Senin, 07 Juni 2010

Ladang Cinta

Sedulurku tercinta, dunia ini bagai gunung, kalau kita memekik keindahan gaungnya memantul akan kita dengar merdu merayu, kalau kita memekik keburukan gaungnya akan memantul di telinga kita sendiri, tidak enak. Makanya setiap pengkritik, yang nampak ditujukan dan ditudingkan ke orang lain sebenarnya pukulannya akan kembali ke pengkritik itu.
Rumus ini aku jadikan landasan dalam rumah tanggaku, aku petani istriku ladangnya, aku langit istriku bumi, aku daratan istriku lautan. Sebagai petani harus bekerja keras dalam penggarapan ladang, sebagai ladang harus pasrah sedemikian rupa agar menumbuhkan buah-buah segar kehidupan. Dia aku kenal di Pesantren, saat menyodorkan fotoku dimuat koran semasa SMA, juara pidato, koran Bahari dulu.
Kepasrahannya itu yang menggairahkanku dalam penggarapan kehidupan ini, sehingga benih-benih cinta tumbuh subur di ladangnya. Sebelum menikah aku suruh mondok di Yambuul Quran Kudus nurut, setelah menikah aku suruh kuliah Ushuluddin jurusan filsafat IAIN Walisongo nurut. Selama kuliah, mulai Ospek dia hamil tiga bulan, mencapai ke kampus pun naik angkot 3 kali ganti jalur, apalagi jalan ke kampus nanjak kayak gitu, nurut. Setiap semester genap, dia melahirkan anakku, pas saat libur tahunan itu. Sehingga ada dosen yang bertanya, kapan kamu melahirkan, masuk kok sudah hamil lagi. Begitu wisuda, anak enam aku bawa ke kampus mengiringi Uminya. Setelah memperoleh kesarjanaan, tambah lagi tiga anak, jadi seluruhnya anakku sembilan, laki tujuh perempuan dua. Sepanjang yang saya saksikan tidak pernah mengeluh, diam menuruti penggarapanku, selebihnya--senyum.
Belum lagi masalah keburukanku, yang begitu kanthong bolong, ada uang cepat habis disamping kebutuhan pokok, aku lepas begitu saja, dia diam saja. Antara ketemu dengan tidak, karena perjalananku pengajian malang melintang tentu lebih banyak tidak ketemunya, pasrah saja. Aku pun merasa sebagai lelaki setua apapun adalah bayi--pandangan psikolog. Sehingga kerewelan dalam hidupku bagi dia adalah bagai kerewelan seluruh anak-anakku, dia merasa sudah amat terlatih.
Malah dalam suatu kesempatan ngopi, dia bilang bahwa perempuan terhadap suami ada empat sikap, pertama sebagai teman harus bisa ngimbangi jagong, kedua sebagai kekasih harus siaga dalam keadaan apapun aku meminta, sebagi istri siap siaga dengan segala perintah suami asal yang makruf, keempat sebagai ibu pada saat menghadapi kerewelan suami, ya aku ini. Belum lagi menghadapi keruwetan santri-santri, dan kegiatan kemasyarakatan pada umumnya, ia jalani begitu saja. Mengalir.
Penempaan dan penggarapan ini aku lihat semakin mematangkan kepribadian. O iya, rumah itu barusan setelah 15 tahun berumah tangga aku bikinkan, sebelumnya menempati kamar sama luasnya dengan kamar santri-santri itu, diam saja, tanpa komentar. Dia amat yakin akan prinsipku bahwa wanita itu bayang-bayang Tuhan, artinya kalau aku akan menanjak dalam tataran kasih sayang Allah tentu melalui penghargaan atas wanita, ya dia itu. Setua apapun nanti tentu tambah mawaddah warahmah, memang namanya Siti Rachmah.
Ketika aku naik haji tahun 1997 sendirian, dia mendukung saja, walau aku tinggal. Kini saatnya dia mau aku berangkatkan haji, sendirian--nurut juga--tinggal nunggu brangkat, dia yang ngurus sendirian, aku tinggal lari-lari pengajian. Senyum dia tambah mengembang, anak sembilan sudah gede-gede, tak serepot dulu. Di mataku ia semakin cantik, lebih dari saat masih gadis dulu. Setiap apa yang aku berikan dengan mengucap terimakasih, jazakumullah. Setiap apa yang aku berikan orang, dia bilang sedekah.....
Kawan-kawan, aku mendoakan istrimu melebihi keshalehahan istriku, kalau engkau wanita jadilah ladang cinta yang begitu pasrah digarap dan menumbuhkan tetanaman yang pada ujungnya, rumah tanggamu rukun, rukun--kata Nabi--suasan surga yang ditirunkan Tuhan di bumi, Amin2....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar