Sedulurku tercinta, tersebutlah seorang Yahudi di Madinah, di samping sudah sepuh banget, tambah buta lagi. Kalau soal bisa menghargai perbedaan, bukan menjadi masalah, tetapi kebencian hatinya kepada Kanjeng Nabi itu yang menjadikan persoalan. Demikian juga, penduduk dunia, negara, kampung kalau bisa menyadari atas perbedaan itu saling ketergantungan, maka akan menghasilkan ketentraman.
Hanya kebencian yang menjadikan kebaikan berbalik keburukan di matanya, cahaya berbalik kegelapan di dadanya, petunjuk berbalik kesesatan di kalbunya, ampunan berbalik siksaan di hadapannya. Bagi hati yang dipenuhi kebencian, dekat bisa menjadi jauh, manis bisa terasa pahit, kebahagiaan bisa menjadi kesusahan, ringan bisa menjadi berat, jangankan mengangkat derita orang lain, pembenci itu mengangkat dirinya sendiri saja tidak kuat, terbebani hawa kebencian itu, malas jadinya.
Ketika ada jenazah Yahudi lewat, Kanjeng Nabi yang tadinya duduk lalu berdiri tegak menghormati, sampai sahabat ada yang bilang: bukankah ia Yahudi, Ya Rasulullah? Kanjeng Nabi dengan singkat menjawab: kalau kau bilang Yahudi, bukankah ia manusia? Berbeda agama tetapi sama-sama manusia. Berbeda manusia tetapi sama dalam keyakinannya. Berbeda keyakinan tetapi satu negara. Berbeda pendapat tetapi satu agamanya. Dalam menjalin persaudaraan tentu yang dicari adalah titik kesamaannya, jadinya kerukunan yang indah.
Bagi si buta Yahudi ini, setiap orang yang lewat menuju masjid Nabawi, ketika kasihan melihat keadaannya, lalu memberi dirham, bukan terimakasih yang diucapkannya, malah memperolok-olok pemberinya yang muslim itu: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia! Datang lagi orang bersedekah kepadanya, diumpat dengan kalimat kebencian yang sama: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia! Terus begitu, lidah kalau sudah begini tidak ada obatnya kecuali kematian.
Pada saat Kanjeng Nabi lewat, pasti nyambangi dia itu, bukan uang yang diulurkannya, tetapi beberapa biji kurma masak nan manis. Karena buta, si Yahudi ini tidak tahu kalau yang memberi itu orang yang dibencinya habis-habisan, sambil menerima buah kurma tetap meradang: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia, dan memberi bukan dirham namun kurma keras begini, nih kunyahkan dulu yang lembut baru aku makan.
Kekasih Allah ini tidak menampakkan raut yang marah, tetap tersenyum, walau di depan matanya orang menghina, lalu dikunyahkannya kurma itu dengan lidah sucinya, ludah cinta. Lalu Kanjeng Nabi mengulurkan tangannya untuk menyuapkan kunyahan kurma itu ke bibir kebencian. Drama seperti itu dilakukan beliau bertahun tahun, tanpa beban, bagai matahari, beliau berhadapan dengan lilin.
Sampailah pada suatu ketika,setelah Kanjeng Nabi wafat, tradisi indah itu diteruskan oleh Sayyidina Abu Bakar, perbedaannya Sayyidina Abu Bakar tidak mengunyahkan dulu ketika memberi kurma. Tambah meradang si buta itu: siapa engkau yang memberi kurma tidak dikunyah dulu dan tidak menyuapiku seperti biasanya? Aku, Abu Bakar--jawab sang khalifah. Lantas siapa yang tahunan memberiku kurma lalu menyuapiku dengan kelembutan itu--tanya si Yahudi. Sayyidina Abu Bakar menjawab itulah junjunganku Rasulullah....
Kebencian yang dibalas dengan cinta ini, menyebabkan si buta Yahudi lunglai segala sendinya, dengan gemetaran bibirnya dia bertanya: di mana dia sekarang? Sayyidina Abu Bakar menjawab: beliau sudah meninggal, tradisi indah ini aku teruskan untuk sedekah kepadamu. Air mata yahudi meleleh, bibirnya terkunci rapat, dia ingat kata-kata yang diucapkannya di depan beliau: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia ahli sihir, dia gila, jangan ikuti dia. Tangan yang gemetaran itu menggapai-gapai Sayyidina Abu Bakar: Wahai penerus cinta, Abu Bakar, kini tidak ada yang bisa menebus keburukan adabku, kecuali, kecuali, kecuali, kecuali, bimbinglah aku sekarang untuk mengucapkan kalimah syahadat, walau dia sudah tiada, aku akan ikuti jejak-jejak cintanya bersamamu, bimbinglah aku....
Kawan-kawan, kekuatan cinta seperti ini bagiku lebih berkesan kuat menghujam dihati manusia, dibanding--misalnya--pidato seindah apapun, prilaku beliau memiliki tetesan kata yang lebih tajam dari ketajaman lidah siapapun, apalagi lidahku, apalagi ludahku....
Jumat, 18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar