Jumat, 18 Juni 2010

Tukang Cinta

Sedulurku tercinta, ada sebuah Masjid yang sedang dibangun oleh seorang perawan tua, namun kecantikannya melebihi perawan muda, kalau boleh dibahasakan orang itu ditaburi warna fajar pada senjanya. Sebaliknya banyak perawan yang ciamik rupanya, namun karena miskin hasrat dan minat, maka bisa dibahasakan orang semacam ini ditaburi warna senja pada fajar usianya.

Kecantikan perempuan perawan tua ini bukan karena make up--dimata seorang tukang bangunan--yang bekerja dengan ketelatenan dan semangat luar biasa sehingga di mata perawan tua ini, masjid nampak megah dan sangat indah, terasa nyaman disimpuhi untuk beribadah, walau sekedar untuk i'tikaf. Pesona kecantikan ini nampak--di mata tukang yang masih jejaka ini--seperti bukan makhluk ciptaan biasa, kecantikan yang nuansanya sebuah misteri, alangkah indah kalau dia bisa mempersunting perempuan itu, bersanding di sisinya.

Perjaka ini amat gantheng, gagah namun di dadanya ada penyakit abadi seorang pecinta: nyeri kerinduan kepada orang yang dicintainya itu. Bukan melemahkan hidupnya, penyakit itu malah meletupkan tenaga yang tak terhingga, sehingga masjid itu hampir finising, dialah salah satu tukang kebanggaan perempuan perawan tua itu. Banyak perawan muda nan cantik menawarkan diri untuk dinikahinya, tetapi dengan kehalusan akhlak dia tidak bisa menerima.

Di puncak kenyerian rindunya, dia tidak berangkat bekerja melanjutkan bangunan masjid yang hampir rampung itu, dia sakit tetapi badannya sangat sehat wal 'afiat, tetapi sakit. Lalu perempuan dengan taburan fajar pada senja usianya itu, menayakan kepada salah seorang teman tukang yang sehat namun sakit itu. Temannya menjawab terus terang kepada perempuan natural look itu: mBak, sebenarnya tukang ini sehat tetapi sakit, sakitnya rindu kepadamu, malah ia pernah menggesa mungkinkah dirinya bisa bersanding denganmu, dalam arti menjadi suamimu.

Dengan serta merta perempuan cantik ini mendatangi rumah di sebuah dusun terpencil, karena ada kekhawatiran masjid tidak sempurna tanpa tangan tukang yang sehat namun sakit itu. Di rumah ia berteman dengan sunyi, tapi tidak sunyi hatinya: walau tidak berangkat kerja, wajah perempuan ini memenuhi ruang kalbunya. Bagitu ada suara uluk salam dari perempuan pujaannya ini, jantungnya berdegup kencang, rebahlah hatinya. Dilihat perempuan ini--setelah masuk--perjaka ini menatap dirinya secara aneh bin misterius, mulutnya terkatup sepertinya akan mengungkapkan sesuatu namun tidak mampu, bibirnya bergetar, luapan rindu tak mampu ditampung oleh lidah untuk membahasakan kegembiraan hatinya, pujaan itu datang ke rumahnya.

Bagai hati Bilal, tidak mampu melantunkan adzan di masjid Nabawi, sepeninggal Kanjeng Nabi, airmata kerinduan yang bicara. Sama dengan perjaka ini, dilihat perawan cantik tua ini: ia merunduk airmatanya muncrat. Wahai tukang yang membangun masjidku bukan dengan ototmu, tetapi dengan hatimu--suara perempuan lembut ini, aku tahu perasaan dan harapanmu, kini aku bebaskan dirimu bekerja, aku rasakan sempurna bangunan masjid itu, aku rela engkau menjadi suamiku, aku pasrahkan diriku nanti melayanimu seperti kepasrahan hidupmu melayaniku, membangun masjid indah itu, sekarang berangkatlah ke tembat sunyi untuk mendekat kepada Sang Pencita selama empat puluh hari, ini uang bekalnya.

Saat itu, indahnya pertemuan hanya sesaat, lalu harus berpisah lagi. Derita itu perjaka bayar segenap hatinya dengan suka cita, demi wajah yang penuh misteri itu. Setelah tiga puluh hari, perempuan pujaannya ini nyambangi (mendatangi) dia ditempat bersunyi ria. Perempuan ini melihat wajah tukang itu bercahaya, melebihi sebelumnya, kali ini yang jatuh hati tak terhingga malah perempuan ini berkata lembut: sayangku, aku tunggu engkau ke pelaminan bersanding denganku, tinggal sepuluh hari lagi, kita menjadi sepasang kekasih abadi.

Kalau dulu perjaka ini menangis karena didera oleh harapan yang tak mungkin sampai, kini airmatanya muncrat juga, dengan lembut berkata kepada perempuan yang sudah memanggil dirinya dengan kata sayangku itu: kekasihku, dengan segenap kejujuranku, kini harapan untuk bersanding itu buyar dalam hatiku, aku urungkan niatku menikahimu, maafkan aku sayang, ruang hatiku kini dipenuhi oleh rindu kepada dzat yang membikinmu sangat cantik dan indah di mataku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku….

Kawan-kawan, perempuan ini pulang dengan membawa kerelaan juga atas perpisahan yang sangat mengharukan ini, dia sadari Tuhan bermahkota di hati tukang yang bekerja dengan kalbunya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar