Sedulurku tercinta, pada penglihatan hatiku, semua mengisyaratkan arus cinta yang tergerak oleh seruan Sang Ruh--orang bilang Tuhan itu, Allah. Apa yang aku sebut penglihatan--maaf--itupun bukan milikku, tetapi murni milik Dia. Dan apa yang aku bilang hati--sungguh--inipun bukan punyaku, namun nyata-nyata punya Dia. Kalau apa yang tersebut aku, sejujurnya itu berasal dari wilayah ego dan kepribadian temporal, yang betapa pun kecil dan lembut, bisa menjadi selubung rindu dalam merenungkan Tuhan, apa lagi memandangnNya.
Dalam keintiman dengan Dia, semua harus ditinggalkan--termasuk diriku--karena Dia tidak mau mendua, tetapi senantiasa ada ruang untuk berdua, bertiga, berempat, berlima, berenam dan seterusnya--tak terhigga. Sebenarnya, aku itu sendiri namun tidak menyendiri, ada Dia. Jadinya, aku mencari Aku, ketika pada akhirnya aku menemukan diriku sendiri, aku menyimpulkan bahwa diriku tidak ada, tidak ada.
Penggiringan akalku ini, merupakan tanjakan untuk masuk pada samudra Cinta, yang semata-mata aku harus mengamalkan dalam realitas hidup, yang bebas dari kepentingan pribadiku. Bentuknya adalah menekankan dan mendorong pelayanan kepada masyarakat--tanpa batas, toleransi dan kebaikan kepada sesama, dan melakukan panutan kemuliaan manusia, sebagaimana sejarah membuktikannya. Bagiku, kalau hanya untuk pembicaraan dan terkaan, memang akal menjadi panglimanya. Jadinya, tidak ada agama bagi yang tidak berakal--benar adanya. Ternyata model ini masih milik wilayah ego, buktinya bisa dilihat,tindakan praktisnya paling banter: cinta agama.
Cara ini memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Kepercayaan pada akal semata, berefek akan kosong dari keuntungan spiritual, ia akan berfungsi untuk membuat seseorang secara sosial dan secara moral: buruk. Karena seseorang mungkin dengan mudah menyelewengkan akalnya untuk membenarkan kepuasan diri dalam berbagai keburukan atau perilaku ofensif dengan mengklaim bahwa karena semua dari Dia, apapun boleh. Sikap ini bisa menggunakan agama untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri.
Jadi, kesetiaan akal bisa mencurigakan, karena ia sesungguhnya bisa menuntun kepada kebusukan moral yang merendahkan seseoran dari maqom puncak kemanusiaan. Buktinya orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan ajaran-ajaran dalam bentuk luar: shalat, puasa, sering pengajian, haji umroh berkali-kali dan sebagainya--tetapi tidak di dalam hatinya dan prilakunya. Sekali lagi cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang dan cinta.
Sebaliknya, akan menetes prilaku yang bersumber dari kebencian, irihati, dan fitnah--yang abadi. Demikian resiko nyata yang harus diperoleh kalau doktrin itu diajarkan dan dipelajari oleh semata akal pikiran, yang diajarkan di podium akademik saja. Memang upaya ini sungguh lumayan, karena bisa meningkatkan kesadaran intelektual seseorang.....
Kawan-kawan, ayo masuklah ke samudra Cinta, melibatkan sebuah jalan praktis di mana orang melihat segala sesuatu sebagai satu, karena difokuskan tidak lain dalam satu arah. Keadaan seperti ini merupakan praktek yang didasarkan pada pengalaman dan perwujudan langsung, bisa wahyu atau penglihatan batin--orang bilang makrifat itu.
Model ini membebaskan seseorang dari kesadaran diri dan membawa dia menuju kehidupan dalam Tuhan. Singkatnya, biarkan Tuhan berbicara melalui diri manusia. Praktekkan apa saja yang bertiup di dzomir manusia, yang diyakini tiupan nafas Tuhan. Bila demikian, agama hadir akan bisa menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat....
Jumat, 18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar