Kamis, 17 Juni 2010

Pegadaian Cinta

Sedulurku tercinta, beberapa waktu yang lalu aku mengisi acara ulang tahun di kantor pegadaian Semarang, sederhana namun ada hal yang menarik dari sambutan pimpinannya--Saudara2, kita bersyukur atas nikmat Allah, dan berterimakasih kepada orang-orang kecil, karena institusi kita ini eksis karena berhadapan dengan wong-wong cilik itu, atas doa-doa mereka kita ada. Menurutku, pimpinan ini memiliki kerendahan hati, bahkan di dadanya ada cinta sampai menetes kata-kata andap ashor (penuh tatakrama).

Menurutku benar sekali, kalau ada kebutuhan mendesak--karena kehidupannya Senen Kemis--orang-orang kecil seperti orang tuaku, mungkin orang tua kawan-kawan juga, kalau kepepet tidak bisa membayar SPP sekolah atau beaya kuliyah, larinya ke pegadaian (mengatasi masalah tanpa masalah), pasti. Kenanglah itu. Saat kecilku, dengan sepeda jengki, aku sering bolak-balik ke Pegadaian Kecamatan Gubuk Purwodadi, memboncengkan Ibuku (sekitar tahun 1975), kelas V SD. Jadinya lucu kalau dilihat, mengayuh sepeda jengki--karena terlalu kecil dibandingkan sepedanya--bagai kethek ogleng, goyang kanan kiri. Sementara Ibuku (janda sejak aku kelas II) memboceng, kadang membawa jarit (tapeh, semacem selendang dipakai bawahan orang2 Jawa dulu) beberapa biji, kadang membonceng sambil bawa lampu petromak, kadang membawa perhiasan (bukan milik Ibuku tapi pinjam saudara), tiada lain untuk digadaikan buat membayar SPP kami bersaudara.

Kenanglah itu kawan, orang tuamu kalau seperti Ibuku, dirimu seperti aku. Mengenang cinta seperti itu, hati menjadi saksi, kasih sayang Allah nampak jelas melewati percikan cinta orang tua kita itu. Siapa yang bisa melupakan. Sehingga dalam dadaku--dadamu juga kan, kawan--menggelora rasa malu, besok kalau jadi orang (sudah dewasa), akan membalas membahagiakan Ibuku, sesuai dengan harapan beliau itu. Jadi orang. Begitu dewasa , kesarjanaan diperoleh melewati derita panjang beliau, berumah tangga sudah, melahirkan cucu-cucu beliau. Namun nawaitu untuk membalas, ternyata musnah. Kita sibuk sendiri dengan kebutuhan yang tak bertepi, menjenguk kala beliau sedang meradang sakit tidak sempat, punya istri hanya kita yang dicintai, beliau diremeh-remehkan--bahkan menginap di rumah kita sebentar--banyak istri yang rasanya ingin mengusir beliau.

Mengenang ini semua hatiku runtuh kawan, walau itu Ibumu Ayahmu, bukankah itu orang tuaku juga. Gejolak malu belum mampu imbang membalasnya--seperti aku--begitu kabar mendadak Ibuku meninggal, menjulang tinggi rasa maluku....

Ibu.... derita panjangmu, kini tambah tak terbayar lagi bagiku, rencana aku membahagiakan dirimu--maafkan--hanyalah rencana, hanyalah rencana, hanyalah rencana, sempurna sudah engkau menyayangiku, tapi tak sempurna cintaku padamu, ketika aku memanjatkan doa-doa kepadamu, bagai godam menghentakkan hatiku memperbesar rasa maluku,demi anakmu ini semua kau gadaikan,termasuk cintamu hingga yang tertinggal lembaran-lembaran deritamu itu....

Ibu....

1 komentar: