Sedulurku tercinta, kalau Kanjeng Nabi saw mengabarkan kejadian seorang pelacur kasihan sama anjing kehausan lalu diberinya minun dengan wadah terompahnya pelacur itu, karena anjing ia pandang ingon2ne Gusti Allah, menghasilkan ampunan dan menjadikannya ia masuk surga, bagaimana kalau orang sayang sama pelacur?
Kisah ini aku alami ketika jam satu dini hari, mau berangkat ke Kenduri Cinta naik kereta ekonomi melalui stasiun Poncol. Tiket sudah aku siapkan sebelumnya, yang ada di saku kaosku sangu dua puluh ribu, pesan istriku untuk beli cemilan di perjalanan kereta. Begitu mau masuk stasiun, aku dijegat oleh penawaran seorang perempuan setengah baya, mas nopo bade ngersaaken (mas apa mau gituan)--katanya. Udara begini dingin, dini hari belum juga laku orang ini--pikirku. Lalu aku tanya dia, berapa kalau sudah jam begini? Dia menjawab dengan senyum untuk membukus deritanya, kalau jam segini, limaribu gak apa-apa, untuk ngliwetke anak2ku esok hari.
Terjadilah dialog panjang, anaknya tiga, suami sudah nggak ada, rumah ngak punya masih kontrak. Lalu aku kasih sebatang rokok, dan aku nyalakan. Pada ujungnya dia menyatakan, siapa sih mas yang mau bernasib seperti ini, deritaku dibungkus dengan cekikikan, dalam hatiku malu kepada Gusti Allah, tapi apa dayaku mas.
Terus aku tanya, dimana kalau main gituan, dia jawab di gerbong kereta tua itu, bertikar plastik. Sambil dia menujuk plastik dalam tas kresek hitam, mengulang lagi pertanyaannya, mau kan mas (kerso kan)? Detik itu juga, dalam diriku ada tangan suci menuding, ayo kasihkan saja uangmu, gagasan tentang cemilan itu hilangkan, demi senyum anak-anaknya di pagi hari bisa sarapan pagi, kelaparanmu dikereta bisa diatasi dengan tidur sepanjang jalan, atau menyaksikan riuh rendahnya orang jualan sebagai musik orkresta yang merdu seperti kesukaanmu itu! Aku menyerah. Aku bilang sama perempuan setengah baya itu, mbak--kataku sambil mengulurkan uang, pulanglah sekarang aku ikhlaskan ini untukmu. Lho--katanya keheranan, mboten ngersaaken mas, wong sebentar saja bisa kok, kereta jakarta masih setengan jam lagi, dia merajuk sambil memegang tanganku. Tidak mbak--kataku, pulanglah sekarang, sayangi anakmu, aku mendoakanmu Gusti Allah mengampunimu, dan memberikan jalan terang yang lebih baik, amin.
Selesai aku mendoa, ia mengucapkan terimakasih, dan melangkah keluar dari Stasiun, dan ketika sampai di pintu gerbang, ia menolehiku sementara aku masih termangu di situ, dan masya Allah sempat melambaikan tangannya, seperti mengucapkan selamat jalan, akupun membalas lambaian tangan, tidak hanya satu tapi kedua tanganku. Aku masih didera rasa malu karena hanya saat malam itu aku bisa membebaskan dirinya dari kebutuan mendesak, hari-hari berikutnya aku tidak tahu...
Kawan2, dalam kereta sepanjang jalan, derita yang dihiasi tawa oleh perempuan itu, diam-diam menemaniku, sehingga aku tidak haus, tidak lapar, tidak ngantuk, tidak lelah, tidak tahu jam berapa, tidak tahu aku sedang dimana, tahu-tahu siangnya sampai di Jatinegara, malamnya di Kenduri Cinta, dan pada jam yang sama kala aku ketemu perempuan setengan baya itu, menjadi bahan cerita berbicara....
Maafkan aku, kawan, tak mampu merahasiakan kebaikan itu....
Jumat, 04 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar