Sedulurku tercinta, entah dari mana Ibu penjual kembang di pasar, yang amat sepuh itu, memperoleh taburan nasehat yang ia pegang kuat-kuat. Setiap ia usai shalat Ashar di masjid, melakukan kebiasaan yang sudah tahunan disetiai--menjumput daun-daun kering dengan jumlah ribuan yang jatuh di halaman masjid, lalu ia buang ke tempat sampah.
Sore itu kiainya terbersit bertanya—mbah (nenek), mustinya daun-daun ini disapu biar lebih cepat, mengapa aku saksikan sejak dulu kau pungut selembar demi selembar? Nak Kiai--saut penjual kembang tua itu, hidupku ini tidak punya apa-apa, kebahagianku atas mengenal Allah, berbisik kepadaNya dengan kalam Quran, mengetahui akhir semua ini pada kehidupan nanti di akhirat, dan syafaat agung itu mau aku terima. Semua ini dari Kekasih Allah, Kanjeng Nabi saw itu. Tentu Nak Kiai tahu, kalau asal kejadian semua ini dari cahaya kekasih Allah itu, Nur Muhammad. Tentu Nak, aku bersyukur atas kurnia agung ini, bahkan orang yang banyak dosa macem saya ini, tetep dibela di hari yang perhitungan nanti, dengan cara cahaya itu akan menutupi catatan-catatan keburukanku, biar yang nampak hanya kebaikanku, walau hanya menjumput daun-daun ini. Bukankah kalau aku sampai kewirangan (dibikin malu) sebagai umatnya, Kanjeng Nabi juga ikut malu, beliau tidak tegaan Nak Kiai. Aku mencintai beliau, dan besok ruh-ruh itu akan dikumpulkan menurut siapa yang dicintai, tidak akan dicinta bagi yang tidak mencinta.
Amal kebaikanku Nak Kiai, tidak sepantasnya mengantarkankanku ke surga, namun kecemasan atas neraka menjadikanku punya tenaga mendamba cinta. Kecemasan atas kematianku saja ditangisi Kanjeng Nabi saw, sampai-sampai beliau bertanya kepada Izroil, bagaimana rasanya sakit saat nyawa dicabut. Karena Izrail tidak bisa menjawab, maka bertanyalah kepada Nabi Musa (orang yang sakti), bagaimana rasanya saat dia menjabut nyawanya. Dijawab oleh Nabi Musa--wahai Izroil, lihatlah sendiri tubuhku, banyak yang kehitam-hitaman, kalau aku rasakan saat nyawa kau cabut, bagai dipedang 300 pedangan.
Hal ini Nak Kiai, disampaikan kepada Kanjeng Nabi, beliau langsung menangis dan berdoa--Yaa Allah, kalau demikian keadaan nyawa umatku sakit saat sekaratul maut, biarlah aku yang menanggungnya, biar ringan derita mereka. Bahkan beliau menyuruh banyak bersholawat, memanggil-manggil beliau, siapapun yang melakukan demikian atas dasar cinta, maka Izrail nanti kalau mencabut nyawa umat--termasuk aku--akan dengan cara beradab, sebagaimana adab mencabut nyawa para Nabi dan Rasul.
Kali ini Kiainya yang terbengong, Ibu tua ini bukan sembarangan ini--gumamnya. Kalau toh aku melakukan hal ini--lanjut Ibu itu, sebagai tirakatan hidupku dengan sangat berharap, setiap lembar daun yang aku jumput Nak Kiai, aku basahi bibir dan hatiku dengan shalawat, dengan harapan---adakah diantara jutaan daun yang telah aku jumput di halaman masjid ini, adakah Nak Kiai, satu lembar saja yang menjadi saksi atas cintaku kepada Kanjeng Nabi itu….
Kawan2, kali ini justru Kiainya yang menangis, sambil berjalan dan mengucapkan terimakasih ke Ibu penjual kembang yang terbakar api cinta ini, mengusap air matanya dengan serbannya, sampai di kamar Kiainya sujud syukur senja itu dipertemukan dengan orang kecil yang besar jiwanya, semula tidak ia kira….
Senin, 07 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar