Sedulurku tercinta, Anda bila mengeng cinta Ibumu, pasti tumpah ruah hatimu, dari sanalah cinta tidak bisa diterangkan namun kuyup dirasakan, yang pada ujungnya kita sadari tak terbalaskan. Ibumu, Ibum, Ibumu--sabda kekasih Allah itu. Memang aku selalu bilang dimana-mana, bila anda ingin memahami cinta, jangan sekedar membaca leteratur cinta, namun tataplah aura ibumu, ibumu, ibumu.
Kalau panjenengan melihat pada diriku percikan cinta, maka aku akui percikan itu bersumber dari cinta Ibuku itu. Ketika aku menyaksikan dari dirimu percikan cinta, aku yakin itu bersumber dari cinta Ibumu itu. Kalau sampai hari ini Ibu panjenengan masih sehat menemanimu, berbahagialah kawanku, bisa kau tumpahkan segala cinta dan takdzimmu padanya, doa-doamu bisa diamini beliau yang menjadikan Tuhan sungkan kalau sampai tidak mengabulkan harapan-harapanmu, atas keramat bibir Ibumu mengaminimu itu.
Ridlo beliau menjadi tanjakan ridloNya, duko beliau menjadi jatuhnya murkaNya. Aku mendoakan Ibumu semua, sehat wal afiat dan panjang umur, bisa menyaksikan nyanyian-nyanyianmu, dosa-dosanya diampuni Tuhan, bukankah hati orang tua bernyanyi pada anak-anaknya. Senyum Ibumu terhadapmu, bagiku cukup menjadi saksi atas senyum Tuhan itu padamu kawan. Berbahagialah engkau masih ditungguhi Ibumu!
Bagi yang Ibunya sudah meninggal, seperti aku, ayolah kita lanjutkan kidung cintanya menebar tanpa batas, dengan sesama. Kalau mereka orang tua, anggaplah orang tuamu, kalau mereka lebih tua anggaplah kakakmu, kalau mereka sama umurmu anggaplah teman dan sahabatmu, kalau mereka lebih muda anggaplah adikmu, kalau mereka anak-anak anggaplah anak-anakmu jua. Semua keluarga Tuhan, jangan kita sakiti, harus kita bahagiakan.
Bermula dari Ibuku, yang membiasakan terhadap anak-anaknya, kalau dipandang lelah, Ibuku menawarkan untuk memijiti sudah sambil memegang kaki kami---kesel yo Le (payah ya Nak), sapanya kala aku merebahkan tubuh di amben (ranjang kayu) rumah ndeso, menit-menit berikutnya aku sudah terlelap, masih terasa didekap dengan kehangatan cintanya, diwaktu kecil.
Begitu aku bangun, semua sudah tersedia, makan ya Le (nak), atau mandi dulu (anduk, sandal, sikat gigi, sabun mandi sudah disiapkan), sambil menata rambut untuk digelung, karena ketika aku tidur, ibuku ribet terjaga menyediakan segalanya, aku tersenyum dan mengangguk, tapi hati ini dalam pandangan abstrak, Tuhan lebih hadir dihatiku lewat kehalusan dan pelayanan Ibuku, Ibumu juga kan begitu kawan2.
Yang terakhir, setelah semuanya aku nikmati, masyaAllah, Ibuku mengajak sembahyang berjamaah--Le, ayo berjamaah, pintanya seperti biasanya kalau aku sowan. Inilah kawan, kenikmatan puncak hidupku, aku menghadap Tuhan di kawal oleh Ibu, pada posisi iitu aku merasa seperti disodorkan Tuhan, sepertinya Ibuku matur sama Allah, inilah milikMu ya Allah yang Kau titipkan padaku, pantaskah, pantaskah, pantaskah, pantaskah ya Allah?
Seluruh sendiku lunglai, airmataku tumpah, mulutku terkunci, apalagi saat aku memanjatkan doa, aku hanya bisa menangis sesenggukan, dengan harapan biarlah Ibuku yang pantas memohonkan atas harapan-harapan ini. Pernah aku pamit menghaturkan sedikit uang, Ibuku bilang, untuk apa Le, biarlah untuk anak-anakmu saja yang mondok itu, bagiku buat apa.
Ternyata itu pertemuan terakhir terhadap Ibuku, karena tiga hari setelah itu, pada saat beliau melayani orang punya gawe, membungkusi brekat, tanpa sakit, pada saat aku mau naik podium di pengajian, adikku menelpon Ibu meninggal....
Kawan2, sekarang aku punya kamu, aku punya kamu, kalau Ibumu masih hidup, tolong bilanglah kepadanya, bolehkah aku mendaftar sebagai anak Ibumu, sehingga engkau di hatiku bukan orang lain, bukan orang lain, tapi engkau saudaraku. Kalau engkau mengalami kelelahan seperti diriku saat sowan Ibuku, rebahkan dirimu kawan-kawan, tentu aku meniru Ibuku, akan aku pijiti kamu-kamu sepenuh cinta seperti cinta Ibuku padaku...
Ayolah kawan, aku pijiti kamu.....
Senin, 07 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar