Sedulurku tercinta, kemaren aku ketemu dengan anaknya MBah Surip di Kenduri Cinta, lalu aku tanyakan kapan setahun wafatnya diperingati. Aku ketemu mBah Surip juga di KC ini, dua kali dia tidur di Pesantrenku, kala menyapa di Gambang Syafaat Semarang. Tentu ingat Mbah Surip, ingat ketawa dan ungkapan I love you full itu, ingat rambut gimbalnya yang ternyata wangi itu, ingat kesederhanaannya itu, ingat gitar kesayangannya itu, ingat lagu Tak Gendong itu, ingat lagu Bangun Tidur Tidur Lagi itu, ingat hapenya yang unik itu, ingat keikhlasannya dalam menghibur hati manusia itu, ingat lagu Alif Ba Ta Tsa Jim itu.
Aku dua kali mengunjungi gubugnya di kampung artis, tempat itu dijadikan warung tapi sangat unik, sebab warung swalayan, ambil sendiri bayar sendiri, termasuk pengembalian uangnya ambil sendiri. Orangnya sedikit tidur, kalau bepergian ngeloyor begitu saja, makan ala kadarnya, menyiratkan kedamaian, tetep sembahyang, dan lihatlah sendiri semua apa adanya.
Aku selalu menemukan titik momentum di Kenduri Cinta Jakarta, Mocopat Syafaat Jogjakarta, Gambang Syafaat Semarang, Padang mBulan Jombang, Bang-Bang Wetan Surabaya, ketemu beliau. Yang menjadi misteri adalah ketawanya itu, kalau aku rasakan itu ketawa dari dalamnya dalam hati, kalau tidak pasti cepat lelah ketawanya, ketawa dia itu abadi. Seperti semua kegiatan hidup kalau energi dari dalamnya dalam hati, menjadi tenaga tak bertepi, misalnya kerepotan dan pelayanan Ibu Theresia itu, atau Kiai-Kiai yang momong anak-anak kehidupan sedemikian telaten, atau jamaah Maiyah yang nglemprak dari sore hingga Subuh itu.
Aku sendiri ketawa itu justru tidak ketika menonton lawak, namun ketika menyaksikan hal-hal yang digelar Tuhan ini, semua menjadikan ketawa seperti ketawanya mBah Surip itu, ketawa cinta. Bagaimana aku tidak ketawa ketika produk polah pecicilanku menghasilkan anak sembilan itu. Bagaimana aku tidak ketawa ketika melihat bibir kemerah-merahan nan sensual, ternyata dibaliknya ternyata hanyalah gudal. Bagaimana aku tidak ketawa ketika kulit yang orang bilang mulus itu, ternyata dibaliknya hanyalah darah nanah dan kotoran (maaf, tahi) itu. Bagaimana aku tidak ketawa ketika bokong dieksplor dengan gaya ngecor, gaya ngebor, gaya patah-patah itu walau dibungkus pesona sutra sekalipun, dibaliknya ternyata hanya silit itu. Bagaimana aku tidak ketawa ketika payudara sebesar Dolly Parton itu ternyata indah dilihat namun yang punya sendiri punggungnya nyeri, karena terlalu menanggung beban di depan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika orang menyangka penderitaan itu kesengsaraan, ternyata dibaliknya adalah kegembiraan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika orang menyangka sebuah prestasi yang membanggakan, ternyata dibaliknya menjadi tiyang gantungan dirinya. Bagaimana aku tidak ketawa ketika dibalik kemenangan adalah kekalahan dan dibalik kekalahan adalah kemenangan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika merenung tentang nerakanya surga dan surganya neraka termasuk manisnya derita dan pahitnya kegembiraan. Bagaimana aku tidak ketawa ketika menyaksikan sendiri bagian yang semplempit kayak gitu bisa dilewati kepala manusia berulang-ulang.
Akupun ketawa kayak tawanya mBah Surip itu ketika aku menengok barangku sendiri, bagaimana aku tidak ketawa: ajaib, bisa mulur mungktret kayak gini.....
Hahahahahahhahahaha, I love you full, hahahahaha.....
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar