Sedulur tercinta, ketika aku ada acara di Solo menginap di Hotel Dana, sebelah barat Hotel itu ada mushalla, pas ada adzan Dhuhur. Aku simak kalimatnya sudah benar tetapi dibungkus dengan suara yang belum indah, kalau boleh digambarkan seperti menyulut mercon itu. Semua orang suruh mendengar ledakan itu tetapi yang menyulut ditutupi telinganya. Aku turun dan sempat menanyakan dari alumni mana dia.
Substansi adzan itu panggilan untuk menegakkan shalat dan panggilan mencari keberuntungan, dengan cara secara ritual, menghadirkan Tuhan di hati. Dengan kehadiran Tuhan di hati akan mewujudkan diri manusia menjelma menjadi cinta. Maknanya setiap apa yang menjadi gerak-geriknya menebarkan kesenangan dan kegembiraan hidup. Dengan demikian hati tidak sekedar segumpal darah, tetapi seluruh tubuh menjadi hati, setiap sendi yang digerakkan atas kehendak Allah akan mewujud menjadi nilai sedekah yang akan membikin manusia tersenyum.
Muadzin ini dalam ranah Syariah tidak masalah--sudah benar--tetapi dalam ranah muamalah yang bernuansa adab menjadi masalah. Kalau toh yang menjadi acuan Kanjeng Nabi, tentu beliau punya muadzin yang indah suaranya itu, Bilal. Sementara muadzin ini mengacuhkan kehidupan secara sosial, dengan menampilkan citra panggilah kepada Tuhan Yang Maha Indah dan suka kepada keindahan ini, dengan suara buruk, menghentak-hentak.
Aku yakin, andai Kanjeng Nabi masih hidup pasti dia tidak diperkenankan untuk menjadi muadzin, paling banter diperintah mengembala onta atau kambing. Aku membayangkan juga, Ibu-Ibu itu secara aturan masakannnya bagus, enak bahannya, tetapi kalau cara menawarkan kepada suami dengan nada seperti muadzin bersuara buruk itu, pasti suami mana yang mau mensyukuri masakan Ibu-Ibu seperti itu.
Aku bayangkan juga, para mubaligh-muballigh itu banyak yang bersuara buruk seperti muadzin itu. Secara teks normatif tidak salah, seperti kalimat adzan itu tidak salah, sudah benar. Keburukan panggilan itu terletak adanya kepentingan pribadi atau kelompok, yang menjadikan citra Islam sebagai rohmatan lil 'alamin menjadi runtuh, tidak terbukti dalam ranah kemesraan sosial. Bahkan hanya kepingin merendahkan orang lain, memperolok-olok pihak lain memakai legitimasi dalil-dalil, ujungnya hanya untuk membenarkan diri dan kelompoknya.
Kalau ini dilakukan, bukankah sebenarnya mereka menyembah berhala abstrak yang menempel pada dinding-dinding hatinya, mungkin lebih banyak dari berhala yang mereka olok-olok itu? Adzan, sarana panggilan beribadah secara ritual berati harus benar dan indah, demikian juga penyeru Islam, kalau toh digambarkan bagai muadzin, ya tentu secara tekstual benar, namun secara kontekstual juga harus indah, inillah adzan Cinta….
Kawan-kawan, dengan cara demikian umat tidak sekedar cinta agama, namun mengedepankan agama Cinta. Selanjutnya umat juga tidak sekedar larut dalam ritual ajaran, namun juga ikut membereskan kehidupan dengan pelayanan-pelayanan, secara universal, sebagai tanda keikhlasan, tanpa campuran….
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar