Sedulurku tercinta, kalau orang memahami adab lahiriyah dan batiniyah, tentu melihat berbagai persoalan hidup yang muncul ke permukaan ini sebagai tajalli cahaya terpuji itu, tentu ia akan memiliki pemahaman yang sangat bijak, dimana pada ujung-ujungnya ia tidak akan berani menghakimi pihak lain, sebab dalam ranah muamalah sejauh apapun perbedaan ini, ada manfaatnya, sehingga adab yang terakhir dibayar adalah lakum dinukum waliyadin, terakhir, walana amaluna lakum amalukum, selesai dan damai.
Kalau toh sampai ada geger2 hukum itulah kalau ingin tahu bahwa bukan saja dalam ranah pemerintahan itu ada firaun, tetapi juga ada firaun-firaun dalam agama, yang ciri utamanya adalah mengedepankan hukum2 lahiriyah, bukan untuk menghakimi dirinya yang masih banyak dosanya itu, tetapi menghakimi pihak lain yang tidak diketahui secara detail, sebab-sebabnya kenapa ia melakukan sesuatu.
Misalnya orang yang akan aku kisahkan ini, adalah orang yang terbuang di tengah kota Semarang, aku sebut terbuang karena menempati gubug di tengah sawah berdua, mengisi hari-hari tuanya, karena anak-anaknya sudah mandiri, berdua berteman sepi dengan menanam kangkung (sayuran) di sawah yang bukan miliknya. Kalau aku gambarkan rumahnya seperti tempat gubuk2 kecil di pinggir stasiun Gambir dan Jatinegara Jakarta itu.
Ia seorang perokok kelas berat, kabar-kabar donyo (dunia) tak pernah ia dengar dan tahu. Merokoknya pakai linthingan, tempatnya lopak-lopak (kotak seperti lambaran stempel), mau beli rokok pabrik, ia tak mampu. Yang menjadi filosofis adalah, merokok itu menurutnya jangan dipandang dari sisi luarnya, namun lihatlah kandungan didalamnya.
Aneh, merokok disamping menurutnya bisa, menurutnya lho, bisa menyembuhkan penyakit tertentu namun juga bermakna isaplah yang baik, sebulkan (buang) yang buruk, tambah lagi saat dia merokok, tidak seperti yang aku sering bilang sebagai sarana dzikir (yaa Huu), namun dalam abstraksinya merokok, dia pakai harian sebagai sarana bersholawat, kayak tukang kerok itu.
Sambil merawat lahan kangkung di sekitar gubuknya yang selalu hijau itu, lalu setiap dini hari mereka bawa ke pasar dijual. Begitu begitu saja setiap harinya, kecuali kalau ada pengajian dan undangan2 saudaranya, mereka datangi. Bersholawat cara dia seperti itu kan aneh, tapi ajaib. Dalam rindunya yang sunyi di dada, karena tidak pakai gaya-gaya seremonial pada umumnya, dijawab juga oleh Rosullah.
Kerja yang keras merawat sayur kangkung, ia tabung, hanya ingin rasanya sebelum mati, mereka di kasih kesempatan bisa ziarah ke makan Nabi, kekasih Allah itu. Seluruh orang kampung menjadi geger, si tukang sayur kangkung itu, naik haji berdua. Berangkat begitu saja, tidak mampu menyelenggarakan upacara apa2, saat mereka pamit dengan bersilaturrahmi ke rumah masing-masing orang sekitar sawah kangkungnya, mohon doa restu...
Kawan2, marilah kita latih diri kita untuk menahan tidak membiasakan menghakimi pihak lain, kenapa mereka melakukan hal tersebut, termasuk hal2 sepele soal rokok, atau soal lainnya yang kita tidak tahu kedalamannya, yang bisa dijadikan alasan hukum itu. Aku lebih takut, sebagaimana Kanjeng Nabi di akhirat nanti malu, kalau orang yang mengaku nasabnya dan mengaku umatnya, tetapi tidak membawa amal baiknya, dan tidak kangen bertemu dengannya setelah menerima banyak kehormatan yang disandarkan kepada kekasih Allah itu.
Banyak orang yang moyoki orang merokok dengan bangga dan dengan dalil2 pendukungnya, didadanya kosong oleh rindu bertemu dengan Kanjeng Nabi, ternyata diganjar ditolak seumur-umur tidak sampai ke pusara suci itu, sampai mereka mati....
Tidak seperti tukang sayur yang merokok itu...hehe
Kamis, 03 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ini semuanya bebrbau cinta... hahaha
BalasHapus