Jumat, 18 Juni 2010

Prasangka Cinta

Sedulurku tercinta, prasangka itu kan ada dua, prasangka baik dan prasangka buruk, di mata Allah baik buruk kan dariNya juga. Maknanya tinggal manusianya, kalau seseorang berprasangka baik, Tuhan jawab baik, kalau manusia berprasangka buruk pantulan prasangkanya kembali ke orang tersebut, buruk.

Aku--kata Tuhan, tinggal prasangka hambaku kepadaKu. Sederhana sekali: bagi pedagang abadikan prasangka untung, Allah akan menjawab dengan kekayaan. Bagi pendosa prasangkakan ampunan, Dia akan mengampuni walau dosa sebanyak pasir di pantai. Bagi perindu kekasih prasangkakan ketemu, Dia akan menjodohkannya. Apa saja prasangka baik angkatlah, maka Dia akan menjawab dengan berlipat sampai kita tak mampu menghitungnya. Percayalah.

Aku sering melewati rumah besar dan bagus sekali tetapi kosong, tidak kepakai, di daerah Banyumanik Semarang. Setiap aku lewat hatiku berbisik: Ya Allah andai rumah ini kau gerakkan hati yang punya untuk menjadi sebuah pesantren, tentu akan lebih bermanfaat bagi hamba-hamba yang mencariMu. Aku sempat kaget saat tiba-tiba muncul papan nama : Pesantren Munawwarah! Saat ada orang membantu kayu jati ke pesantrenku, aku langsung ke ladangnya, saat penggergaji itu bekerja hatiku berbisik: Ya Allah, andai tanah seluas ini hati pemiliknya kau lembutkan sehingga sebagian tanah ini untuk pesantren, tentu membikin lingkungan kampung ini cahayaMu berbinar. Belakangan muncul papan nama lembaga pesantren : Pesantren Uswatun Hasanah!

Dari pengalaman agamawi inilah yang menjadikan aku membebaskan prasangka buruk, aku penuhi hatiku dengan prasangka baik, abadi. Aku yakin juga setiap orang memiliki pengalaman seperti yang aku alami. Orang bilang keajaiban, padahal semua ini melewati proses yang sangat jlimet, tapi orang sering menyitir ayat: kun fayakun! Aku jauhi prasangka buruk, jangankan Tuhan, lihatlah kisah sederhana ini yang bisa menjadi renungan abadi.

Seorang santri paling sholeh di sebuah pesantren, dalam kamarnya memprasangkai buruk kiainya: pak kiai itu apa gak berbuat zina, kok sering nongkrong di Gang Dolly. Siapa lagi kau bukan Gus Mik itu. Sejenak prasangkanya berhenti, kamar santri itu diketuk orang, ternyata ajudannya Gus Mik: kang (mas) kamu dipanggil Gus Mik, sekarang. Runtuhlah hati santri itu, mendekat Gus Mik dengan ketundukan puncak, mulut terkatup dengan kerelaan mau dihukum apa saja siap, atas tebusan prasangka buruk itu.

Ternyata dia diajak Gus Mik ke Gang Dolly itu, dibokkingkan kamar plus primadona Gang Dolly. Bertiga ngamar di sebuah Hotel, pertunjukan dimulai: pelacur primadona itu disuruh melepaskan satu demi satu pakaiannya, telanjang sempurna bagai bidadari. Santri sholeh ini dengan hati secuil prasangka buruk membayar hukuman amat mahal: disuruh telanjang Gus Mik! Maka ditengah ketakutan sedemikian, ia menahan untuk tidak tegang burungnya, dzikir segala dzikir dia gapai--gagal. Burungnya semakin njenggelek.

Sementara Gus Mik pun demikian, tapi dalam kesaksian prasangka santri disuruh melihat, tidak seperti miliknya yang bagai tiyang bendera Indonesia Raya itu. Santri itu merengkuh lutut kaki Gus Mik, beliau usap kepalanya: Nak,ini pelajaran bagimu….

Kawan-kawan, santri itu sekarang punya pesantren, kelembutan hatinya menjadi-jadi dengan gairah, minimal seperti Gus Mik itu, kalau bisa….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar