ada acara di sana. Tiket sudah beli, menanti pemberangkatan yang panjang, selama tiga jam, setelah kami menikmati nasi bungkus sambil duduk melingkar di Peron, begitu saja muncul gagasanku: ambil rebana, kita selawatan di Peron ini.

Bagi orang menunggu sebuah siksaan yang menjengkelkan, kami hiasi waktu dengan keasyikan merajut cinta di Peron itu. Shalawat menggema di Stasion Jatinegara, mata orang-orang memandang dengan senyum, kereta riuh lalu lalang, loud spiker menjerit-jeritkan pengumuman, asongan bersliweran, penumpang berjubel naik turun, pengamen lalu lalang.

Mengamati itu saja, terbayang di hatiku bagai miniatur mahsyar, orang bergerombol sesuai dengan kelompoknya, termasuk di suatu sudut Peron aku lirik sepasang kekasih saling merindu, menganggap yang lain tidak ada. Tiba-tiba ada beberapa satpam Stasion mendatangi kami, dengan ujung melarang rebana ditabuh, namun aku minta diteruskan setelah bilang kepada satpam: Mas, semua orang kau bebaskan, termasuk pengamen-pengamen itu, dikira group ini bukan pengamen, mereka mengamen dengan do'a-do'a dengan harapan seluruh penumpang kereta ini selamat dan diberkahi Allah....

Kawan-kawan, selebihnya satpam tersenyum gembira, merelakan kami bershalawat ria menunggu kereta, di Peron itu. Tidak lama setelah berhenti datanglah sepasang Bapak-Ibu mendekati group ini--asli Cirebon--meminta untuk tampil dihajat menikahkan anaknya, dengan hari yang sudah disepakati. Lalu kami naik kereta lagi, walau atap bocor, bau pesing sudah kelasnya, kereta mondak-mandek di setiap stasion, pedagang menjerit-jerit, kami bisa tidur nyenyak, karena kelelahan itu....

Rejeki Cinta

Sedulurku tercinta, orang Jawa kalau sedang mendapat penyakit atau musibah selalu merendah hatinya: nembe pikantuk ganjaran (baru mendapat hukuman). Kerendahan hati ini bukan tanpa landasan, apalagi sebesar penyakit atau musibah, Kanjeng Nabi memberi khabar, walau kena ujung jarum sekalipun itu bisa menjadi tebusan dosa. Jadinya, besar kecilnya derita akan menjadikan pembersihan diri, sesuai dengan timbanganNya, tidak sekedar besok tetapi sekarang ini, supaya pulang ke Dia, beres.

Sementara orang ada yang berlimpah kemakmuran dan kesehatan, dengan sumber yang tidak halal, dibiarkan Tuhan--tanpa derita. Mereka merasa selamat, merasa tidak ada apa-apa, aman-aman saja, mereka bangga walau tidak disapa Dia. Inilah yang disebut Rumi: tiyang gantungan.

Tersebutlah dalam kisah, Ibnu Umi Maktum, si buta tua sowan ke Kanjeng Nabi SAW, detik itu turun ayat 'abasa watawalla an jaahula'ma wamayudrika la'allahu yazzakka (The Prophet) frowned And turned away, Because there came to him The blind man interrupting). But what could tell there But that perchance he might Grow (in spiritual understanding), karena Kanjeng Nabi memalingkan si buta tua itu pada saat di dalam rumah ada para pembesar masyarakat, padahal kedatangan si buta ini lebih mulia dari mereka sebab mau bebersih diri.

Maafkan aku wahai Ibnu Umi Maktum--sapa Rasulullah--ada apa? Wahai Rasulullah--jeritnya--aku ini buta sudah tua, kalau toh aku tinggal di dunia ini tinggal berapa lama, bahkan tidak lama lagi, berilah aku petunjuk untuk bagaimana dosa-dosaku terampuni oleh Allah. Oo iya Ibnu Umi Maktum--sahut Kanjeng Nabi saw--karena engkau buta dan tentu yang berfungsi adalah telingamu, maka ketika ada suara Adzan dari Masjid, suara itu rangkullah sepenuhnya dengan cara: tinggalkan rumahmu, berangkatlah dengan langkah tongkatmu ini, mengikuti jejak suara sampai ke pusatnya, masjid. Berangkatlah dengan mandiri, kalau nanti ada apa-apa di jalan, terimalah, itu sudah rejekimu, rejeki cinta dari Dia.

Petuah beliau ini dengan serta merta dijalankan Ibnu Umi Maktum itu. Terdengarlah Adzan Subuh: Allahu akbar Allaahu Akbar. Bagai pendekar, si buta shaleh ini mulai mengayunkan langkah merangkul cahaya dengan tongkatnya, menuju masjid. Allahu Akbar Allaahu Akbar. Pesan kemandirian dipegang olehnya, tidak minta tolong siapapun. Asyhadu allaa ilaaha illallah. Di balik kegelapan matanya, suara itu nampak jelas, cahaya itu nampak indah. Asyhadu alla ilaaha illaah. Dia ingat kata Kanjeng Nabi, bahwa orang buta kalau ridho dan sabar, jaminannya adalah surga. Asyhadu anna muhammadar rasuulullaah. Menerawang di balik buta matanya, semua kata-kata suci Kanjeng Nabi dia ingat terutama akhirat lebih baik dari dunia ini. Asyhadu anna muhammadar rasuululaah. Semesta yang tidak ia lihat pesonanya, tetapi ia melihat Nur Muhammad di mata hatinya. Hayya 'alash sholah. Sampai panggilan ini ternyata tongkatnya menyentuh sebuah batu dan keseimbangan dirinya hilang, maka ambruklah dia, tumbanglah tubuhnya, dan pipinya ternyata mengenahi sebuah batu runcing, ia ambil dan keluarlah darah segar. Sementara adzan terus berlangsung. Ia bertarung dengan dirinya kalau ada sesuatu di jalan --kata Kanjeng Nabi--sudah menjadi rejekinya.

Langkah kembali ia ayunkan dengan tangan satunya memegang tongkat, tangan satunya memegang pipinya yang mengucurkan darah. Begitu sampai serambi masjid, para sahabat menyambanginya dan melihat Kanjeng Nabi datang sambil tersenyum. Sahabat bertanya: wahai Rasulullah kenapa engkau tersenyum? Beliau menjawab: Wahai Ibnu umi Maktun, barusan aku dikabari malaikat Jibril bahwa atas deritamu ini, dosamu separo sudah hilang. Tersenyumlah si buta ini--dalam hatinya berbisik--berarti kalau nanti jatuh lagi berarti seluruh dosaku habis.

Manusia ada lupanya, sering si buta ini begitu ada yang menyentuh tangannya menuntun, ia turuti, lupa kemandirian itu. Maka berulang kejadiannya, selamatlah dia. Untuk kali ini dia meradang: siapa kau sebenarnya selalu rajin menuntunku, aku dipesani Rasulullah untuk mandiri, kalau kau tidak menjawab, aku tidak ingin kau tuntun.

Wahai Ibnu Umi Maktum--suara menjawab--aku ini Iblis. Lho--sahutnya--mana ada Iblis menuntun dalam jalan kebaikan? Bukan begitu Ibnu Umi Maktum--sahut Iblis--aku menuntunmu itu bukan ranah kebaikanku, tetapi aku hanya menjagamu supaya tidak jatuh lagi, sebab kalau kau jatuh lagi, berati dosamu yang separo lagi hilang seperti yang disebutkan Kanjeng Nabi itu....

Ludah Cinta

Sedulurku tercinta, tersebutlah seorang Yahudi di Madinah, di samping sudah sepuh banget, tambah buta lagi. Kalau soal bisa menghargai perbedaan, bukan menjadi masalah, tetapi kebencian hatinya kepada Kanjeng Nabi itu yang menjadikan persoalan. Demikian juga, penduduk dunia, negara, kampung kalau bisa menyadari atas perbedaan itu saling ketergantungan, maka akan menghasilkan ketentraman.
Hanya kebencian yang menjadikan kebaikan berbalik keburukan di matanya, cahaya berbalik kegelapan di dadanya, petunjuk berbalik kesesatan di kalbunya, ampunan berbalik siksaan di hadapannya. Bagi hati yang dipenuhi kebencian, dekat bisa menjadi jauh, manis bisa terasa pahit, kebahagiaan bisa menjadi kesusahan, ringan bisa menjadi berat, jangankan mengangkat derita orang lain, pembenci itu mengangkat dirinya sendiri saja tidak kuat, terbebani hawa kebencian itu, malas jadinya.

Ketika ada jenazah Yahudi lewat, Kanjeng Nabi yang tadinya duduk lalu berdiri tegak menghormati, sampai sahabat ada yang bilang: bukankah ia Yahudi, Ya Rasulullah? Kanjeng Nabi dengan singkat menjawab: kalau kau bilang Yahudi, bukankah ia manusia? Berbeda agama tetapi sama-sama manusia. Berbeda manusia tetapi sama dalam keyakinannya. Berbeda keyakinan tetapi satu negara. Berbeda pendapat tetapi satu agamanya. Dalam menjalin persaudaraan tentu yang dicari adalah titik kesamaannya, jadinya kerukunan yang indah.

Bagi si buta Yahudi ini, setiap orang yang lewat menuju masjid Nabawi, ketika kasihan melihat keadaannya, lalu memberi dirham, bukan terimakasih yang diucapkannya, malah memperolok-olok pemberinya yang muslim itu: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia! Datang lagi orang bersedekah kepadanya, diumpat dengan kalimat kebencian yang sama: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia! Terus begitu, lidah kalau sudah begini tidak ada obatnya kecuali kematian.

Pada saat Kanjeng Nabi lewat, pasti nyambangi dia itu, bukan uang yang diulurkannya, tetapi beberapa biji kurma masak nan manis. Karena buta, si Yahudi ini tidak tahu kalau yang memberi itu orang yang dibencinya habis-habisan, sambil menerima buah kurma tetap meradang: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia, dan memberi bukan dirham namun kurma keras begini, nih kunyahkan dulu yang lembut baru aku makan.

Kekasih Allah ini tidak menampakkan raut yang marah, tetap tersenyum, walau di depan matanya orang menghina, lalu dikunyahkannya kurma itu dengan lidah sucinya, ludah cinta. Lalu Kanjeng Nabi mengulurkan tangannya untuk menyuapkan kunyahan kurma itu ke bibir kebencian. Drama seperti itu dilakukan beliau bertahun tahun, tanpa beban, bagai matahari, beliau berhadapan dengan lilin.

Sampailah pada suatu ketika,setelah Kanjeng Nabi wafat, tradisi indah itu diteruskan oleh Sayyidina Abu Bakar, perbedaannya Sayyidina Abu Bakar tidak mengunyahkan dulu ketika memberi kurma. Tambah meradang si buta itu: siapa engkau yang memberi kurma tidak dikunyah dulu dan tidak menyuapiku seperti biasanya? Aku, Abu Bakar--jawab sang khalifah. Lantas siapa yang tahunan memberiku kurma lalu menyuapiku dengan kelembutan itu--tanya si Yahudi. Sayyidina Abu Bakar menjawab itulah junjunganku Rasulullah....

Kebencian yang dibalas dengan cinta ini, menyebabkan si buta Yahudi lunglai segala sendinya, dengan gemetaran bibirnya dia bertanya: di mana dia sekarang? Sayyidina Abu Bakar menjawab: beliau sudah meninggal, tradisi indah ini aku teruskan untuk sedekah kepadamu. Air mata yahudi meleleh, bibirnya terkunci rapat, dia ingat kata-kata yang diucapkannya di depan beliau: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia ahli sihir, dia gila, jangan ikuti dia. Tangan yang gemetaran itu menggapai-gapai Sayyidina Abu Bakar: Wahai penerus cinta, Abu Bakar, kini tidak ada yang bisa menebus keburukan adabku, kecuali, kecuali, kecuali, kecuali, bimbinglah aku sekarang untuk mengucapkan kalimah syahadat, walau dia sudah tiada, aku akan ikuti jejak-jejak cintanya bersamamu, bimbinglah aku....

Kawan-kawan, kekuatan cinta seperti ini bagiku lebih berkesan kuat menghujam dihati manusia, dibanding--misalnya--pidato seindah apapun, prilaku beliau memiliki tetesan kata yang lebih tajam dari ketajaman lidah siapapun, apalagi lidahku, apalagi ludahku....

CNKK Cinta

Sedulurku tercinta, hari ini ulang tahun orang sederhana di mataku, tetapi termasuk designer gerakan hidupku, Cak Nun dengan Kiai Kanjengnya itu, umurnya kini 57 tahun. Tulisan ini, walau beliau tidak sempat membacanya, bagian dari ucapan selamat ulang tahun, dariku sekeluarga dan semua teman-teman.

Siapa Cak Nun itu? Barangkali ia adalah orang pertama yang tertawa keras atas kemustahilan menjawab pertanyaan ini. Setahuku, Emha menghabiskan hidupnya mencari Emha. Ketika pada ujungnya ia menemukan dirinya sendiri, ia menyimpulkan bahwa dirinya tidak ada. Cak Nun adalah sebuah teka-teki paradoksal. Ia sebenarnya adalah guru agama atau Kiai atau Syeh, yang mengajarkan bahwa seluruh filsafat spiritual tidaklah memadahi. Ia adalah penyair besar di negri ini, yang menganggap puisi sebagai hiburan yang boleh jadi membuang-buang waktu.

Di tengah ia bicara ajaran agama, bisa saja dengan kecakapannya senang dengan seloroh dan humor sehari-hari. Ia pantangan minuman keras tetapi antusias menulis tentang kemabukan. Ia adalah orang bijak yang dimuliakan dan sering menganggap remeh dirinya. Ia boleh jadi manusia fana, yang hadir semeleh di bumi. Cak Nun lahir 27 Mei 1953, sepuluh tahun dan sepuluh hari jarak dariku yang lahir 17 Mei 1963. Ia lahir di Menturo Jombang, aku lahir di Baturagung Gubug Grobogan.

Pada usia dini, ia dan seorang Ayah telah dididik keluarganya secara relegius, lahir dari seorang Ibu yang penuh cinta dan seorang Ayah yang taat. Selagi kanak-kanak, konon Cak Nun telah bersahabat dengan Gus Ud, yang ia sebut Kiai Sudrun itu dalam banyak tulisannya. Konon lagi tenggorokannya (telak) pernah diludahi (diidoni) oleh Kiai Sudrun itu. Pengalaman agamawi bersama Gus Ud ini membentuk penampilan dirinya yang unik ini.

Ketika dewasa, selepas keluar dari Pesantren Gontor, berada di Jogja, dunianya berubah drastis tanpa diduga ketemu dengan penyair dan musafir liar Umbu Landu Paranggi. Cak Nun itu bersifat tenang, taat, terhormat, dan berpengaruh. Sementara Umbu itu bersifat kasar, blak-blakan, eksentrik dan menggebu-gebu dalam pengabdian. Akan tetapi ketika kedua orang ini bertemu, mereka mengenali diri masing-masing ada obsesi pada Misteri Kehidupan yang besar. Mereka sahabat jiwa yang sama-sama memiliki antusiasme luhur untuk mencari kebenaran. Apapun hubungan mereka adalah cermin cahaya satu sama lain. Sekarang Umbu itu hilang entah kemana, mungkin tugasnya telah selesai dan Cak Nun meneruskan perjalalan spiritualnya sendiri.

Lihatlah aliran deras syair tak terkendali muluncur dari hatinya. Lihatlah berapa puisi yang menjadi buku, sudah banyak diterbitkan. Lihatlah berapa buku yang berbicara dengan berbagai sudut pandang telah diterbitkan. Pola hubungan dengan Cak Nun ini lain dengan pola tradisional keberagamaan yang konservatif, melainkan tersapu dalam angin puting beliung pelayanan kemasyarakatan. Dari kampung ke kampung, dari Desa ke Desa, dari Kota ke Kota, dari Pulau ke Pulau, dari Negara ke Negara. Bersama musik Kiai Kanjeng yang orkrestatif itu. Seluruh perjalanannya menjadi sebuah hubungan asmara dengan Kekasihnya, Tuhan itu.

Kini usianya 57 tahun, hatiku bergetar ketika di Gambang Syafaat Semarang, sehabis menyapa Lumpur di Sidoarjo di tengah pertemuan ia bilang pelan: sekarang umurku 56 tahun, kalau aku kejatah seperti Kanjeng Nabi saw, berarti aku kumpul denganmu semua tinggal 7 tahun lagi, aku yo perlu toto-toto rek, namun atas kebersamaanmu semua, malam ini aku bahagia. Gambang Syafaat paling sering aku tinggalkan, tetapi paling mandiri di antara jaringan yang ada.

Setahuku Cak Nun menyapa secara kolektif di beberapa titik: Kenduri Cinta Jakarta, Gambang Syafaat Semarang, Mocopat Syafaat Jogja, Padang mBulan Jombang, Obor Ilahi Malang, Bang-Bang Wetan Surabaya, Tali Kasih Bandung dan masih bertebaran yang aku tidak lengkap mengetahui. Acaranya dari sore hingga dini hari, sering sampai subuh. Kajiannya meluas apa saja untuk saling berbagi solusi kehidupan, di selingi musik apa saja, termasuk kelompok yang tak terpisahkan dengannya, Kiai Kanjeng itu. Semua mengalir bagi sungai yang bisa menarik sebuah samudra di belakangnya.

Aku lebih merasakan kedalamannya, itu bukan kata dan tulisannya, tetapi lewat sorot matanya itu. Karena apa saja yang ia tawarkan adalah wawasan sangat luhur yang menjadi sumber asalnya. Walau kata-kata itu nampak menghibur, bagiku aku raih makna yang tersembunyi, yang kemudian menjadi acuan kearifan hidup. Aku kenal semua saudaranya yang berjumlah 14 orang, genap 15 dengannya. Kalau aku ketemu dia, pasti aku tanyakan Ibunya, Ibu Halimah, yang melahirkannya saat sedang tadarrus Al-Qur'an itu.

Dengan gerakan Maiyah itu, aku rasakan ia bicara dengan suara keabadian, menawarkan kearifan abadi. Buku-buku dia aku baca beulang-ulang, pertama musti masuk ke kepalaku, tapi ujungnya masuk dalam inti batinku. Sepertinya aku digiring dalam pelayaran pencarian mistis yang semuanya menakjubkan. Maiyah ini bagian dari proses panjang hidupnya, dulu orang diperkenalkan pada pemikiran tentang pencarian spiritual, semua diilahiyahkan, terus orang diajak untuk merayakan puncak-puncak pertemuan dengan Sang Kekasih, Tuhan itu. Tentu manifestasi pertemuan itu supaya tidak nyamut-nyamut, maka dihadirkan ke ranah kebudayaan, supaya hati tidak sebatas milik kesalehan personal tetapi, kesalehan komunal: bisa keluarga, bisa organisasi apa saja, bisa negara, bisa bola kecil dunia ini, di tengah samudra raya alam.

Konsep Maiyah, menurutku adalah melakukan perjalanan spiritual, memasuki Misteri Kehidupan dan Kematian, menyatu dengan Tuhan. Akan tetapi, siapa atau apakah Tuhan itu? Pemahaman dia Tuhan bukan sebuah prinsip abstrak. Tuhan adalah Sahabat Tercintanya. Tuhan adalah kekuatan Cinta di dalam kalbu manusia. Tuhan adalah identitas kita yang sebenarnya. Tuhan adalah Kesadaran Alam Semesta yang menghidupkan dan Kesadaran setiap wujud di dalamnya. Keragaman ini adalah manifestasi dari arus cinta dari Lautan yang Satu itu. Semua harus bersama menuju Dia, bergandengan tangan menjelmakan Cinta.

Boleh aku bahasakan bagiku Maiyah itu: aku mencari Aku, mengkitakan aku. Cak Nun menebar keberadaan adalah sebuah Kesatuan yang benar-benar kuat yang mengungkapkan dirinya sebagai kemajemukan yang terdiri dari bagian-bagian tidak terbatas. Dengan Maiyah, Cak Nun tidak memberikan pelajaran yang teratur, supaya tidak terjebak pada satu tataran pemahaman saja. Cak Nun ingin agar kita merasakan betapa besar gambar yang sebenarnya. Kebenaran bersifat ironis secara menyenangkan. Selamat ultah ke 57 Cak, dari kedalaman hatiku, walau engkau aku pahami bagai Ibrahim mau menjeburkan ke api: Allah tahu akan nasibmu....

Aku tetap memanjatkan do'a kepadamu Cak Nun dan Kiai Kanjeng: semoga panjang umur rajin ibadah, diparingi rejeki barokah, anak-anak cucu saleh salehah, kalau tiba saatnya Kekasih memanggil dalam posisi lulus sebagai manusia, khusnul khotimah, takdzimku kepada Cak Nun dan Kiai Kanjeng….

Amin2 ya Rabbal'alamin....

Pakaian Cinta

Sedulurku tercinta, ketika aku amati segenap pernik-pernik untuk memperindah busana lahiriyah, maka ketika berada di tangan desainer dan begitu jadi dipakai orang, maka orang itu menjadi sangat cantik dan gantheng, enak dipandang serta perlu. Aku mengenang derita Ayah Ibuku, bagai desainer itu memberiku pakaian cinta, aku mengenang Ayah Ibumu kawan bagai desainer itu yang memberimu pakaian cinta, dengan bukti nyata kau taburkan ke segala penjuru ini, sampai juga padaku dan aku bahagia menyaksikan busana desainan orang tuamu itu, keindahan adabmu--menyapaku.

Di mataku engkau bukan seonggok daging, tetapi dibalik senyummu derita orang tuamu nampak lebih terang aku kenang: mulai dari menata lahan cinta, kemudian menaburkan benih-benih kapas cinta, sampai memintal benang-benang cinta, terus menyusunnya menjadi lembaran-lembaran kain cinta, memotong kain-kain cinta itu untuk dijahit sesuai dengan ukuran-ukuran cinta, setelah semuanya selesai dimahkotakan kepadamu, lalu orang tuamu mengambil jarak denganmu, dipandangnya dari jauh dirimu, walau sedemikian panjang deritanya memahkotaimu dengan pakaian cinta itu, lihatlah dalam cermin hatimu kawan: beliau-beliau itu tersenyum, senyum kebahagiaan.

Kalau beliau-beliau itu sekarang sudah tiada, itu kan pandangan kongkrit mata kepala, tetapi pandangan mata hati dalam wujud mengenang: siapa yang bisa mendustakan ketelatenan cinta seperti itu, beliau-beliau selalu hadir mengelebat menemani perjalanan kita semua. Ada lagi, bukan kerabat, bukan saudara, tidak ada hubungan darah, tetapi atas nama cinta beliau-beliau itu melanjutkan derita orang tua memahkotai kita juga dengan pakaian cinta: dalam bentuk ilmu bertaburan cahaya. Jangan dipersoalkan masalah bahasa ya, beliau itu guru-guru kita. Beliau- beliau itu sangat senang melihatmu bermartabat, bisa punya apa saja sekarang: jabatan, uang, kehormatan berbagai jenis.

Ada lagi, mertua memberimu pakaian cinta, anaknya yang mendampingi hidupmu itu: dibesarkan, dipinterkan, setelah cantik dan gantheng pada puncak pandangan mata beliau, dikasihkan begitu saja dengan tanda-tanda jasa yang tidak imbang dengan derita sepanjang itu merawatnya. Mertuamu, orang tuamu menyaksikan kau berdampingan dalam pelaminan: tersenyum bahagia, disamping nyeri menanggung perpisahan denganmu dalam merengkuh hidup baru.

Tuhan berfirman: mereka pakaian bagimu dan kau pakaian bagi mereka. Ada lagi, cintanya kepadamu melebihi cinta orang tuamu kepadamu, melebihi cinta gurumu kepadamu, melebihi cinta mertuamu kepadamu, melebihi cinta siapapun dalam ranah ciptaan yang eksotik ini. Cinta beliau melintasi batas ruang dan waktu, cinta beliau abadi: membusanaimu dengan pernik-pernik syari'at, seperangkat aturan yang akan membingkai wujud cinta itu, sehingga ketika beliau memandangmu, pandangan sepenuh cinta, di balik selubung rahim dunia ini.

Dari beliaulah busana akhlak yang telah dimahkotakan kepada para sahabat, dan lihatlah dalam catatan sejarah, mereka sangat indah semua, pakaian itu dimahkotakan kepada orang-orang saleh: para Imam, tabi'in, sampai kepada orang tuamu itu.

Itulah cahaya Rasul kawan, secara kongkrit beliau telah tiada, tetapi secara pandangan abstraksi, dengan kenangan kasih sepanjang itu, melintai ruang dan waktu, dunia akhirat kita, menemani dalam ranah minimal setiap detik hidup kita. Untuk apa pernik-pernik busana itu, tiada lain supaya kita ini pantas dipandang Kekasih, Tuhan itu sendiri....

Kawan-kawan, dari lesan suci itu terucap: berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Tuhan. Supaya terukur pakaian cinta itu, maka beliaulah parameter dari segala kepantasan yang mengantarkan Tuhan tersenyum melihat kita, setelah Kanjeng Nabi itu--desainer kita—tersenyum….

Evolusi Cinta

Sedulurku tercinta, secara sederhana lihatlah ulat menjadi kepompong lalu menjadi kupu-kupu terbang dengan sayap-sayap nan indah, orang bilang metamorfosis. Ada orang yang tadinya jahat, belakangan menjadi orang shaleh, dengan menebar kebajikan nan indah. Perubahan ini merupakan anugerah dari Dia, Yang Maha Mengubah. Debu kejadianmu, gosoklah dengan peristiwa maka engkau akan menjadi intan permata.

Jadi peristiwa dalam ranah siang malam, di langit apa di bumi itu semua merupakan proses berubah. Keyakinan atas keberadaan hidup membawa kita untuk memahami bahwa Dia tidak akan menelantarkan hambaNya. Setiap proses merupakan fakta bahwa Dia mengevolusikan melalui jutaan bentuk, setiap bentuk akan lebih baik daripada sebelumnya. Kecemasan banyak orang menurutku tidak perlu, karena hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak percaya kepada Dia Yang Maha Mengubah.

Dunia ini yang tetap adalah perubahan. Evolusi diri jelas harus dilakukan, sehingga Kanjeng Nabi bersabda bahwa barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya. Dengan demikian ada evolusi kongkrit dan abstrak. Bagi evolusi kongkrit bisa kita saksikan dengan indera apa saja yang menyangkut perubahan ini, tergelar di jantera alam semesta. Namun perubahan yang abstrak, sampai pada titik menemukan Dia sebagai identitas yang sebenarnya.

Tuhan adalah kesadaran Alam semesta yang menghidupkan setiap wujud di dalamnya. Hanya ada satu Tuhan. Segala keterpisahan adalah suatu ilusi. Setiap perbuatan kita adalah arus menuju samudra. Untuk sampai kesana orang harus menempuh jalur evolusi ini secara spiritual, dengan konsep menyerah, bentuk evolusi ini adalah keterlarutan atas keterpisahan dalam samudra CintaNya. Setelah menyerah, orang akan memperoleh pencerahan sebagaimana yang dialami oleh orang arif itu. Pencerahan ini bukan lah tujuan akhir dari perubahan yang ada, namun proses evolusi yang konstan, evolusi cinta. Pertumbuhan jiwa akan nampak berdasar atas penyesapan akan ajaran-ajaran Dia.
Sehubungan dengan Tuhan itu sendiri tidak bisa dimisalkan sesuatu, maka setelah menyerah, kemudian melarut dari keterpisahan, tataran berikutnya adalah ketiadaaan yang di mata kebudayaan bentuknya adalah kematian. Dengan demikian perjalanan menuju Dia yang tak bertepi ini membawa kepada pemahaman evolusi cinta yang tak bertepi juga. Cuma kematian kongkrit ya lepasnya Ruh itu dari jasad, sementara kematian abstrak adalah lenyapkan ego supaya Dia bermahkota di dada.

Maka dari sinilah Kanjeng Nabi mengatakan: matilah sebelum kamu mati. Sementara Rumi mengatakan: menemui Dia tidak musti melewati ajal. Kalau Iqbal memetaforkan evolusi cinta ini dengan perjalanan isro' mi'raj sehingga Iqbal mengarang buku Javid Namah (Kitab Keabadian), sedangkan dalam Hadis Qudsi Tuhan sendiri menyatakan ada 7 proses: Jasad, shudur, fuad, kalbu, tsaqaf, lubb dan sirr. Kalau ternyata dalam sejarah ada tragedi martir dari pengungkap rahasia ini, tentu menunjukkan fakta bahwa mereka tidak kuat sebagaimana Nabi….

Kawan-kawan, untuk bisa sampai pada evolusi cinta ini Allah menurunkan kasih sayangNya lewat Kanjeng Nabi sebagai Imam, agar tidak terulang lagi tragedi para pencari yang tak bertepi ini. Rumi dalam hal ini menyatakan Kanjeng Nabi maju melalui banyak keadaan kesadaran. Setiap kali beliau mencapai tataran pemahaman baru, beliau minta ampun atas ketidaktahuan sebelumnya. Hanya Nabi yang memiliki stamina untuk merenungkan Tuhan dengan semua aspekNya sekaligus. Beliau menolak untuk tetap terperangkap dalam satu tataran pemahaman. Sementara ada yang lain lagi, Abdullah Azhari menyatakan: aku sebenarnya memiliki tataran seperti Bayazid dan Mansur, tetapi aku rahasiakan, hanya untuk diriku….

Traveling Cinta

Sedulurku tercinta, kisah ini aku jadikan mengenang seorang guruku yang tawadlu', Romo K.H.Marwan Al-Hafidz, alumni mBah Arwani Kudus. Sepanjang perjalanan dari Semarang ke Riau pulang balik dengan mobil Colt T stasion. Beliau ini orang yang begitu gemati mengamalkan kesunahan yang sekecil-kecilnya, semisal memakai sandal, memakai baju, meludah, keluar masuk masjid atau musholla dan lain sebagainya.

Beliau ini seorang yang mengabadikan suci dari khadats kecil, artinya begitu batal karena sebab tertentu, langsung wudlu lagi, hal ini diamalkan sejak dari pesantren dulu sampai sesepuh ini--umurnya 60 tahun saat itu, beliau sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Bagitu mobil tua ini mau dhidupkan, do'a panjang beliau panjatkan, kami dan para santri yang diajak mengamininya. Yai dan aku duduk di jok tengah. Mobil melaju tidak cepat juga tidak lambat, dan mulailah kebiasaan beliau sepanjang jalan: tadarrus al-Qur'an mulai dari Fatihah, Al-Baqoroh dan seterusnya sebelum sampai ke lokasi sudah khatam plus do'anya, sementara kami mendengar dengan tenang, beliau memakmurkan dalam mobil itu dengan bacaan kita suci di luar kepada, karena hafal dengan tartil tingkat tinggi, sab'ah.

Begitu waktu istirahat tiba--biasanya ditepatkan pada jam-jam shalat--dan selalu di Masjid, setelah sholat usai baru makan dengan masakan yang dipersiapkan di tremos besar dengan lauk yang sudah diawetkan, semisal kering, sambal tomat dan krupuk, makan duduk melingkar dengan lahap.

Perjalanan dilanjutkan, kini biliau gantian membuka buku cacatan nukilan dari berbagai kitab: berupa hikmah, syair-syair nasehat sampai pada berbagai pengobatan untuk kesembuhan berbagai penyakit. Begitu terus sepanjang jalan, tadarrus, berkidung, bertutur hingga aku sendiri merasa panen taburan cinta berbagai sudut makna.

Beliau pernah bertanya: kiai Budi, bulan ketika di bayangan kolam itu menurut mata kepala di atas apa di bawah? Di bawah Yai--aku sahut. Menurut akal sehat--lanjut beliau--kenyataannya bulan itu di atas apa di bawah? Di atas Yai--aku sahut lagi. Lalu beliau memberi penegasan makna sebuah syair itu: ini persoalan untuk menerangkan ketawadzuan, ketika orang merendah dan hormat seseorang, nampak di kepala mata ia dibawah, tetapi pada pandangan akal yang sehat, orang seperti itu akhlaknya di atas alias luhur sekali.

Rumus ini yang membentuk kepribadianku untuk selalu merendah dan tawadzuk kepada siapa saja seperti yang dicontohkan beliau sepanjang hidupnya. Ribuan kilometer telah aku lalui, diselingi pengajian demi pengajian, shalat demi shalat, masjid demi masjid, pesantren demi pesantren, ayat demi ayat Al-Qur'an, khataman demi khataman, tawajuhan demi tawajuhan tharekat, hikmah demi hikmah, syair demi syair, kisah demi kisah, saudara demi saudara….

Kawan-kawan, pengalaman agamawi seperti ini, kini menjadi tenaga hidupku dalam melayani umat manusia, begitu entheng tanpa beban, malah aku rasakan sebagai keasyikan yang menyehatkan. Benturan peristiwa itu menjadikan kuat melek, betah lapar, ringan bersilaturrahmi, tahan banting sejarah, banyak sedulur, atas izin Allah diberi kesehatan seluruh keluargaku, dan lagi bisa-bisanya di tengah gebalau kegiatan yang padat seperti itu masih bisa menyempatkan--walau nyuri2 kesempatan--sampai anakku sembilan lahir konvensional, tanpa operasi satupun. Atas kurnia ini aku mendoakan kepadamu semua kawan: semoga hidupmu semua diberkahi, amin….

Paus Cinta

Sedulurku tercinta, Setiap Paus di Vatikan, karena menyerap cinta dari Sang Penggembala, Yesus Kristus itu, maka Paus musti membawa missi agama cinta,tidak sekedar cinta agama, seperti yang dipraktekkan Ibu Theresia itu, beliau pernah menyatakan: kalau aku melayani ini berdasar atas nafsu akan temporal dan cepat lelah, tetapi pelayanan ini berdasat atas energi ilahiyah, aku tak pernah merasa jijik dan capek melayani orang-orang yang telah dibuang ini.

Yang akan aku ceritakan ini bukan Paus yang di Vatikan itu, tetapi seekor ikan paus di samodra yang dirubung oleh gerombolan ikan teri, yang di dadanya ikan teri ini meluap rasa rindu akan tahu luasnya samudra ini. Bagai seorang begawan dirubung oleh para murid-muridnya. Bagai Kiai dirubung oleh santri-santrinya. Bagai Paus dirubung oleh gembalaannya.

Jutaan ikan teri dengan luapan yang sama bertanya kepada Ikan paus: terangkan kepada kami wahai ikan paus akan luasnya samodra? Maka ikan paus itu bicara dengan berdasar atas pengalamannya dan didengarkan jutaan teri yang didera luapan ingin tahunya: Wahai kawan-kawan penghuni samudra raya, dalam perjalanan sunyiku menjelajahi samudra ini, aku temukan banyak pesona yang tak bertepi, setelah kejenuhanku menemukan kesamaan melulu ditengah panorama yang beragam ini, maka aku merasa berasyik ria denganmu dan dengan semua kawan-kawan kita sesamudra, untuk menanti ajalku, aku pernah menawarkan diri merapat di pantai, namun ada yang menolakku, aku ditarik lagi ke tengah, mereka itu orang-orang yang merasa bahwa aku kamu adalah bagian dari kesatuan penghuni alam raya yang tak bertepi ini, dalam lompatanku sesaat aku melihat ternyata di luar alam samudra kita ini: ada langit dengan gemintangnya, ada gunung yang megah, ada manusia yang lucu-lucu, ada hewan-hewan yang menggemaskan, ada bidadari-bidadari berjemur di pantai, sebenarnya aku ingin mati disantap manusia-manusia lucu itu untuk menuntaskan kejenuhanku mengembara di samudra ini, hanya begini-begini melulu, hasratku sama dengan hasratmu semua, kalau kamu ingin tahu luasnya samudra, aku ingin tahu juga luasnya alam raya yang tak terhingga itu, indahnya tak terkira, maka aku rela kalau sewaktu-waktu ditangkap dan mereka senang atas ketiadaanku, aku juga berpesan kepadamu kalau ada yang menangkapmu dalam pertarungan saling mencari, relakan karena engkau nanti akan menjadi persembahan atas nama Sang Pencipta ini, seperti yang pernah aku lihat teman-temanku yang mati dengan sorak sorai manusia yang lucu-lucu itu, seperti gembiranya pesta penganten saja, nikmatilah keberadaanmu, asyiklah dalam penantian ini untuk saling bercengkrama, kalau mutiara yang kita hina di kedalaman ini, di ranah manusia menjadi sarana pamer dan saling membunuh, hahahaha lucu kan, ketika aku kasih isyarat dengan menyemprotkan air ke atas untuk menawarkan tangkaplah aku, malah ada yang datang hanya ingin bercanda seperti aku dengan dirimu semua ini, bukan membunuhku, kalau kamu ikhlas minggirlah ke pantai nanti kamu semua akan melihat makhluk yang namanya manusia yang lucu itu, dengan resiko akan ditangkapnya, tapi juga ada yang hanya terpesona oleh tarianmu bersama itu, mereka foto-foto terus bisa dijual gambarmu, lain waktu kamu dimakannya dengan tanpa merasa bersalah atas jasamu memberi uang itu, maafkan aku kawan-kawan, mulutku tak mampu membahasakan semuanya ini, maafkan, sekian saja dulu besok lagi kita bisa kumpul bersama, nyalakan hasrat yang sama.

Sebelum perpisah wahai sang penjelajah--ikan teri merajuk--seberapa luas samudra ini, supaya kami bisa lebih tenang mengambil sikap keberaan kami yang keci-kecil ini? Wahai kawan-kawan--jawab paus, singkat saja kalau kau tetep ngeyel ingin tahu seberapa luas samudra ini, isinya sebenarnya hanya air melulu, dimana-mana itu, seperti juga setetes air yang menempel di tubuhmu itu. Walau kamu berjubel seperti itu, jagalah pasangan saling mencinta, jangan berselingkuh ya, ada kabar dari daratan manusia itu saling berselingkuh, sukanya petualangan mengumbar syahwat, padahal berjubel perempuan itu kalau lelakinya menyadari, juga rasanya seperti seonggok daging yang ada didepannya itu….

Tukang Cinta

Sedulurku tercinta, ada sebuah Masjid yang sedang dibangun oleh seorang perawan tua, namun kecantikannya melebihi perawan muda, kalau boleh dibahasakan orang itu ditaburi warna fajar pada senjanya. Sebaliknya banyak perawan yang ciamik rupanya, namun karena miskin hasrat dan minat, maka bisa dibahasakan orang semacam ini ditaburi warna senja pada fajar usianya.

Kecantikan perempuan perawan tua ini bukan karena make up--dimata seorang tukang bangunan--yang bekerja dengan ketelatenan dan semangat luar biasa sehingga di mata perawan tua ini, masjid nampak megah dan sangat indah, terasa nyaman disimpuhi untuk beribadah, walau sekedar untuk i'tikaf. Pesona kecantikan ini nampak--di mata tukang yang masih jejaka ini--seperti bukan makhluk ciptaan biasa, kecantikan yang nuansanya sebuah misteri, alangkah indah kalau dia bisa mempersunting perempuan itu, bersanding di sisinya.

Perjaka ini amat gantheng, gagah namun di dadanya ada penyakit abadi seorang pecinta: nyeri kerinduan kepada orang yang dicintainya itu. Bukan melemahkan hidupnya, penyakit itu malah meletupkan tenaga yang tak terhingga, sehingga masjid itu hampir finising, dialah salah satu tukang kebanggaan perempuan perawan tua itu. Banyak perawan muda nan cantik menawarkan diri untuk dinikahinya, tetapi dengan kehalusan akhlak dia tidak bisa menerima.

Di puncak kenyerian rindunya, dia tidak berangkat bekerja melanjutkan bangunan masjid yang hampir rampung itu, dia sakit tetapi badannya sangat sehat wal 'afiat, tetapi sakit. Lalu perempuan dengan taburan fajar pada senja usianya itu, menayakan kepada salah seorang teman tukang yang sehat namun sakit itu. Temannya menjawab terus terang kepada perempuan natural look itu: mBak, sebenarnya tukang ini sehat tetapi sakit, sakitnya rindu kepadamu, malah ia pernah menggesa mungkinkah dirinya bisa bersanding denganmu, dalam arti menjadi suamimu.

Dengan serta merta perempuan cantik ini mendatangi rumah di sebuah dusun terpencil, karena ada kekhawatiran masjid tidak sempurna tanpa tangan tukang yang sehat namun sakit itu. Di rumah ia berteman dengan sunyi, tapi tidak sunyi hatinya: walau tidak berangkat kerja, wajah perempuan ini memenuhi ruang kalbunya. Bagitu ada suara uluk salam dari perempuan pujaannya ini, jantungnya berdegup kencang, rebahlah hatinya. Dilihat perempuan ini--setelah masuk--perjaka ini menatap dirinya secara aneh bin misterius, mulutnya terkatup sepertinya akan mengungkapkan sesuatu namun tidak mampu, bibirnya bergetar, luapan rindu tak mampu ditampung oleh lidah untuk membahasakan kegembiraan hatinya, pujaan itu datang ke rumahnya.

Bagai hati Bilal, tidak mampu melantunkan adzan di masjid Nabawi, sepeninggal Kanjeng Nabi, airmata kerinduan yang bicara. Sama dengan perjaka ini, dilihat perawan cantik tua ini: ia merunduk airmatanya muncrat. Wahai tukang yang membangun masjidku bukan dengan ototmu, tetapi dengan hatimu--suara perempuan lembut ini, aku tahu perasaan dan harapanmu, kini aku bebaskan dirimu bekerja, aku rasakan sempurna bangunan masjid itu, aku rela engkau menjadi suamiku, aku pasrahkan diriku nanti melayanimu seperti kepasrahan hidupmu melayaniku, membangun masjid indah itu, sekarang berangkatlah ke tembat sunyi untuk mendekat kepada Sang Pencita selama empat puluh hari, ini uang bekalnya.

Saat itu, indahnya pertemuan hanya sesaat, lalu harus berpisah lagi. Derita itu perjaka bayar segenap hatinya dengan suka cita, demi wajah yang penuh misteri itu. Setelah tiga puluh hari, perempuan pujaannya ini nyambangi (mendatangi) dia ditempat bersunyi ria. Perempuan ini melihat wajah tukang itu bercahaya, melebihi sebelumnya, kali ini yang jatuh hati tak terhingga malah perempuan ini berkata lembut: sayangku, aku tunggu engkau ke pelaminan bersanding denganku, tinggal sepuluh hari lagi, kita menjadi sepasang kekasih abadi.

Kalau dulu perjaka ini menangis karena didera oleh harapan yang tak mungkin sampai, kini airmatanya muncrat juga, dengan lembut berkata kepada perempuan yang sudah memanggil dirinya dengan kata sayangku itu: kekasihku, dengan segenap kejujuranku, kini harapan untuk bersanding itu buyar dalam hatiku, aku urungkan niatku menikahimu, maafkan aku sayang, ruang hatiku kini dipenuhi oleh rindu kepada dzat yang membikinmu sangat cantik dan indah di mataku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku….

Kawan-kawan, perempuan ini pulang dengan membawa kerelaan juga atas perpisahan yang sangat mengharukan ini, dia sadari Tuhan bermahkota di hati tukang yang bekerja dengan kalbunya….

Panggilan Cinta

Sedulurku tercinta, aku sering menungguhi saat-saat orang sedang sekaratul maut: nenek-nenek dari ayah ibuku, beberapa orang kampung, sampai Ibunya saudaraku Dick Doank itu. Tetapi orang yang satu ini aneh: dia dan keluarganya tidak kenal aku. Dalam sekaratnya, dia bisa bicara patah-patah menyuruh suaminya --seorang tentara--mencarikan orang yang namanya Kiai Budi. Tentu suaminya gelagapan, dimana Kiai Budi berada, posisi yang sekarat ini berada di Rumah Sakit Tentara Magelang.

Tanya, tanya, tanya sesama tentara lewat HT antar tentara, pencarian cepat terjawab. Ada seorang anggota koramil kecamatan Tembalang Semarang datang ke Pesantren, aku diminta saat itu juga ke sana. Gayaku meniru adab Kanjeng Nabi, tidak ada yang tidak (lawala). Dengan mobil Blazer (bukan miliku) aku meluncur ke Magelang, karena melayani orang sekaratul maut, aku suruh secepat angin itu sopir.

Begitu sampai Rumah Sakit, nampak sosok perempuan pucat, membujur diselimuti kain putih, dikelilingi keluarganya--tentu dengan mata yang sembab semuanya: ayah ibunya, suaminya, kakak adiknya, beberapa kawannya sesama istri tentara. Bagitu aku datang, suaminya membisikkan ke telinga istrinya: Pak Kiai Budi datang.

Aku amati, dia membuka matanya amat pelaaan, bibir bergerak pelaan, suaranya tipis, lalu bilang--sambil terngah-engah: Pak Budi, sebelum aku mati, bimbinglah aku sholawat dulu....

Kemudian aku tanya, ada permintaa apa lagi, dia menjawab: aku mau minta minum berempat (aku, dia, kedua orang tuanya yang terbang dari Riau ). Setelah kami minum segelas air putih berempat, terakhir dia, aku sambil jongkok supaya setara dengan telinga kanan dia, membimbing selawat. Saat itu aku teringat kata suci Kanjeng Nabi, barangsiapa yang bersholawat--tentu dengan keriduan yang tiada terperi--saat matinya, malaikat Izrail mencabut nyawanya dengan adab sopan santun mencabut nyawa para Nabi dan Rasul.

Dan saat seperti itu aku merasa bahwa fadlilah bersholawat dengan cara mengikuti jejak-jejak cintanya, bertaburan memenuhi semesta raya, sampai pada perempuan ini. Dan Nabi saw itu orang yang tidak tegaan, tentu derita perempuan yang sakit lever akut ini tidak berkepanjangan. Namun pihak keluarga, tentu tetap pada harapan ada keajaiban kesembuhan, siapa sih yang begitu gampang rela ditinggal mati sanak keluarganya.

Dengan pelan-pelan aku tempelkan bibirku ke telinga perempuan ini,sholawat terpendek: Allahumma, dia menirukan lembut pelan, Allahumma. Shalli 'alaa, dia menirukan, shalli 'alaa. Sayyidina, dia menurukan, Sayyidina. Muhammad, dia menirukan tersendat, Muhammad. Demikian terus sampai sebelas kali, setelah itu dia berbisik terimakasih dengan ujung suara hilang, lalu mata dipejamkam lagi, selamanya….

Kawan-kawan, aku yang membimbing shalawat ini cemburu kepada perempuan ini, cemburu atas nyerinya rindu sampai pada titik ketidak sadarannya bisa sejenak menyempatkan berselawat dulu lalu meningggal, dengan berlinang airmata kerinduanku kepada Kekasih Allah itu, aku pulang ke Semarang dengan mulut terkatup: bisakah aku mengakhiri hidupku nanti seperti perempuan itu....

bisakah ya Allah....

bisakah....

Keadilan Cinta

Sedulurku tercinta,ketika cinta dipahami secara holistik (penuh) dengan merangkum segenap unsur-unsurnya, maka orang akan melihat dengan jelas akan keseimbangan hidup, tidak ada yang gecol di semesta raya ini. Diri akan terasa damai sekali walau dirundung persoalan hidup yang dipahami secara adil itu, ia akan semakin membungkan mulut untuk banyak omong karena terpesona oleh keindahan keadilan, paling-paling ia akan melempar senyum, senyum yang indaaah sekali.

Seandainya ia berani omong, paling-paling beraninya yang baik-baik saja, karena pandangan pesona hatinya tidak memungkinkan ada ruang bagi keburukan, tidak ada, tidak ada. Kalau diri itu merajut cinta dalam mahligai keluarga, maka akan tercipta sakinah mawaddah warrahmah. Sampai-sampai Kanjeng Nabi menyebut keluarga yang rukun itu: suasana surga yang diturunkan Tuhan di bumi. Kalau diri-diri semacam ini mengurusi kenegaraan, maka akan tercipta suatu negara yang baldatun thayyibatun warobbun ghafuur. Penduduknya akan menampilkan tarian cinta dalam bentuk saling menyapa, saling silaturrahmi, saling menolong, saling mendo'akan, saling, saling, saling.

Setiap diri merasa bahwa kelengkapan hidupnya ditentukan oleh kehadiran pihak lain, bukan sebaliknya kehadiran orang lain bagian dari hal yang mengancam hidupnya, bukan. Kalau diri ini menjadi penghuni dunia maka pandangan keadilan itu membawa kepada sikap ketenangan yang luar biasa. Lihatlah atribut-atribut dunia menjadi sarana pertengkaran yang cenderung primitif, maju kebelakang.

Lihatlah, banyak orang yang tidak memahami rububiyah Tuhan, mereka menjadi tuhan itu sendiri, mereka menyerang penyembag berhala, mereka menjadi berhala itu sendiri. Mereka mengutuk setan, aneh bin ajaib mereka menjadi mBahnya setan, menjadi Iblis itu sendiri.

Aku tidak benci kepada atribut, karena bisa dijadikan sarana-sarana menggabungkan energi cinta, agar lebih dahsyat bentuk pelayanan sesuai dengan wilayah keluarga, organisasi apa saja, negara apa saja, agama apa saja. Setiap keberadaan pasti atas izin karunia Tuhan, kalau tidak, mengapa mereka tetap dihidupkan.

Ini berarti kita pahami teritorialnya cinta, bisa Rahman bisa Rahim. Hati-hatilah berbicara, karena sekelas Nabi Musa bisa ditegur Gusti Allah atas kelancangannya meremehkan ungkapan cinta seorang pengembala, di gurun sahara itu, apalagi kita-kita ini, kelasnya apa. Termasuk soal keadilan ini, Nabi Musa menggesa: tunjukkan keadilanMU. Maka Tuhan memerintahkan Musa duduk di pinggir kolam: Lihatlah Musa, di seberang kolam, apa yang akan terjadi.

Nampaklah peristiwa terjadi, segerombolan rampok datang mabuk dengan meletakkan barang rampokan. Sejenak ada pemuda langsung mengambil barang itu. Begitu para perampok itu sadar dari kemabukannya, sejenak datang orang tua bertongkat, jalannya membungkuk-bungkuk, nampak tanpa salah. Kesimpulan perampok: karena barang rampokan tidak ada, di puncak kemarahannya para perampok itu membunuh orang sepuh bertongkat itu. Ya Allah--gesa Nabi Musa, aku tambah tidak faham......

Kawan-kawan, akhirnya dijawab oleh Tuhan bahwa anak muda itu tidak salah karena mengambil barangnya sendiri yang dirampok, sementara perampok itu membunuh orang sepuh itu juga bukan kesalahan, karena orang bertongkat itu--dulu, beberapa puluh tahun yang lalu--yang membunuh ayahnya anak muda yang mengambil hartanya sendiri itu. Banyak orang yang bagai Nabi Musa itu: kenapa keadaan begini, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa….

Mereka belum Me-Muhammad!

Obsesi Cinta

Sedulurku tercinta, pertanyaan Tuhan: nikmat manakah yang bisa kau dustakan, sebenarnya merupakan salah satu pernyataan yang sangat obsesif, maknanya karunia-karunia yang tak terhitung ini selalu mengelebat di hati, ujungnya ingat Dia sangat sulit dihilangkan. Dimana kita berpaling di situ nampak wajahNya, secara abstaksi.

Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam hari, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang cerdik cendikia. Yakni, orang yang ingat Dia ketika duduk, berdiri dan berbaring, mereka selalu berfikir atas ciptaan langit dan bumi. Pada akhirnya menggetarkan hati seraya berdo'a: Wahai Tuhan kami tidak ada yang Kau cipta semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, jauhkan kami dari api neraka.

Bagi pecinta selalu obsesif, sehingga ada ungkapan: Barang siapa mencintai sesuatu, ia akan menjadi budaknya. Obyek cinta sedemikian melimpah, soal level itulah yang akan menjadi peringkatnya, karena jiwa selalu berpotensi hasrat mencari. Karena masing-masing mencari jawaban hasrat dan gairah, maka sebenarnya orang tidak mungkin punya waktu untuk menghakimi pihak lain, kecuali mengenang atas kebaikannya, sekecil apapun--biar tumbuh cinta.

Gambaran-gambaran obsesi ini yang tak bertepi ini bukan bahan olok-olok, malah menjadi ayat-ayat perjalanan arus cinta itu. Lihatlah orang suku burung, suka motor, suka mobil, suka pacar, suka, suka, suka, suka. Atas kesukaannya ini, mereka merasakan manisnya derita dengan bukti merawatnya dengan sepenuhnya, sampai lupa selain obsesinya itu.

Dalam hitungan detik, ketika Nabi Musa mandi melihat seekor belalang dengan warna keemasan, menjadikan beliau mengejarnya sampai lupa kalau beliau itu lari dengan telanjang, hingga Tuhan menegurnya. Baru seekor belalang yang sangat indah menjadikan Musa detik itu juga lupa diri dan lupa Kekasihnya itu.

Lihatlah banyak manusia mencintai sesuatu, sampai lupa diri dan lupa Tuhannya. Andai arus cinta itu menanjak, maka manusia akan memperoleh puncaknya: Cinta Tuhan dan tidak melupakan semuanya, termasuk dirinya itu.

Tersebutlah cerita, seorang yang baru pulang haji bilang kepada Buya Hamka: Buya….ternyata aku melihat sendiri di tanah suci dan di kota Nabi, ada pelacur. Dengan menggoda orang itu Buya menjawab: Di Jakarta, aku tidak pernah melihat ada pelacur....

Kawan-kawan, bisa anda bayangkan, orang yang menjadi tamu Allah saja masih terbersit dalam pikiran yang tak hilang: pelacur. Karena ini bagian dari tingkat obsesi cintanya maka pikiran itu dijawab oleh Allah, walau di tanah suci dan di kota nabi, Dia mempertemukan dengan obsesinya itu, seorang pelacur. Sementara di Jakarta yang jelas-jelas banyak kemesuman bertebaran, karena dalam ketakhilangan atas ingat Tuhan selalu, maka orang ini dijawab Tuhan dengan dihanyutkan kepada pemikiran yang selain pelacur: bentuknya bisa shalat, tahajjud, tadarrus, silaturrahmi, memulyakan tamu, menghargai tetangga, melayat yang meninggal, menghadiri undangan saudara, menolong anak yatim, mendo'akan orang bersin, menjawab uluk salam, bercengkerama dengan keluarga, menghadiri pengajian, menyingkirkan duri dari jalan, tersenyum ketika ketemu saudara dan seterusnya.

Mereka terobsesi Tuhan dengan menyapa semua miliknya dengan cinta sepenuhnya. Kalau orang bilang obsesi itu penyakit jiwa, benar adanya kalau hanya mandek kepada kurnia-kurnia. Tetapi tidak penyakit jiwa kalau obsesi itu terhadap Dia, karena Dia tidak butuh makhluk maka cinta itu turun kepada karunia, atas energi dan restu Tuhan. Kalau begitu, di Jakarta tidak ada pelacur, tidak ada, tidak ada….

Prasangka Cinta

Sedulurku tercinta, prasangka itu kan ada dua, prasangka baik dan prasangka buruk, di mata Allah baik buruk kan dariNya juga. Maknanya tinggal manusianya, kalau seseorang berprasangka baik, Tuhan jawab baik, kalau manusia berprasangka buruk pantulan prasangkanya kembali ke orang tersebut, buruk.

Aku--kata Tuhan, tinggal prasangka hambaku kepadaKu. Sederhana sekali: bagi pedagang abadikan prasangka untung, Allah akan menjawab dengan kekayaan. Bagi pendosa prasangkakan ampunan, Dia akan mengampuni walau dosa sebanyak pasir di pantai. Bagi perindu kekasih prasangkakan ketemu, Dia akan menjodohkannya. Apa saja prasangka baik angkatlah, maka Dia akan menjawab dengan berlipat sampai kita tak mampu menghitungnya. Percayalah.

Aku sering melewati rumah besar dan bagus sekali tetapi kosong, tidak kepakai, di daerah Banyumanik Semarang. Setiap aku lewat hatiku berbisik: Ya Allah andai rumah ini kau gerakkan hati yang punya untuk menjadi sebuah pesantren, tentu akan lebih bermanfaat bagi hamba-hamba yang mencariMu. Aku sempat kaget saat tiba-tiba muncul papan nama : Pesantren Munawwarah! Saat ada orang membantu kayu jati ke pesantrenku, aku langsung ke ladangnya, saat penggergaji itu bekerja hatiku berbisik: Ya Allah, andai tanah seluas ini hati pemiliknya kau lembutkan sehingga sebagian tanah ini untuk pesantren, tentu membikin lingkungan kampung ini cahayaMu berbinar. Belakangan muncul papan nama lembaga pesantren : Pesantren Uswatun Hasanah!

Dari pengalaman agamawi inilah yang menjadikan aku membebaskan prasangka buruk, aku penuhi hatiku dengan prasangka baik, abadi. Aku yakin juga setiap orang memiliki pengalaman seperti yang aku alami. Orang bilang keajaiban, padahal semua ini melewati proses yang sangat jlimet, tapi orang sering menyitir ayat: kun fayakun! Aku jauhi prasangka buruk, jangankan Tuhan, lihatlah kisah sederhana ini yang bisa menjadi renungan abadi.

Seorang santri paling sholeh di sebuah pesantren, dalam kamarnya memprasangkai buruk kiainya: pak kiai itu apa gak berbuat zina, kok sering nongkrong di Gang Dolly. Siapa lagi kau bukan Gus Mik itu. Sejenak prasangkanya berhenti, kamar santri itu diketuk orang, ternyata ajudannya Gus Mik: kang (mas) kamu dipanggil Gus Mik, sekarang. Runtuhlah hati santri itu, mendekat Gus Mik dengan ketundukan puncak, mulut terkatup dengan kerelaan mau dihukum apa saja siap, atas tebusan prasangka buruk itu.

Ternyata dia diajak Gus Mik ke Gang Dolly itu, dibokkingkan kamar plus primadona Gang Dolly. Bertiga ngamar di sebuah Hotel, pertunjukan dimulai: pelacur primadona itu disuruh melepaskan satu demi satu pakaiannya, telanjang sempurna bagai bidadari. Santri sholeh ini dengan hati secuil prasangka buruk membayar hukuman amat mahal: disuruh telanjang Gus Mik! Maka ditengah ketakutan sedemikian, ia menahan untuk tidak tegang burungnya, dzikir segala dzikir dia gapai--gagal. Burungnya semakin njenggelek.

Sementara Gus Mik pun demikian, tapi dalam kesaksian prasangka santri disuruh melihat, tidak seperti miliknya yang bagai tiyang bendera Indonesia Raya itu. Santri itu merengkuh lutut kaki Gus Mik, beliau usap kepalanya: Nak,ini pelajaran bagimu….

Kawan-kawan, santri itu sekarang punya pesantren, kelembutan hatinya menjadi-jadi dengan gairah, minimal seperti Gus Mik itu, kalau bisa….

Putaran Cinta

Sedulurku tercinta, ketika Siti Fatimah binti Rasulullah kedatangan pengemis dan sedang tidak punya apa-apa, maka sebuah kalung emas hadiah dari Kanjeng Nabi diberikan kepada pengemis itu, terserah laku berapa. Begitu ketemu pembeli, tanpa tawar menawar pembeli itu langsung minta berapa harganya kepada pengemis, lalu transaksi selesai. Cinta melampaui ranah perhitungan dagang, begitu cepat. Tidak tahunya, pembeli itulah yang memang menghadiahkan kalung emas itu kepada Kanjeng Nabi, sehingga dia bayar sesuka pengemis bilang harganya. Di tangan Kanjeng Nabi, kalung itu dihadiahkan putrinya, ya Siti Fatimah Az-Zahrah itu.

Dengan merahasiakan kekagetannya kenapa kalung emas ini bisa di tangan pengemis, kalung tersebut dihadiahkan kepada Rasulullah untuk yang ke dua kali, oleh pedagang emas yang shaleh. Kanjeng Nabi lalu memanggil putrinya dan menyerahkan kalung yang sudah diserahkan pengemis itu: Ya Fatimah, ini kalungmu, dikembalikan Allah setelah berputar memenuhi kebutuhan hambaNya, bersyukurlah. Memang harta itu kalau tidak ingin tercuri, terampok, terbakar atau membusuk harus ditipkan Allah dengan cara disedekahkan. Kalau engkau butuh--pesan Allah--bilang langsunglah kepada Ku, maka akan Aku berikan kepadamu: cash!

Aku percaya janji Allah ini. Percaya sepenuhnya. Bukankah dunia ini bagai gunung, kalau kita lepaskan suara indah, maka gaungnya akan kita dengar sendiri lagi keindahannya, ke kuping kita. Orang Jawa selalu menyatakan: ngunduh wohing pakarti, ojo moyok bakal nemplok.

Walau bukan sekelas sedekah kalung emas, ini ada seorang Ibu janda miskin punya anak empat masih kecil-kecil, ingin rasanya yang ragil (paling kecil) bisa merasakan manisnya jeruk yang warna kuning itu. Karena sejak ia hamil anak yang ke empat pernah nyidam jeruk yang tak terbelikan saat suaminya masih hidup. Pagi-pagi pergilah ia ke pasar dengan membawa sekor ayam jago piaraan, untuk dijual, untuk belanja makanan pokok dan sebuah jeruk impian hatinya--untuk anak ragil itu--obat nyidam.

Begitu malam tiba, ketika kakak-kakaknya sedang mengaji di Mushalla kampung, dipanggillah anak ragil itu sambil berbisik dia bilang: Le (nak), tadi Ibu ke pasar disamping nempur (beli beras) dan bumbu, masih ada sisa uang lantas aku belikan kamu sebuah jeruk kuning ini, melihat kulitnya saja indah nak, apalagi rasa isinya, makanlah sekarang sebelum kakak-kakakmu datang. Ternyata sebuah jeruk ini di tangan anak ragil menjadi lain, hatinya menyatakan tidak mau memakannya, karena sudah pernah merasakan ketika dikasih Bu Guru di sekolahan, biar kakaknya saja yang ngicipi (makan).

Begitu semua tertidur--di atas ranjang lebar bareng2--anak ragil ini tidak, lantas dibangunkanlah salah satu kakaknya: kak, tadi aku dikasih Ibu jeruk, namun aku sudah pernah merasakannya, aku rela kakak saja yang makan jeruk ini, aku sudah pernah merasakan. Kakaknya ini memiliki perasaan cinta yang sama dengan adiknya, dibangunkanlah kakaknya lagi: kak, ini ada jeruk dari adik hadiah Ibu, makan kakak saja, aku sudah pernah merasakan kok, barangkali kakak belum. Kakak ini juga sama, bilang kakak yang paling besar: kak, aku di kasih jeruk adik, tapi aku sudah pernah merasakan, barangkali kakak belum.

Saling membangunkan dengan tempo yang berbeda karena menjaga perasaan saudaranya, pada jam menjelang subuh. Kakak paling besar ini membangunkan Ibunya: Mak (Ibu), aku dikasih jeruk adik, tapi aku sudah pernah merasakannya kok Mak, ini jeruk untuk Emak aja.....

Kawan-kawan, sebuah jeruk berputar, pada saat tarkhim sayup-sayup terdengar dari Masjid Agung kampung, dibangunkannya anak-anak itu semua oleh Ibu, jalan satu-satunya Ibu itu bilang kepada anak-anaknya: Le (anak-anak), ayo sebuah jeruk ini kita bagi, kita makan bersama pagi ini.

Sembab sudah mata Ibu ini dengan hati yang gembira tiada tara, karena merasa dihadiai anak-anak yang penuh cinta: Nak, alangkah indah akhlakmu, aku bahagia pagi ini, aku bahagia sekali, aku bahagia sekali Nak, ayo kita makan bersama.......

Sobekan Cinta

Sedulurku tercinta, sebenarnya hidup itu kalau terhadap pihak lain yang dicari dan dikenang adalah kebaikannya supaya tumbuh cinta di dada, sekecil apapun jasa baiknya. Soal aib pihak lain itu mustinya ditutupi, sekecil apapun aib-aib itu. Sebaliknya solan diri sendiri, yang dibeberkan adalah aibnya: aku ini masih bodo, masih hina, masih apes, masih rendah martabat, kurang segalanya. Adapun soal kebaikan berusaha menyimpan rapat-rapat, biar hanya Allah saja yang tahu. Subhanaka inni kuntu minadhdhalimiin. Robbana dhalamna anfusanaa. Jadi arah yang musti dihadapi bukan orang lain sebagai sasarannya, tetapi: Wahai kamu, diriku!

Kanjeng Nabi selalu menyarankan demikian: mulailah dari dirimu! Allah juga demikian: Jagalah dirimu dan keluargamu, dari neraka! Ada sebuah syair yang mengatakan: Hadapilah dirimu dan sempurnakan keutamaan diri. Engkau dikatakan manusia bukan lantaran jasadmu tetapi lantaran Ruh mu! Orang sering berasumsi bahwa diri ini hanya seonggok daging, padahal kalau dicermati dari berbagai sudut pandang ilmu manusia ternyata sebuah misteri juga.

Dalam diri manusia ada 360 sendi, ada sekitar 400 karakter yang di simbolkan oleh 400 jenis wayang purwo, ada Pendowonya juga ada Kurowonya dalam diri. Kebanyakan orang memaknahi amar makruf nahi mungkar, selalu ditudingkan dan dialamatkan kepada pihak lain, terakhir Iblis yang salah. Padahal Iblis dicipta untuk menjadi legislator kelulusan menjadi manusia atau belum, lulus atau belum. Bahkan Iblis amat bosan kepada manusia yang belum digoda malah datang kepadanya: tangkaplah daku! Iblis rindu kepada manusia yang akan berkata kepadanya: tidak!

Dus, syari'at pada langkah awal musti ditudingkan kepada diri kita sendiri dulu. Dalil pun jangan dijadikan menghina orang lain, tetapi untuk parameter kita sendiri sudah sesuai atau belum dengan aturan Tuhan. Kadang aku tertawa geli, orang mau memperolok orang lain kok ndadak pakai dalil, rekoso men Rek! Lihatlah kisah ketika dua orang ulama' sowan ke Sunan Kalijogo, sudah beliau sengaja ketika mengajak solat, beliau paka sarung yang sobek sedikit, yang menurut orang yang ideal sudah batal. Ternyata dua ulama' ini dalam sholatnya mengamati dan mengomentari dalam hati, sholatnya apa diterima model begini. Begitu selesai sholat dua ulama' ini dengan crigis membawa banyak dalil menegur kepada Kanjeng Sunan: Kanjeng Sunan, sholat kita tadi apa diterima, karena kami lihat sarung Kanjeng Sunan sobek sedemikian rupa?

Dengan tersenyum Kanjeng Sunan Kalijaga menjawab: maafkan aku Gus, aku akui dalam penggapaian cinta kepadaNya yang tak bertepi, aku selalu merasa belum sempurna, sehingga menjadikan aku tidak pernah menegur atau tidak sempat punya waktu untuk mengukur pihak lain atas kegairahan hatinya dengan pengetahuanku yang ala kadarnya, kalau panjenengan menegurku hasil pengamatan dalam sholat panjenengan, berarti--nuwun sewu--sholat panjenengan tadi bukan menghadap Allah, tetapi menghadapi sarungku yang sobek ini….

Kawan-kawan, Kanjeng Sunan meneruskan, kalau melihat kesalahanku ini tentu Gusti Allah duko (marah), tetapi Gusti Allah luas cintanya, sehingga Dia menyatakan sendiri: sesungguhnya cintaku mengalahkan marahku….

Kamis, 17 Juni 2010

Fatihah Cinta

Sedulurku tercinta, semua pernik dan atribut yang bersifat lahiriyah, tidak bisa dijadikan parameter dalam memandang perkara yang batiniyah. Secara lahiriyah Abu Thalib itu disebut kafir oleh banyak kalangan sejarah, termasuk pelajaran tareh itu. Tetapi siapa yang berani membantah pembelaan beliau habis-habisan kepada Kanjeng Nabi itu, sampai mengatakan: siapa yang berani-beraninya mengganggu Muhammad, hadapi aku dulu!

Pernah juga ada yang melapor Kanjeng Nabi kalau sehabis membunuh orang yang sebelumnya telah syahadat dulu, kemudian tetap ia bunuh juga orang yang telah bersyahadat itu dengan asumsi kepura-puraan untuk mencari selamat. Kemudian Kanjeng Nabi balik bertanya: apakah engkau telah membedah hatinya? Ada lagi saat seorang tawanan perang--seorang gadis--menceritakan kebaikan orang tuanya --yang masih kafir menurut mata lahiriyah--dan didengarkan oleh Kanjeng Nabi dengan kepercayaan penuh: Wahai Rasulullah, ayahku itu suka memulyakan tamu, membayarkan hutang orang, menjenguk yang sakit, suka membantu anak yatim, membantu orang fakir miskin, suka mendatangi undangan kawan saudara, memberi makan orang lapar, menyuguhi minum orang kehausan, menasehati mereka yang kesusahan, takziyah mereka yang keluarganya meninggal.

Setelah beliau menyimak dengan seksama lalu memerintahkan sahabat untuk membebaskan gadis itu seraya berkata: bebaskan anak ini, karena ayahnya itu besok di akhirat dekat dengan Allah. Belum lagi cerita tentang anak yang menuntun onta yang dinaiki Abu Bakar dan Kanjeng Nabi, ternyata dalam tanda petik--masih kafir. Tambah lagi perlakuan orang Toif yang demikian keji mengusir beliau, menurut kacamata batin beliau, direlakan kalau tidak hari ini ya besok. Ternyata benar, jendral perang beliau kebanyakan orang Toif yang dulu menganiaya itu.

Dari sinilah kita lihat kemegahan jiwa beliau terbukti dalam ranah perjalanan sejarah. Kejahatan bisa jadi kebaikan yang belum mendapat ruang atau tempat. Ini ada kisah yang sederhana sebagai sampel, yang melakukan adalah orang yang disebut Habib, dikenal orang keturunan Rosul, tetapi belum mencerminkan kemegahan beliau. Dua orang Habib silaturrahmi ke sorang Kiai, pas menjelang Isyaa', lalu diajak berjama'ah Kiai itu. Mustinya yang namanya sholat itu menghadap Allah dengan cara menghudzurkan hati kepadaNya. Ternyata habib ini begitu mendengar bacaan Fatihah Kiai--dalam batinnya--melihat dari sisi lahiriyahnya: tidak fasih, tidak tartil. Mustinya dalam ranah Cinta, kata itu tidak penting, yang penting hatinya hudzur kepadaNya dengan kegairahan menyala. Kesimpulan Habib-habib itu shalatnya Kiai tidak sah.

Tengah malam duo habib ini mau berwudhu di kolam Pesantren, ternyata ditemui seekor macan yang disangkanya akan menerkam. Duo habib ini membaca segala do'a, tetapi macan gak hilang dari pandangan matanya, dibacakan Fatihah malah serasa macan mengejarnya. Larilah duo habib ini,terus mengetuk pintu Kiai, orang sederhana dan tawadzuk ini menyarankan bacalah Fatihah sekali lagi, dia akan menghilang. Dengan keberanian atas anjuran Fatihah Kiai ini, duo habib ini mendekati tempat macaan, dan benar setelah Fatihah ijazah Kiai, macan menghilang.

Dalam hati duo habib ini menyadari bahwa Kiai ini membalikkan prasangka hatinya terhadap Fatihah yang dianggapnya tidak fasih, tidak tartil, sampai shalatnya tidak sah---dalam jama'ah Isyak' itu….

Kawan-kawan, kisah ini terjadi di Bangkalan jaman dulu, ada sebuah Pesantren yang diasuh oleh seorang Kiai wira'i, yang populer disebut mBah Kholil Bangkalan, gurunya K.H.Hasyim Asyari dan K.H.Ahmad Dahlan, pendiri organisasi besar Islam di negri ini, Nahdlotul Ulama' dan Muhammadiyah….

Sahabat Cinta

Sedulurku tercinta, kalau ada surga di dunia maka wujudnya adalah rumah tangga yang rukun, dan sebaliknya kalau ada neraka di dunia bentuknya adalah rumah tangga yang cekcok melulu. Kalimat ini dari lesan suci Kanjeng Nabi.

Kata rukun menjadi sebuah suasana yang begitu indah bagai keindahan sebuah taman, Taman Surga. Suasana ini bisa menjadi dalam diri, bentuknya merukunkan seluruh instrumen tubuh hingga tercipta harmani, tentram hatinya, bahagia hatinya, sejahtera hidupnya. Suasana ini bisa mengemuka dalam berbagai organisasi--sosial, keagamaan, politik, kebudayaan--sehingga sekumpulan orang itu mengarah pada satu titik: kerukunan.

Power energi bisa menjadi lebih dahsyat karena sebuah kelembagaan, sampai pada ikat pinggang kependetaan bisa menjadi sarana pelayanan kehidupan secara luas tanpa batas. Semua keberadaan bisa memperoleh peran yang sesuai dengan kediriannya. Sejarah timbul tenggelam ini nampak pada suasana surga dan neraka, tinggal kejeniusan masing-masing dalam menyikapi proses yang ada, Pergulatan hidup ini akan menghasilkan piala citra di mata Tuhan dengan dimahkotaiNya, Dia hadir di hati manusia untuk berbagi.

Manusia akan digerombolkan menurut siapa yang mereka cintai, maka lahirlah kelompok-kelompok itu. Akan menjadi naif manakala setiap kelompok akan menjadi satu-satunya pemberesan masalah, sebuah kemustahilan, kecuali Tuhan itu sendiri. Perjalanan masa lalu harus menjadi cermin, bahwa ketika Cinta dipahami secata sepotong akan melahirkan sikap yang tidak kooperatif, pada ujungnya meneteskan suasana neraka yang diturunkan di bumi.

Kita butuh pola yang baru dalam langkah sejarah supaya hubungan antara yang satu dengan yang lain sangat-sangat simbiosis mutualis, bagai bunga dan kumbang. Kumbang datang menyerap madu, sementara kehadiran kumbang bagi kembang mempertemukan putiksari dan benangsari yang akan meneteskan buah bagi kelestarian kehidupan ini.

Hal yang sederhana bisa kita lihat, ada dua sahabat cacat bertemu pada suatu tempat, akan melanjutkan perjalanan pada satu tujuan, padahal harus menempuh perjalanan panjang, termasuk melewati sungai-sungai. Yang satu cacat lumpuh tetapi bisa melihat, yang satu cacat buta namun bisa berjalan. Kalau bergerak masing-masing akan menjadi amat sangat berat mencapainya, bahkan bisa menjadi sebuah kemustahilan. Namun dua sahabat ini sepakat melenyapkan ego masing-masing larut dalam kebersamaan, dengan menciptakan kerukunan. Strategi ini sangat jitu, sebuah drama cinta terjadi: yang buta karena bisa berjalan, rela menggendong yang lumpuh tapi bisa menujukkan jalan. Kalau si lumpuh bilang kanan, si buta belok kanan. Kalau si lumpuh bilang kiri, si buta belok kiri atas petunjuk si lumpuh yang digendong itu. Kalau si lumpuh bilang lurus, naik, turun, si buta begitu percaya akan cinta yang disepakati bersama itu.

Persahabatan cinta yang indah dalam mencapai tujuan bersama. Dalam ketegangan perjalanan yang panjang dan melelahkan itu, bisa saja tercipta humor-humor yang indah juga. Ketika si lumpuh bilang turun, si buta turun, nurut saja. Karena si lumpuh tidak bilang menyeberang sebuah sungai dangkal, tapi si buta kakinya menyentuh air, lalu berhenti agak lama. Lama menanti komando sambil gendong si lumpuh, tiba-tiba si buta di dadanya ada getaran aneh, getaran pesona kelelakian, ada atmosfir sensualitas. Si lumpuh, karena bisa melihat pesona itu agak lama tertegun dengan tidak merasakan beban seperti yang gendong itu, si buta. Lantas si buta agak meradang bilang: Hai kawan, apakah di sungai ini ada gadis yang sedang mandi, lantas menjadikan lupa atas deritaku gendong kepadamu, aku merasakan ada fibrasi aneh dalam letupan birahiku, walau aku tidak melihatnya. Si lumpuh jujur menjawab sambil ketawa di atas gendongan: hahahaha I love you full kawan, maafkan aku, benar katamu, ada gadis mandi di kali....

Kawan-kawan, akhirnya si buta ketawa juga, sambil ngebrukke (menjatuhkan pelan-pelan) si lumpuh di pinggir kali, sambil istirahat sebentar, ngakak (ketawa terpingkal) bersama: hahahahahahaha….

Bir Cinta

Sedulurku tercinta, anda tentu pernah mengenal Gus Mik, pengembara yang punya nama asli K.H.Hamim Jazuli, Ploso Kediri itu. Pesantrennya, beliau bilang sendiri, Gang Dolly, orang memanggil bukan Abah pada umumnya di Pesantren tetapi orang-orang Dolly memanggil kemesraan dengan sebutan Papi. Kalau berbicara tidak pernah ditekan, malah model berbisik, selalu didahului nuwun sewu (mohon maaf ya), menunjukkan kesadaran bahwa pendapatnya bukan satu-satunya yang benar, merendah luar biasa.

Tidak pernah pidato, hanya doa-doa, kalau beliau datang ke majlis Mantap semua hadirin tutup, menanti doa itu, Gus Mik juga diam lama banget, ujungnya berbisik lembut: Al-Fatihah. Puluhan ribu hadirin baru bubar setelah seharian suntuk menyimak kalamullah, ditutup beliau dengan Fatihah itu, selesai.

Rokoknya Wismilak, biasa tanpa peci, apalagi udeng2 kayak ban pespaku ini, biasa pakai kaos biasa, jam tangan Rolex, celana jins, tentu alaskaki sandal biasa. Semua Ulama memasang foto beliau di rumah-rumahnya. Dalam khususon arwah, nama beliau disebut setelah ratusan kekasih Allah di-Fatihahi. Suka membagi nasi bungkus dengan jumlah ribuan untuk orang-orang terbuang di kota, lalu bersama mereka tidur dengan alas koran bekas, di emper tokonya temen2 Cina, sampai kesiangan. Tidak pernah mengritik pihak lain, apalagi meremehkan, apalagi memperolok-olok, apalagi, menghina, apalagi menyalahkan, apalagi mebid'ahkan, apalagi mengkhurofatkan, apalagi mentahayulkan, apalagi menyirikkan, apalagi melaknat, apalagi mengkafirkan, apalagi memunafikkan, apalagi, apalagi, apalagi.

Mulut beliau hanya menebar senyum, senyum keikhlasan, ya keikhlasan. Senangnya silaturrahmi, tanpa tepi. Orang sekelas mBah Hamid Pasuruan diminta komentar kepada beliau hanya menjawab: aku belum bisa sekelas Gus Mik. Kalau ditanya soal syariat, selalu selalu mengalihkan hal-hal yang non syar'i, beayanya sebaiknya untuk memasakkan anak-anakmu, menyukupi kebutuhan keluargamu, untuk membahagiakan manusia tanpa batas.

Gus Dur itu manifesta adabnya. Pernah beliau bilang sama Gus Dur, nanti yang mati Kiai Sidiq dulu, lalu Gus Muk, baru Gus Dur, ternyata benar adanya. Kalau punya duit, ia datangi pelacur, beliau tanya berapa pendapatan sehari. Kalau sudah tahu, uang beliau hitung dibagi harian itu pelacur lalu bilang: aku bisa membebaskan dirimu tidak di Dolly sekian hari. Gitu.

Ketika beliau meninggal, seluruh orang--tanpa batas--melayat, kayak Gus Dur itu meninggal, persis. Setiap khoulnya, semua perusahan ambil peran, entah rokok, entah minuman, entah konsumsi, brekat, sampai melimpah ruah. Do'anya aku wiridkan dengan nada menangis lembut : Ya Allah jama'ah nyuwun gesang berkah istiqomah, panjang umur sregep ngibadah, pinaringan pejah khusnul khotimah, Ya Allah Panjenengan dandosi jama'ah niki, lahir batin sarono manah sae lan suci, Ya Allah jama'ah nyuwun langgeng emut Panjenengan, Ya Allah jama'ah nyuwun pinter nyukuri kanikmatan....

Kawan-kawan, aku sendiri kalau pas mendengar jama'ah menjawab: amiiin ya Allah ya rahmanu ya rohim, antal jawadul halim wa anta nikmal mu'in, aku pasti menangis bahagia, ya bahagia tiada tara. Aku merasakan samudra hati beliau, samudra cinta.

Pernah beliau trek-trekkan minuman bir sama seseorang. Orang itu merasa kalah, lalu bertanya kepada Gus Mik dalam landasan dalil-dalil juga: kenapa Kiai kok minum bir yang memabukkan ini, bagi Papi kok tidak mabuk. Gus Mik menjawab--tentu dengan berbisik lembut: aku buang kelaut, kalau kamu punya duit belikan beras saja untuk anak-anakmu. Kenapa aku minum sekian banyak kok tidak mabuk, karena aku buang ke laut untuk mengajarimu cinta, cinta seluas samudra. Ke laut bagaimana--tanya santri Dolly itu. Gus Mik dengan lembut tangannya melambai memanggil orang itu, dengan berbisik --nyuwun sewu-- di telinga orang itu: lihatlah mulutku. Begitu Gus Mik membukakan mulut beliau,dalam pandangan mata hati orang itu kerongkongan beliau ternyata laut itu....

Santri itu sekarang menjadi orang saleh diantara ribuan yang pernah menemukan pengalaman agamawi seperti itu, dari Gus Mik, aku sendiri tidak menangi hidup baliau, tetapi aku temukan jejak-jejak cintanya melalui murid-murid cinta seperti yang aku kisahkan ini, dan menghadiahiku biografi orang tercinta ini....

Aku tangsi orang yang tanpa cinta telah ribuan terusir dari cahaya karena kebencian dihatinya.....

Suara Cinta

Sedulurku tercinta, malam jum'at ini ada yang aneh, keanehan yang nyata. Sejujurnya, karena saat kumpul sama istri aku nyetel lagunya Umi Kultsum, maka lahirlah anakku yang nomer lima, Muhammmad Syahiq bersuara bagus dengan getaran suaranya persis Umi Kultsum, yang biasa tarkhim di Maiyahan itu, suara adzannya bisa model mana saja tanpa diajari. Begitu mendengar langsung bisa. Suara cinta bisa menembus ruang dan waktu, sampai ke anakku.

Sampai aku membentuk group orkresta Umi Kultsum, yang kemaren mengiringi tarian Darwis disaksikan lama sekali oleh Syeh Hisyam itu. Demikian juga kecintaanku dulu membaca buku stensilan karya Cak Nun, pada akhirnya aku diizinkan oleh Allah selalu bersamanya. Group orkresta itu aku bentuk juga setelah dihadiahi buku lagu-lagunya Umi Kultsum sepulang lawatannya bersama Kiai Kanjeng ke Mesir, langsung aku berikan kepada Kiai Najib Abdullah, jadilah group itu.

Kalau pas aku sepanggung dengan Kiai Kanjeng mereka tahu kalau kesukaanku lagu Umi Kultsum, mereka suguhkan dengan orkresta gamelannya itu, aku pun menari-nari. Sepanjang hari sampai semalam ini, ditengah aku menulis catatan-catatan, terus aku setel lagu Umi Kultsum tanpa henti. Begitu ada jeda menulis, aku menari-nari sendiri--tarian berputar bagai gasing itu. Suara cinta itu menjadi kekuatan tak terhingga, aku bisa menulis seharian sampai lima judul sekaligus, belum ditambah menjawabi teman-teman facebookan.

Aku tidak merasa lelah, tidak ngantuk sampai tulisan ini aku bikin. Hebatnya, tiba-tiba ada yang chat--namanya Falih Vava--anak Indonesia yang baru sekolah di Mesir. Melihat gambar profile berlatar belakang sungai Neil. Jam di sini menunjukkan jam 3 pagi, di sana jam 10 malam. Kang Falih ini kesukaanya lagu Umi Kultsum, dan suka menyepi di pingir sungai Neil di senja hari. Maka malam ini aku ceritakan kepada Kang Falah--tentu lewat tulisan--bahwa saat aku berkomunikasi dengan dia, teriring lagu tentang Sungai neil itu. Lagu itu artinya, pada suatu senja di Sungai Neil ada sinar matahari menyinari permukaan sungai, maka cahaya matahari itu memantulkan cahaya yang indah, keindahan cahaya itu menatap pohon-pohon kurma yang sedang bergoyang-goyang diterpa angin. Pada suasana eksotik seperti itu, ada seseorang yang melihat dibalik jendela rumahnya yang tinggi bahwa Tuhan bisa saja menaburkan fajar pada senja, atau sebaliknya menaburkan senja pada fajar. Sempat aku tulis sebuah puisi: pagi itu indah namun senja tidak kalah indahnya. Lagu itu pada akhirnya diakhiri, apa yang kau sebut pesona itu begitu matahari tenggelam, semua menjadi musnah: itulah dunia….

Kawan-kawan, ternyata suara-suara cinta itu menuntun pada kenyataan-kenyataan, dengan melintasi dimensi-dimensi tak bertepi, aku yakin….

Ketawa Cinta

Sedulurku tercinta, kemaren aku ketemu dengan anaknya MBah Surip di Kenduri Cinta, lalu aku tanyakan kapan setahun wafatnya diperingati. Aku ketemu mBah Surip juga di KC ini, dua kali dia tidur di Pesantrenku, kala menyapa di Gambang Syafaat Semarang. Tentu ingat Mbah Surip, ingat ketawa dan ungkapan I love you full itu, ingat rambut gimbalnya yang ternyata wangi itu, ingat kesederhanaannya itu, ingat gitar kesayangannya itu, ingat lagu Tak Gendong itu, ingat lagu Bangun Tidur Tidur Lagi itu, ingat hapenya yang unik itu, ingat keikhlasannya dalam menghibur hati manusia itu, ingat lagu Alif Ba Ta Tsa Jim itu.

Aku dua kali mengunjungi gubugnya di kampung artis, tempat itu dijadikan warung tapi sangat unik, sebab warung swalayan, ambil sendiri bayar sendiri, termasuk pengembalian uangnya ambil sendiri. Orangnya sedikit tidur, kalau bepergian ngeloyor begitu saja, makan ala kadarnya, menyiratkan kedamaian, tetep sembahyang, dan lihatlah sendiri semua apa adanya.

Aku selalu menemukan titik momentum di Kenduri Cinta Jakarta, Mocopat Syafaat Jogjakarta, Gambang Syafaat Semarang, Padang mBulan Jombang, Bang-Bang Wetan Surabaya, ketemu beliau. Yang menjadi misteri adalah ketawanya itu, kalau aku rasakan itu ketawa dari dalamnya dalam hati, kalau tidak pasti cepat lelah ketawanya, ketawa dia itu abadi. Seperti semua kegiatan hidup kalau energi dari dalamnya dalam hati, menjadi tenaga tak bertepi, misalnya kerepotan dan pelayanan Ibu Theresia itu, atau Kiai-Kiai yang momong anak-anak kehidupan sedemikian telaten, atau jamaah Maiyah yang nglemprak dari sore hingga Subuh itu.

Aku sendiri ketawa itu justru tidak ketika menonton lawak, namun ketika menyaksikan hal-hal yang digelar Tuhan ini, semua menjadikan ketawa seperti ketawanya mBah Surip itu, ketawa cinta. Bagaimana aku tidak ketawa ketika produk polah pecicilanku menghasilkan anak sembilan itu. Bagaimana aku tidak ketawa ketika melihat bibir kemerah-merahan nan sensual, ternyata dibaliknya ternyata hanyalah gudal. Bagaimana aku tidak ketawa ketika kulit yang orang bilang mulus itu, ternyata dibaliknya hanyalah darah nanah dan kotoran (maaf, tahi) itu. Bagaimana aku tidak ketawa ketika bokong dieksplor dengan gaya ngecor, gaya ngebor, gaya patah-patah itu walau dibungkus pesona sutra sekalipun, dibaliknya ternyata hanya silit itu. Bagaimana aku tidak ketawa ketika payudara sebesar Dolly Parton itu ternyata indah dilihat namun yang punya sendiri punggungnya nyeri, karena terlalu menanggung beban di depan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika orang menyangka penderitaan itu kesengsaraan, ternyata dibaliknya adalah kegembiraan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika orang menyangka sebuah prestasi yang membanggakan, ternyata dibaliknya menjadi tiyang gantungan dirinya. Bagaimana aku tidak ketawa ketika dibalik kemenangan adalah kekalahan dan dibalik kekalahan adalah kemenangan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika merenung tentang nerakanya surga dan surganya neraka termasuk manisnya derita dan pahitnya kegembiraan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika menyaksikan sendiri bagian yang semplempit kayak gitu bisa dilewati kepala manusia berulang-ulang.

Akupun ketawa kayak tawanya mBah Surip itu ketika aku menengok barangku sendiri, bagaimana aku tidak ketawa: ajaib, bisa mulur mungktret kayak gini.....

Hahahahahahhahahaha, I love you full, hahahahaha.....

Mainkan Saja Cinta

Sedulurku tercinta, pada pengkajian cinta di pengajian As-Sajadah Kandang Juarang Doank Tangerang, tempat keluarga Dick Doank menggelar pelayanan cinta. Semua bentuk servis itu gratis, cuma harus ingat pesan indahnya: jangan buang sampah sembarangan. Malam itu bertaburan makna cinta, mulai penampilan anak-anak yang menyatu jiwanya dengan gerak dan nyanyi-nyanyi. Penampilan group marawis dari Bojonegoro (al-Majnun) yang rancak dan enak itu, musik bambunya Mas Plompong, dan penampilan musik yang alatnya dari barang-barang bekas namun menjadi sarana menyatunya jiwa-jiwa pemainnya.

Acara dilanjut dengan dialog tentang cinta dengan segala pernik-perniknya. Acara suntuk sampai jam dua pagi, dan aku baru diminta untuk mengisi. Biasa, karena kelemahanku tidak mampu membahasakan secara rinci tentang misteri Cinta, maka terus terang kepada hadirin bahwa apa-apa yang sudah dikaji semalaman ini begitu indah.

Baru mendengar kata-kata yang indah saja sedang menggembirakan,alangkah gembiranya manakala melihat jiwa-jiwa pengungkapnya, karena kata-kata adalah bayangan jiwa. Mendengar bunyi-bunyi musik semuanya menyenangkan, alangkah senangnya jiwa-jiwa penabuhnya itu. Kamudian aku perluas, melihat semesta ini indah dengan keberadaan yang orkrestatif, apalagi indahnya Pencipta. Semua persembahan ini merupakan tindakan yang berkata-kata, sementara banyak orang yang tindakannya hanya berkata-kata.

Perhelatan itu sudah merupakan kekayaan hidup yang bermanfaat, ekspresi cinta yang sudah dilaksanakan. Sarana-sarana diri ini sangat cangggih, kalau akal kerjanya merenung, lahirlah ketrampilan hidup: kayu diubah menjadi kursi meja, tanah bisa diubah menjadi keramik, logam bisa diubah menjadi mesin dan pesawat. Kalau hati kerjanya mengenang, lahirlah cinta: seorang anak harus mengenang kasih sayang orang tua maka lahirlah adab birrul walidain, kalau murid harus mengenang derita guru mentranformasi cahaya maka lahirlah takdziman watakriman, kalau seorang suami harus mengenang prahara istrinya maka lahirlah kesetiaan hidup, kalau seorang istri harus mengenang kerja kerasnya suami sehingga ketika menerima uang jangan sekedar menghitung jumlahnya (ini kerja akal), tetapi harus mengusung di hatinya betapa uang itu tetesan peluh suami, diluar rumah. Maka kalau suami pulang songsonglah bagai selamat pulang perang, sediakan minuman kesukaannya, manakala menggelepar kelelahan di ranjang, dekatilah antarkan lelap tidurnya--mungkin hanya sentuhan beberapa saat saja, beres. Kalau seorang menantu maka kenanglah kerelaan mertua yang melepaskan permata hatinya, yang segala cintanya telah dicurahkan kepada anak itu, maka ketika kita menerima anak itu sebagai suami istri, maka cinta dan kasih sayang yang telah dilaksanakan untuk kita teruskan, dalam mahligai rumah tangga, jangan disakiti dan disia-siakan. Blablablabla!

Akhirnya aku menyatakan bahwa semesta ini merupakan instrumen, soal merasakan cinta: ayo kita mainkan saja! Seruling disebut seruling kalau kita tiup, mandolin dan gitar disebut mandolin dan gitar kalau kita petik. Siapa bilang benda-benda bekas ini sampah, di tangan orang yang yang memiliki cinta, itu semua adalah alat yang melahirkan lagu. Siapa bilang derita menyengsarakan, di altar pecinta ia adalah pemanis hati yang melahirkan keterjagaan hati, malah pada puncak derita, Tuhan bermahkota….

Kawan-kawan, malam itu semua alat musik aku minta dimainkan, maka heteroginitas sarana menjadi menyatu dalam Satu Melodi, melodi cinta...