Selasa, 02 November 2010

Cermin Cinta

Sedulurku tercinta, prasangka baik itu landasannya, lalu mata kepala dan mata hati akan memandang semua ciptaan ini penuh pesona, dariNya itu. Mozaik semesta raya tentu ada dinamika, lika liku, pasang surut--mulur mungkret itu, belum susah senang malah terkadang kesedihan yang biasanya orang menyebut tragedi.

Musim alam mengajarkan akan adanya eksotika suasana dengan landasan bahwa perubahan itu sebagai "ketetapan", jadi hidup itu yang "tetap" adalah berubah ini. Makanya orang harus tenang setenang-tenangnya, bukan karena hidup tanpa masalah, namun kecerdasan mengatasi masalah itulah kuncinya ketenangan, lalu silahkan menatap musim-musim jiwa.

Misalnya orang merasa kehilangan karena disebabkan merasa memiliki, padahal hakekatnya manusia tidak punya apa-apa, bahkan ia hakekatnya: tidak ada, yang ada hanya Dia, Dia, Dia. Orang merasa berat akan tanggung jawab, pekerjaan menumpuk dengan berbagai jenis dan jumlah, yang semuanya ini biasa aku sebut goresan hidup. Namun bila kesadaran akan semua ini adalah wilayahNya, lalu hati pun bagai matahari memandang lilin-lilin itu, hatipun bagai samudra memandang sungai-sungai itu, dan manusia akan menemukan kemegahan dalam proses perjuangannya. Andai goresan ini berbenuk tragedi, sebenarnya itu cara Dia menyibakkan tirai-tirai hidup bagai Dia menyibakkan kelopak bunga teratai yang ternyata setelah terbuka bunga itu nampak bermahkotakan seribu bunga itu, indah kan?

Demikian juga manakala orang memandang semua ciptaan ini, dimana dunia ini bagai sebuah gunung, soal baik dan tidaknya tergantung suara hati manusia memekik itu. Dalam banyak kasus aku sering menerima keluhan-keluhan soal persuami istrian, dimana pasangan itu sebenarnya musti saling bercermin, ternyata banyak yang melakukan perjalanan cintanya dengan saling menuntut itu, bukan saling memberi dan menerima.

Maka dengan asumsi dasar di atas, mari disyukuri karunia yang ada ini, karena kadang perjodohan ini bukan kehendak kita tapi kehendakNya, makanya sebagian tanda-tanda kekuasaanNya adalah perjodohan itu, bagi yang mau berfikir. Bukankah dari sudut pandang ini, suami atau istri itu amanat: Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu. Apalagi yang perjodohan itu bagian dari kehendaknya sendiri, maka hal itu menyangkut tanggung jawab akan cintanya, jangan khawatir: siapapun yang berjalan dalam cinta maka ia akan selalu mendapat pertolongan, karena cinta itu percikan dari tetesan samudra cintaNya juga.

Aku pernah dikirimi foto sepasang suami istri, dimana suaminya sangat nggantheng dan gagah, sementara istrinya [amit sewu] buntung tak punya kaki, namun mereka begitu mesra dengan kedua anak mereka, dan tentu membayar dengan segala kerepotannya, serta suami itu tak malu menggandeng istrinya yang berladaskan papan beroda, atau menggendongnya kala menuju kemana-mana itu. Aku yakin suami itu memahami bahwa ia menjadi dutaNya dalam cinta yang bisa menjadi energi tak terhingga dalam pelayanan kepada istrinya dengan kesetiaan sepenuhnya. Aku melihat istrinya bisa tersenyum indah--menurutku--bagai senyum bidadari itu, indah, indah, indah.

Bukankah dimataNya, lelaki semacam itu menjadi saksi kasih sayangNya sementara perempuan itu menjadi saksi atas cintaNya juga, mereka saling bercermin--cermin cinta.

Berbeda dengan sang Sultan yang memandang Layla hanya sebatas barang dan tubuhnya, sementara ia tak melihat Dia yang sangat cantik, tersembunyi di hati Layla itu sehingga Layla menjadi merana di istana, bagai Ledy Diana itu yang merasa kerajaan bagai penjara bagi dia. Malah si Qois, walau bukan suaminya melihat dengan hatinya akan kecantikan Layla, sampai dia tergila-gila. Dalam kegilaan cintanya: ia tahan tidur, tahan lapar, tahan kehujanan dan kepanasan sampai goresan hidup apapun musnah di altar cintanya pada Layla. Sampai sajak-sajaknya bila didendangkan di waktu malam yang diterangi cahaya rembulan, bisa masuk dalam mimpi-mimpi Layla, dan Layla tahu itu, ada seseorang yang mencintai hatinya bukan tubuhnya.

Bahkan saking kangennya,Qois [si majnun itu] begitu ingin menatap wajah yang sangat amat dicintainya, biar tenteram hatinya, maka ia menunggu di pintu gerbang rumah Sultan itu sampai mengesampingkan waktu sudah berapa lama dia disitu. Ternyata saat pintu gerbang terbuka yang keluar bukan Layla, tetapi seekor anjing kurap, maka pada saat itu ia menggesa dengan bendendang puisi ria: Wahai Layla,betapa lama aku menunggu ingin menatap wajahmu, walau sekejab saja, aku sudah puas dan terima, namun yang keluar dari rumahmu ternyata anjing kurap ini, walau seburuk apapun anjing ini toh keluar dari rumahmu, maka akan aku cium dia, barangkali anjing ini pernah kau sentuh dengan tangan lembutmu.....

Kawan-kawan, metafor ini cukup kiranya menyadarkan kita akan keelokan sentuhan tanganNya, yang berwujud suami atau istri itu, sayangilah dia, cintailah dia, rengkuhlah dia, dekaplah dia biar hangat tubuh dan hatinya, biar tersenyum dia, maka Dia akan tersenyum kepadamu. Jangan kecewa, kalau dia kurang pandai memasak mungkin dia pandai merayumu, kalau dia kurang bisa mengurus apa-apa mungkin bisa kau pandang kecantikannya, kalau [punten] dia kurang cantik mungkin bisa kau rasakan dahsyat apanya [hahaha], kalau dia kurang sayang mungkin bisa kau buktikan bahwa dia sangat subur [alias metengan itu] sehingga permata hatimu banyak itu, kalau dia kurang apanya tetapi ia sangat rajin dan setia dan carilah sendiri kebaikannya sampai hilang keburukannya.

Dari sinilah Kanjeng Nabi berpesan: Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain....

Selamat Berbahagia kawan!!!

Akhirat Cinta

Sedulurku tencinta, semenjak kecil aku diperdengarkan bahwa akhirat itu kekal, setelah tua ini aku ditunjukkan bahwa kekekalan itu bukan bentuk kenyamanan dan kebahagiaan yang mandeg atau statis itu. Kemudian keterangan tentang surga ternyata dikabarkan tentang bidadari, buah-buahan dan gemericik air sungai-sungai yang biasanya aku sebut kurnia itu. Dan neraka adalah tempat dimana Dia menyucikan hamba-hambaNya dari kesalahan-kesalahan itu.

Dunia ini yang "tetap" adalah perubahan--kata pemikir Iqbal, maka perubahan sebagai sesuatu yang permanen [abadi] merupakan pemahaman tentang perjalanan misteri yang tak bertepi ini. Akhirat lebih baik dari dunia ini, juga menunjukkan makna perubahan yang tetap itu, bagai gelombang samodra yang terus bergerak itu. Kemudian tentang manusia yang dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan telanjang dan dalam betuk sesuai dengan amalnya, mengindikasikan tentang kelahiran-kelahiran kehidupan ini. Kemudian padang mahsyar merupakan suasana dimana manusia akan dikumpulkan menurut kelompok-kelompok atau rombongan-rombongan menurut yang mereka cintai ini. Setelah itu akan ada timbangan yang akan menentukan surga neraka manusia itu.

Dari sudut ini aku pernah membaca keterangan Kanjeng Nabi bahwa ada suasana surga yang diturunkan di bumi dan ada suasana neraka yang diturunkan di bumi, bahkan Allah menyatakan dalam Al-Qur'an: bagaimana kamu bisa tidak percaya kepada Allah, tadinya kamu mati dihidupkanNya, lalu dimatikanNya, lalu dihidupkanNya kembali, hanya kepadaNya lah tempat kamu sekalian kembali.

Kalau orang memahami bahwa Tuhan juga ingin dikenal, dengan bentuk nyata tajalliNya ini, tentu berkaitan juga dengan pernyataanNya: semua yang tercipta tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang salah dalam semua ciptaan ini. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa hari-hari perhitungan dan surga maupun neraka terjadi dalam perjalanan abadi ini, dalam bentuk siang malam dan langit bumi, semua serba simbolik dan tentu perlu dicermati essensi atau hakekatnya itu. Rumi juga menyatakan bahwa manusia [kita] telah mengalami jutaan kematian dan jutaan kelahiran itu, menujuNya.

Ketika aku melihat tragedi, tentu ada empati dalam diriku namun dalam pemahaman bahwa tidak ada yang salah dalam dunia citaanNya itu, aku lalu memahami bahwa tragedi itu sekecil apapun dan sebesar apapun itu sebagai "neraka" yang bernuansa sebagi tebusan atas kesalahan-kesalahannya--yang aku tidak tahu secara kemenyeluruhan hidupnya, hanya Dia yang Maha Tahu itu.

Sebaliknya manakala manusia mengalami suasana Taman Kebahagiaan yang disebut "surga" itu bagian dari penghargaan atas amal-amal baik sebelum kehidupan sekarang ini, makanya kalau sekarang manusia sembrono atas karunia surga itu maka akan terhisap pada akhirnya pada traveling hidup berikutnya dengan apa yang disebut "neraka" itu.

Makanya kalau aku melihat orang gila dengan membawa sampah-sampah, aku terbayang kehidupan sebelumnya ia sebagai orang kaya yang tidak mendermakan hartanya, sebagian itu. Kalau aku melihat orang buta, terbayang bahwa boleh jadi ia sebelumnya tak mengenal Tuhan itu, atau kebiasaannya melihat kemaluan dirinya atau kemaluan orang lain itu. Kalau aku melihat pejabat yang tidak adil dan korupsi, terbayang olehku, itu merupakan "tiyang gantungannya" sebab sebelumnya ia tidak amanah itu.

Kalau aku melihat orang membayar tragedi sekarang, aku yakin mereka akan memiliki kehidupan di Taman Kebahagiaan di akhir nanti. Kalau orang dicipta bisu, boleh jadi merupakan indikasi ketika hidup sebelumnya ia suka mengktitik orang lain dengan sesuka-suka menurut egonya itu. Kalau rumah tangga tidak harmoni, ada indikasi boleh jadi diantara mereka sebelumnya suka menyakiti suami atau istrinya itu. Kalau ada yang cacat fisiknya [misalnya, amit sewu, apa saja bentuknya] ada indikasi sebelumnya ia telah berbuat aniaya kepada sesamanya itu....

Kawan-kawan, kalau sekarang engkau semua empati dan peduli membantu orang-orang yang menebus kesalahan-kesalahannya, itu bagian dari keindahan hidupmu yang memberi pertolongan atau "syafaat" itu. Dan aku yakin, hidupmu di akhir yang sedemikian terus, maka engkau akan menikmati suasana surga abadi, namun bagi yang tidak rela atas perhitungan di dunia ini, boleh jadi ia akan mengalami suasana neraka abadi.

Dari abstraksi ini, menjadikan aku harus selalu melihat diriku sendiri: keburukanku, kebodohanku, kehinaanku, kemalasanku, kebakhilanku, kesombonganku, ketidak adilanku, dan seterusnya agar memperbaiki diri, sebelum di akhirat nanti, agar nerakaku tidak abadi. Kemudian aku hanya melihat kebaikanmu semua kawan, aku membayangkan diperjalanan nan abadi ini memiliki anugrah mata yang indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, yang memiliki tatapan mata Cinta...

Sekarang kita ternyata dalam pengadilanNya, dan alangkah naifnya itu orang-orang yang mengadili orang lain yang sudah kuyup dalam perhitunganNya ini, kini gemetar segenap sendi tulangku, aku menangisi tragedi orang lain sebagi tangis kasih sayang, dan aku menangisi diriku sendiri atas aib-aibku ini, ampuni aku ya Rabb, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku....

Sujud Cinta

Sedulurku tercinta, ketika sujud Kanjeng Nabi mengingatkan untuk nambahi do'a-do'a lain, karena sujud merupakan puncak kehambaan bagi manusia, dimana kepala diletakkan pada posisi dibawah tumit, ini menunjukkan kerendah hatian manusia sementara hatinya mendongak ke langit melintasi ketinggian derajat malaikat megetuk Arsy Tuhan.

Ketika aku mendengar kabar mBah Marijan meninggal dunia di dapur dalam posisi sujud ketika panggilan Cinta datang menjelang, siapapun jadi cemburu pada beliau untuk menginginkannya manakala panggilan Cinta tiba--termasuk aku. Bukan saja cemburu, tetapi malu karena banyak manusia sujud, bukan saja ribuan mungkin jutaan sampai "bathuknya" ada atsarissujud namun mereka tidak menemukan panggilan Cinta itu pada posisi sujud itu.

Walau beliau sujud tersungkur di dapur, bukankah bumi ini masjid sebagaimana sabda Kanjeng Nabi itu, maknanya bumi ini merupakan sajadah nan luas bagi manusia yang bersimpuh hatinya kepada Sang Khalik itu. Kalau sujud sebagai puncak dari kehambaan, maka hal yang musti disadari sebagai hamba adalah taat kepada Tuhan itu. Karena Tuhan itu memiliki sifat qiyamuhu binafsihi, dimana Dia berdiri sendiri--terangnya--tidak membutuhkan makhluk.

Cuma ada rumusan dimana manakala kehambaan itu diekspresikan dalam bentuk sujud itulah. Sujud secara bentuk bisa kita lihat sebagaimana dalam shalat, atau sujud-sujud yang lainnya semisal sujudnya mBah Marijan itu. Sementara sujud secara essensi terekspresi dalam pelayanan kepada milikNya ini semua--secara ikhlas. Dari sisi sujud kedua inilah aku melihat sujud Cinta ada dimana-mana, misalnya: petani yang setia menggarap sawah ladangnya, pelaut yang mengarungi samudra menjemput karunia atau petani tambak itu, tukang sol sepatu sandal yang mengais rejeki untuk keluarganya ala kadarnya, seorang guru yang telaten mncerdaskan anak-anak bangsa semisal Ibu Muslimah dalam kisah Laskar Pelangi itu, tukang becak yang selalu terjaga demi sesuap nasi keuarga sampai cilupba dengan satpol PP itu, bakul-bakul blanjan yang menelusuri gang-gang kampung dan lorong-lorong kota, penjual pecel atau sate yang membawa dagangannya dengan di"sunggi" di atas kepala sambil nenteng bawaan lainnya bagai akrobat itu, tukang pemungut sampah atau tukang sapu jalan kota yang bangun dini hari di tengah nyenyaknya orang-orang bermimpi, pengamen-pengamen yang bersahaja dalam asa dan cita asal dapur ngibul saja mereka sudah menemukan bahagia, kiai-kiai yang menghabiskan umurnya menemani umat dan masyarakat disamping momong anak-anak kampung itu dalam dekapan hangat akan cinta, dan lain sebagainya dengan ribuan bahkan jutaan gerak hidup, yang satu dengan yang lainnya saling bermatarantai dalam saling melayani secara setia dan ikhlas.

Andai mereka meninggal dalam perjalanan melayani itu, maka sama halnya dengan mBah Marijan dengan gagah berani menyongsong maut menjemput dengan bersujud itu, dan mati mereka adalah syahid ganjarannya--syahid Cinta....

Kawan-kawan, dalam menumbuhkan kehidupan selalu dibutuhkan bentuk dan essensi, dimana--kata Rumi--isi tanpa kulit tak akan bisa tumbuh, kulit tanpa isi tak akan bersemi. Dalam keberagamaan memiliki nuansa yang sama, bila beragama hanya kulitnya saja maka akan melahirkan kekosongan jiwanya, tetapi manakala beragama hanya isinya saja maka ia tidak akan melahirkan pesona hidup berbagi dan bertentangan dengan misi kekhalifahannya di bumi ini.

Bagi mBah Marijan jelas Cinta telah beliau tunaikan kedua-duanya: cinta kepada sesama makhluk beliau tuntaskan di lereng Merapi, cinta kepada Tuhannya ia puncaki kematiannya dalam posisi bersujud itu....

Selamat jalan mBah Marijan, seberkas cahaya Cinta telah kau tebarkan dan menjadi kesaksianmu itu....

Syirik Cinta

Sedulurku tercinta, simaklah kata-kata ini: Tradisi adalah agama! Begitulah yang berlaku di tengah masyarakat kita, begitu banyak "amalan-amalan" yang diatas namakan agama namun setelah diteliti ternyata tidak ada yang asal-usulnya adalah dari agama, amalan-amalan itu tak lebih hanyalah tradisi yang sudah mengakar dan mendarah daging di tengah manusia, manakala berusaha diluruskan mendadak, mereka akan menunjukkan reaksi seolah-olah telah melanggar sebuah ritual yang sangat sakral, kompensasinya dikucilkan dan dijauhi masyarakat, realitas di atas banyak kita jumpai saat ini, menjamurnya amalan-amalan antah brantah ini menimbulkan keprihatinan kita, apalagi sebagian dari amalan-amalan tersebut kebanyakan berbau syirik!

Orang yang bilang ini menyebut selainnya tetep menganggap saudara, kata-kata menghakiminya ini mereka sebut sebagai nasehat, dengan cara: menuduh pihak saudaranya dengan argumen dalil-dalil, sementara dalil-dalil saudaranya dituduh palsu dan lemah, dalil mereka yang shoheh, memakai hadis palsu dan lemah sama artinya berdusta atas nama bagi Nabi saw. Berdusta atas nama Rasul adalah perbuatan haram yang dilarang dan termasuk dosa besar, apapun alasannya, apakah untuk memancing orang supaya giat beramal ataupun yang lainnya, tambah lagi hal itu sebagai kebohongan terhadap Allah, semua menyesatkan manusia, maka amalan itu menyiapkan tempatnya di neraka.

Aku sangat salut kepadanya atas nasehat [katanya] ini, betapa mereka sangat memiliki kepedulian kepada saudaranya sesama muslim ini sampai menyita waktu hidupnya, demi saudaranya--katanya. Tetapi [mohon maaf] mereka melupakan adab sopan santun dalam mu'amalah kemanusiaan ini, dimana seharusnnya mereka melihat dirinya supaya mereka melihat Tuhannya dan kemudian memiliki keluasan pandangan, tetapi justru mereka memakai dalil-dalil Tuhan [bukan untuk melihat dirinya] yang belum sempurna itu, tetapi menghakimi saudaranya yang sama-sama ingin menuju kesempurnaan iman itu.

Ketika menghakimi, dengan demikian menjadi tanda bahwa dalam jiwanya yang ada hanya "kuasa", bukan kerendah hatian itu. Ranah kuasa itu wilayah ego, yang pada ujungnya akan mengemuka dikenal dunia, bukan dikenalNya, mereka ingin menang dan juara diatas jeritan derita saudaranya, yang sebenarnya mewujud sikap ananiyah atau ke"aku"an itu. Memang mereka menghadap kiblat, pegangannya Qur'an, busananya bagus, rajin beribadah dan tidak menyembah berhala atau tidak syirik itu, namun ketahuilah [kalau boleh aku berpendapat] bahwa mereka itu menuduh syirik tetapi melakukan syirik juga, dalam bentuk nyata merasa ke "aku" annya itulah hakekat keberhalaan dalam hatinya itu.

Sementara dalam satu sisi ada yang jiwanya selalu mencari, sehingga tidak sempat menghakimi kedirian orang lain dalam menuju kesempurnaan iman itu, karena Tuhan telah menyodorkan adab sopan santun dalam proses kerinduan kepadaNya itu: bagimu agamamu, bagiku agamaku, bagimu amalanmu, bagiku amalanku. Apa salah orang ketika melihat "ciptaan"Nya [apa saja] lalu karena keterpesonaannya sudah menjadikan hatinya luruh, ambruk dan lembut, kemudian menjaga moralitas kebersamaan kemakhlukan ini? Itulah syirik Cinta.

Andai salah bukankah resiko kedirian itu akan dipertanggungjawabkan sendiri dihadapanNya itu? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak mnghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bagi yang pongah adab sopan santunnya, bisa menyimak kata-kata Rumi: penyembah berhala dengan tingkat kegairahan "mencari" itu lebih baik daripada bersimpuh di masjid tetapi merasa sok suci atau benar sendiri.

Atau misalnya, seorang perempuan tawanan perang yang menceritakan kebaikan ayahnya, yang menunaikan Cinta dalam bentuk pelayanan sosial, namun dia belum beriman secara formal, ternyata Kanjeng Nabi menyatakan: ayahnya itu besok di akhirat termasuk orang yang dekat dengan Allah, padahal ayah itu dalam tanda pethik--masih kafir itu….

Kawan-kawan, dalam kafilah hidup ini, sebagai anak-anak cucu Adam kita harus menyadari bahwa manusia sama-sama dalam menujuNya dan menatapNya, tidak selayaknya secara adab saling menghakimi satu sama lain karena masing-masing kita berjuang dalam proses menujuNya itu. Aku tidak putus asa atas ini semua, di tngah puing sejarah sekalipun, aku tetap berharap bahwa drama agung kehidupan ini sebenarnya bagian dari kehendakNya, dimana Adam diturunkan ke dunia menjadi tujuanNya, supaya "nggendong" seluruh anak-cucu Adam untuk kembali ke surga itu lagi, surga akan di huni bersama sesuai dengan amalnya masing-masing, andai kita lihat kejahatan dan kesalahan, tetap kita beramar makruf nahi mungkar dengan ketulusan tanpa dicampuri ke"aku"an yang hakekatnya, keakuan itu adalah keberhalaan itu sendiri, yang nyata.

Atas CintaNya yang suci, kejahatan dan kesalahan akan ditataNya dengan kehalusan tanganNya, menuju kesucian mereka. Kejahatan dan kesalahan musti diganjar dan dihukum--coba pikirkan kembali--firmanNya: marahKU kalah oleh cintaKU, maknanya kesalahan dan kejahatan yang sering menjadi bahan olok-olokan itu sebenarnya akan dimaafkan Tuhan, namun apakah diri ini akan berkelas dimaafkan, bukan berkelas dirindukan itu....

Punten, wallaahua'lam bishshowab....

Kalau Cinta

Sedulurku tercinta, ada dua puluh jenis bahaya mulut atau lisan, seandainya orang menyadari effeknya yang teramat buruk dunia akhiratnya, maka orang akan memilih diam sebenarnya daripada tidak bisa omong yang baik. Semula dari seseorang lalu menjadi beberapa orang kemudian menjadi kelompok orang atau gerombolan orang--yang bahasanya arabnya Majlis atau Jama'ah atau apa sajalah namanya, itu kan hanya "aran" atau nama, tetapi effek mulut atau lisannya itu [apalagi dibantu alat radio, tv dan sarana yang lain] ternyata merambah sedemikian dahsyat buruknya, di kampung-kampung, di desa-desa dan kota-kota itu.

Tali-tali kebudayaan banyak yang putus, aku sebut tali kebudayaan karena wilayah yang diharam-haramkan atau dibid'ah-bid'ahkan atau ditakhayulkan atau dikhurofatkan ini [misalnya slametan, tahlilan, manaqiban, istighatsahan, mujahadahan, maulidan dan shalawatan dan sebagainya] adalah wilayah mu'amalah [interaksi sosial] yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw [antum a'lamu biumuuriddunyakum] itu.

Kebudayaan itu seni hidup yang terbangun oleh interaksi sosial antar manusia, individu maupun kelompok sehingga negara pun tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan, karena memang kebudayaan itu representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive, inovatif dan kreatif. Makanya intervensi gerombolan dengan mengatas namakan agama ini menjadi sangat primitif sikapnya, interaksi sosial yang memethik wewangian dari ajaran-ajaran menjadi bubar, jagong menjadi perdebatan yang tidak ahsan, hal ini mereka tidak menyadari efek dari mulutnya [jawa kasarnya: cangkeme].

Kalau mereka Nabi dan Rosul, sudah sepantasnya menuding-nuding dengan Cinta itu, kalau mereka itu keluarga Nabi aku sadari kesuciannya itu, kalau mereka sahabat Nabi aku akui adab sopan santunnya itu, kalau mereka tabi'in aku fahami ketawadlu'annya itu, kalau mereka tabi'ittabi'in aku acungkan jempol amaliyahnya itu, kalau mereka Imam-imam aku sukai karena kewira'iannya itu, kalau mereka wali-waliNya aku dekap karena pelayanan Cintanya itu, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau.

Ternyata kalau ditelusuri mereka seperti aku: bodoh dalam banyak hal, seandainya tahu itupun sedikit dari sedikitnya hal atau percikan dari percikannya ilmu. Mustinya mereka lebih baik seperti anak-anak kecil yang besar ingin tahunya bukan memberikan fatwa karena masih banyak yang belum dikuasainya itu [biso rumongso bukan rumongso biso]. Dengan memberikan fatwa pada wilayah mu'amalah ini berarti kata-kata mereka melebihi kata-kata Kanjeng Nabi itu, teramat buruk bagai suara khimar itu--sabda beliau.

Lain soal kalau mereka menasehati dalam teritorial mahdhoh [ritual: shalat, puasa dan haji dan sebagainya] bila ada yang tak sesuai dengan contoh baku dari Kanjeng Nabi itu, itu pun bentuknya saling menasehati, kalau debat pun harus dengan cara yang baik, bukan memperolok-olok dan menghina-hina satu sama lain....

Kawan-kawan, kalau sikap yang tak bersahabat itu terus dilakukan pada hakekatnya di dadanya tak ada Cinta, yang ada hanya kuasa bagai Fir'aun itu, dimana pada ujungnya bukan Tuhan bermahkota di hatinya, tetapi egonyalah yang menjadi raja di hatinya, inilah bentuk berhala abstrak yang seandainya mereka sadari, bukan mereka jijik kepada orang lain tetapi mereka akan jijik dengan dirinya sendiri karena merasa benar sendiri, merasa suci sendiri namun hatinya penuh dengan berhala-berhala abstrak yang berbentuk sifat-sifat tercela itu, efek sikapnya akan nyata di dalam kehidupan: bikin onar, kekerabatan masyarakat hancur, peguyuban kebudayaan musnah.

Kalau manusia punya hati, ketahuilah masyarakat juga punya hati, dan hatinya masyarakat itu adalah kebudayaan sebagai seni hidup atau the art of living ini yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw: kamu lebih tahu tentang urusan duniamu. Walau ini level keduniaan, bukankah semua ini tergantung niatnya itu. Beliau mengajarkan: Banyak amalan yang nampaknya amalan akkhirat tetapi dengan niat yang buruk ujungnya menjadi amalan duniawi semata, tetapi banyak amalan yang nampaknya amalan dunia tetapi dengn niat yang baik, maka akan menjadi amalan akhirat....

Punten, wallahua'lam bishshowab....

Gagasan Cinta

Sedulurku tercinta, do'a sapu jagad: Wahai Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan dunia dan berilah kami kebahagiaan akhirat dan jauhkan kami dari siksa neraka, ternyata memiliki sebuah gagasan yang sangat besar tentang Cinta, dimana do'a ini sebagai inti ibadah membutuhkan dua hal seketika: keintiman dan tawa.

Keintiman bisa difahami sebagai kesempatan menikmati kehadiran Dia yang dicintai, sementara tawa sebagai manifestasi menemukan kenikmatan di dunia tempat kita berbagi. Keintiman membawa konsekuensi cinta Ilahi bahwa semua menjadi terfokus pada satu arah, yang berkonsentrasi kepada Tuhan semata, mencari Dia semata, merindukan keintimanNya, maka ujung hasilnya bisa dirasakan: seolah-olah telah menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatinya, dan harta itu telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai bernama"Cinta". Mata mereka ini "melihat" sesuatu, sesuatu itu melepaskan dari diri mereka dan semua kekuatan dikembalikan kepada Dia, Dia, Dia, Dia.

Hal ini misalnya Nyai Rubi'ah mengatakan dalam mimpinya ketemu Kanjeng Nabi, beliau bertanya apakah dia mencintai beliau, lalu dijawab Nyai Rubi'ah: siapa yang tidak mencintaimu, begitu besar aku mencintaimu, tetapi hatiku begitu total terbawa oleh cinta Tuhan sehingga tak ada tempat untuk cinta atau kebencian kepada yang lain, cinta Sang Khaliq menjauhkan dari cinta makhluk-makhlukNya.

Inilah keintiman hati atas kehadiranNya itu, hal ini bisa ditemukan setiap orang [cuma sayangnya] manakala manusia menemukan kesusahan dan itupun hanya sesaat saja, ya sesaat saja, sebaiknya justru ketika manusia menemukan kegembiraan kurnia ini mustinya menyeret hati pada titik keintiman itu, kalau bisa senantiasa karena mana sih nikmat Dia yang bisa didustakan ini? Mana? Mana? Mana?

Semua mengabarkan tentang Dia, dan Dia punya "pelapor" dimana-mana ini, sampai ada yang mengatakan: tidak ada sesuatu pun dibalik jubahku selain Allah, perkenalkan aku sebagai: "Bukan siapa-siapa putra dari bukan siap-siapa." Ada juga yang mengatakan: Aku melihat semua keindahanMu, ketika aku buka mataku, seluruh tubuhku menjadi hati yang bercakap denganMu, aku menganggap haram untuk berbicara dengan yang lain, ketika pembicaraan beralih kepadaMu, aku berbicara panjang lebar.

Hal ini bisa dirasakan ketika melihat keajaiban-keajaiban, lalu melahirkan ketakjuban-ketakjuban, sampai pada akhirnya terkatub bibirnya saat-saat sekaratul maut--di hari kematian. Sebelum sampai pada hari kematian itulah, permata yang tak ternilai yang bernama Cinta harus ditebarkan, bagai benih dalam gudang harus ditanamkan, di ladang akhirat yang bernama dunia ini. Dengan semangat hati yang terbakar oleh cinta akan melahirkan sikap sayang kepada semua milikNya, dengan ini akan menjadi tenaga tak terhingga yang menghapus segala derita dan kelelahan dalam pelayanan, sampai pada titik mengabaikan kebajikan dirinya dan merelakan ketidak adilan orang, sampai pada puncaknya: sungguh kafirlah dirinya bila melakukan perlawanan, karena semesta dengan segala isinya adalah manifestasi dari WajahNya itu.

Di dada orang yang terbakar api Cinta ini, sikapnya akan spontan dan Cinta adalah sesuatu yang muncul sendiri, ia tidak diajarkan, makanya Kanjeng Nabi menyatakan: Hai manusia lakukan apa yang bersuara di dhamirmu itu. Pada sisi yang lain beliau menyatakan juga: barangsiapa yang mengetahui akan dirinya maka ia akan mengetahui siapa Tuhannya itu. Kalau sudah sampai disini orang akan menjadi berani mencari "kesyahidan" hidupnya, dimana kesyahidan dalam Cinta adalah syahid yang lebih mulia, makanya manakala orang yang mati didalam keasyikan pelayanan itu matinya adalah "syahid".

Kemudian kita simak penyataan kekasih Allah itu: Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang hidupnya lebih bermanfaat bagi sesama manusia, atau sebaik manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi sesama manusia, bahkan pekerjaan yang paling dicintai Allah adalah pekerjaan yang manakala diselesaikan bisa membikin orang lain senang, cintailah apa yang di bumi pasti yang dilangit akan mencintaimu....

Kawan-kawan, ketika aku menemui tukang ngamen di bus dan aku tanyakan untuk siapa, ternyata mereka menjawab: untuk dapur keluarga bisa ngibul itu, ketika aku tanyakan kepada sopir-sopir mereka menjawab: untuk anak-anaknya, ketika aku tanyakan kepada, kepada, kepada siapa saja mereka menjawab untuk keluarganya, untuk keluarganya, untuk keluarganya.

Aku menemukan Cinta dimana-mana, aku menyaksikan Cinta kapan saja, aku tidak melihat kejahatan, aku tidak melihat keburukan, aku tidak mendengar kata-kata jahat dan buruk, aku melihat semuanya baik-baik saja karena Dia menyatakan: tidak ada yang salah dalam dunia ciptaan ini, semua bertasbih. semua bertasbih, semua bertasbih, semua bertasbih...

Aku pandang dan aku dengar dan aku taat padaMu, Duh Gusti….

Kamis, 21 Oktober 2010

Benih Cinta

Sedulurku tercinta, betapa soal kegigihan dalam melibatkan diri kepada pekerjaan itu amat penting--bisa di sebut kesetiaan. Dalam drama agung kehidupan, manusia paling banter bisa mengambil satu peranan dalam ladang akhirat ini, ya mengambil satu peranan.

Banyak para guru sufi memiliki pekerjaan sebagai penghidupan mereka: tukang sol sepatu, memintal kain, berdagang dan lain sebagainya. Kemandirian adalah kuncinya, mereka tidak bergantung kepada siapapun kecuali memethik dengan segar rizki dari Allah. Misalnya seorang mistikus Abu Huseyn Nuuri: Setiap pagi dia berangkat dari rumah menuju tokonya, dan membeli beberapa iris roti di tengah jalan, dia memberikan roti itu sebagai sedekah, kemudian pergi ke masjid tempat dia menunaikan shalat sampai tiba shalat dhuhur, dia akan pergi dan membuka tokonya sementara masih berpuasa, para saudagar lain menganggap bahwa dia telah makan di rumah, sementara orang rumah menganggap dia sudah makan di pasar, dia dua puluh tahun melakukan jalan [lelaku] ini, dan melakukan pekerjaan itu.

Kisah ini bisa menebar wangi dalam bentuk: keterlibatan dalam sebuah pekerjaan, menghindari kemalasan dan pengangguran. Disamping itu sikap ini juga membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung perkembangan kualitas-kualitas manusia di antara saudara mereka, mereka menjunjung tinggi cita-cita yang amat luhur ini--berbagi itu.

Misalnya ada kisah lagi: ada seorang Waliyullah Ma'ruf Al-Karkhi mengumpulkan buah kurma, pekerjaan ini dilakukan hanya karena beliau melihat seorang anak menangis [anak yatim-piyatu], padahal hari itu hari raya, dimana semua anak diberi baju baru, sementara dia tidak, anak-anak yang lain bisa main kelereng sementara dia tidak, lalu Kiai Ma'ruf itu mengumpulkan buah kurma itu untuk dijual, untuk membelikan kelereng agar anak yatim-piyatu itu dapat bermain, sehingga dia tidak menangis lagi.

Ada lagi, biasanya dilakukan oleh santri "ndalem" [santri yang ikut di rumah Kiai]: tadinya anak orang kaya, ilmu punya, praktek spiritual sudah, meditasi sudah namun dia butuh mengalami terlepas dari semua itu, maka salah satu "jalan" dia adalah melakukan pelayanan kepada Kiainya itu--mengabdi, mulailah dia melakukan tugas pribadinya untuk membersihkan kamar mandi, memasak, mencari kayu bakar, belanja, bertani dan sebagainya, dimana dia melakukan dengan gigih dan ikhlas, dia menjadi terbiasa melakukan itu semua dan menyadari keberartian ruhaniyahnya, bahkan untuk kebutuhan Kiainya dia jual serbannya, jual sepatu mahalnya, jual kain bordir jubahnya, ketika ayahnya melihat dia seperti itu bertanya: Nak, putraku apa maksudmu dengan semuanya ini? Anak itu menjawab: lihatlah aku Ayah, tetapi jangan tanyakan tentang semua ini!

Malam ini juga ada kisah menarik dan menakjubkan, seorang anak yang kemaren aku kirim sajak lewat Kang Budi Santoso saat dia berulang tahun, namanya Nurul binti Awi Tasripin, dia membahasakan cinta yang telah ditunaikan, telah dibayar, aku melihat gambar fotonya nampak sedemikian semeleh hatinya bagai sosok seorang ibu yang santun [lihatlah sendiri fotonya], aku membayangkan dia punya perkataan yang halus, sikap yang menyenangkan, air muka yang gembira, sifat derma, toleran, sikap memaafkan bahkan rela mengabaikan kebajikannya [ciri keikhlasan], bahkan aku yakin ia akan punya cinta yang universal, amin….

Kawan-kawan,bacalah goresan jiwanya dalam tulisan yang amat sangat indahnya ini:
Setiap hari jaga adikku Shofa
Dan membantu Ibuku jam 12.00
Aku pulang sekolah jaga adikku lagi
Pantang menyerah itulah hidupku sehari-hari
Nurul, 20/10/10

Karena dia masih kecil, maka aku sebut bibit, dan karena cinta yang telah ia tunaikan seindah itu maka aku sebut bibit Cinta, dimana setiap orang tua memiliki harapan dan cita seperti itu, cita-cita adalah bagai benih itu dalam tanah, tumbuhnya hanya menunggu seiring musim, maka ia akan menjelma Cinta, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah….

Selasa, 19 Oktober 2010

Sambal Cinta

Sedulurku tercinta, aku sering kedatangan seorang suami yang mengeluhkan istrinya, sampai ada yang stres karena ketidak-kuatan atas kemegahan istrinya dari sisi "ngomel"nya itu. Selalu aku sarankan: jangan bercerai, karena cerai itu perkara halal yang dibenci oleh Allah itu.

Lalu aku kisahkan tentang singa padang pasir Sayyidina Umar, dimana beliau walau punya kuasa sebagai khalifah dan suami, tetapi tetap rendah hati dengan fakta: beliau selalu kuat mendengar istrinya yang super ngomel itu. Aku tidak kaget kekuatan beliau ini karena pancaran cintanya Kanjeng Nabi saw membungkus diri beliau sehingga merelakan semua kejadian menggores pada dirinya.

Akupun bilang kepada para suami itu, seburuk apapun ocean burung-burung, semua adalah kreasi Allah yang sangat Indah. Seorang istri adalah amanah dari Allah, apalagi yang sering aku sebut bahwa wanita adalah bayang-bayangNya, dengan kesaksian: dari rahim wanitalah manusia sejagat ini lahir, sehingga siapaun lelaki yang meremeh-remehkan wanita maka ia akan menemukan kesulitan dalam proses menatap jamaliyahNya.

Dalam kehidupan sudah pada galibnya, suka duka, pahit manis, berat ringan, jauh dekat, sehat sakit dan seterusnya itu, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Kalau boleh di andaikan dunia ini adalah sebuah gunung, siapapun yang berteriak buruk, maka keburukan itu akan mengenai diri yang berteriak itu, demikian juga manakala teriakannya merdu maka kemerduan itu akan kembali ke diri mereka juga.

Orang mengira kehidupanku ini serba berkecukupan, ke sana ke mari diundang orang, ada uang ada makan enak melulu, tetapi kehidupan selalu punya kesamaan-kesamaannya, terutama diomeli istri itu, bahkan banyak suami yang gagah di kantornya tetapi habis riwayat manakala masuk rumahnya, seperti Sayyidina Umar itu. Banyak juga Kiai yang bagai singa podium saat di pengajian, namun punya nasib yang mengenaskan di depan Bu Nyai itu. Bukan Kiai tak bisa melawan, tetapi ittiba' kepada Sayyidina Ali itu, rata-rata mengalah, mengalah, mengalah, mengalah dan mengalah.

Mengalah itu aslinya meng-Allah, dimana goresan hidup selalu diprasangkai sebagai kado temanten dariNya, dimana kala dibuka isinya ternyata sekuntum bunga teratai yang bermahkotakan seribu bunga, artinya setiap ketidaksukaan suasana hati itu dipahami pasti ada hikmah agung di baliknya, pasti itu. Apalagi seperti aku ini banyak kelemahan dan kesalahan, dimana: hidupnya tidak pomah [selalu melayani panggilan pengajian--punten--tanpa transaksi], melek malam sudah pasti [maaf, sampai jarang kumpul malam, hehe], uang di mataku aku pandang uang manakala aku sedekahkan, kalau tidak aku merasa hanya menumpuk kertas, aku biasanya tak mau menunda besok pagi, dengan asumsi: iya kalau umurku nanti sampai besok pagi itu, belum kesalahan dan kelemahan yang lainnya. Maka, aku merelakan andai istriku marah atau ngomel seperti yang dialami oleh para suami yang berkonsultasi itu, tetapi nasib itu tidak selamanya, bahkan aku pahami sebagai derita yang melahirkan keterjagaan hatiku.

Pernah pada suatu ketika, istriku muring2 [ngomel melulu] dengan orkresta komentar, tetapi aku dengar dengan keta'dziman sebagai suami, ternyata ngomong itu juga tidak lama, paling hanya beberapa jam dan setelah itu diam. Ketika diam itulah aku dekati dengan tingkat kemesraan: masih adakah stok untuk dilanjutkan? Ternyata istriku bilang seperti nada bergurau: sebentar Mas, aku mau mengarang kata-katanya dulu! Meledaklah tawa dan senyumku padanya, dan kalau masih aku minta untuk dilanjutkan sepuasnya [sak lempohe, Jw]. Setelah kejadian itu sampai sekarang istriku tak pernah ngomel, paling banter hanya senyum padaku, ya senyum: dia pandang aku tanpa komentar itu.

Malah sampai pernah kejadian, dimana uang sepeserpun nggak ada, aku bangun pagi dalam keadaan lapar banget, maka istriku [dengan senyum] menyuguhkan sepiring nasi dengan sambal bawang [lombok, garam, bawang], maka dalam benakku tidak ada bibit marah, tetapi mengharu biru, dimana aku pahami cara ini dia menasehatiku dalam bahasa sunyi: biar aku mengerti sendiri! Akupun memandang suguhan itu sebagai suguhan yang terindah dalam hidupku, aku tidak mau meremehkan sentuhan lembut darinya walau sebiji nasi, karena sebiji nasi pun sampai dimulutku ini berkat sentuhan jutaan tangan manusia sampai dibibirku, lombok itu pun sentuhan lembut tanganNya, apalagi bawang itu kreasi Allah yang sangat indah dan penyedap yang lezat. Seketika aku menyongsong suguhan itu dengan hasrat yang menyala, aku makan dengan lahap dan rasa syukur yang tiada terkira, aku syukuri suguhan itu sampai aku meneteskan airmata, aku menangis bahagia, aku menangis bahagia!

Ternyata istriku memandang aku makan dengan penuh nyala hati ini pun menangis, dan ketika aku tanya kenapa dia menangis, dia menjawab: aku takut engkau marah dengan lauk sambal ini, ternyata prasangkaku salah, engkau makan dengan semangat melebihi lauk yang mahal sekalipun. Pagi itu aku makan dengan kuah airmata kesyukuran….

Kawan-kawan, sampaikan salam kepada istrimu semua, derita dan nestapa jangan sampai menjadikan mahligai rumah tanggamu retak, justru derita dan duka melahirkan perekat dan keterjagaan hati akan ingat karunia-karuniaNya ini, hatimu dan hati istrimu yang lembut akan melahirkan anak-anakmu yang berhati lembut: dimana di dadanya Tuhan bermahkota, dan anak-anakmu itu menjelma menjadi Cinta, hatimu akan bernyanyi pada anak-anakmu, amin ya Allah, amin ya Allah, amin ya Allah, amin….

Sabtu, 16 Oktober 2010

Gemetar Cinta

Sedulurku tercinta, bermula dari masa kecilku yang dilarang oleh pak guru Madrasah [ternyata dari dawuh Kanjeng Nabi saw] untuk tidak mengencingi lubang [leng, Jawa] karena di sana ada makhluk yang butuh tak diganggu, menjadikan hatiku sampai sekarang tidak tegaan jadinya. Sehingga pada puncak keimanan pun sebenarnya sejauh mana tangan dan lisan ini tidak mengganggu orang lain dan sejauhmana mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.

Aku tidak kuasa apa-apa, tetapi hati ini menjadi gemetaran saat mendengar pembantu rumah tangga dianiaya, melihat kuli bangunan diremeh-remehkan mandornya, anak-anak dihajar orang tuanya, dan silahkan cari penganiayaan yang lain, lalu [ini yang akan aku ceritakan] pelacur dikewer mucikarinya lalu dijambak rambutnya sambil didorong keras tubuhnya, lalu ditangkap pemesannya di sebuah hotel, tepat didepan pintu.

Aku langsung gemetaran, dan membayangkan andai dia punya suami, andai dia dilindungi keluarga, andai dia dilindungi pemerintah daerahnya, andai dia diurusi organisasi sosial agamanya, andai dia dirawat partai politiknya, andai dia dijamin negaranya andai dia, andai dia, andai dia, andai dia, andai dia, andai dia.

Kalau aku amati: orangnya cantik banget, tetapi sedemikian tidak berharga kehormatan dirinya. Ingin rasanya akan aku rebut dari pelanggannya dengan cara menebus kontraknya, bukan untuk keinginan menggaulinya, tetapi untuk membebaskannya itu dari penganiayaan yang entah kapan itu usainya, paling tidak saat aku melihat itu. Tetapi apa dayaku, aku tertunduk malu, dalam ranah Tauhid: ini juga kesalahanku, kesalahanku, kesalahanku!

Lalu aku teringat pesan Nabi saw sebelum meninggal: jagalah wanita, jagalah wanita, jagalah wanita, wanita adalah tiang negara, kalau mereka baik jayalah bangsa, kalau mereka buruk, hancurlah bangsa, sorga dibawah telapak kaki Ibu. Bahkan Gandhi pun menghargainya: tanpa wanita kemajuan tak akan bisa dicapai. Aku membayangkan apa yang terjadi di kamar itu, bisa menjadi ladang pembantaian nafsu, dia hanya dihargai tubuhnya tetapi tidak perasaannya, sedemikian kuat itu lembaran kertas yang namanya uang.

Banyak hal ini yang disalahkan adalah orang lain: salahnya sendiri!! Tetapi mana hidup ini yang sendiri, dalam kesatuan Wujud bukankah semua ini bersumber dari Satu Ruh, akhirnya aku beranikan menyalahkan diriku sendiri: aku salah, aku salah, aku salah!

Aku pahami dalam jeritan Tuhan pada Hadis Qudsi: Aku lapar kenapa kau tak memberiku makan, Aku sakit kenapa kau tak menjengukku, Aku haus kenapa kau tak memberiku minum, Aku telanjang kenapa kau tak memberiku pakaian, Aku, Aku, Aku, Aku.

Kalau demikian, dalam setiap perjalanan kita akan kita temui keadaan yang demikian, jeritan Tuhan ini hakekatnya adalah mewakili derita hambaNya. Citra keberagamaan kita sebenarnya diukur sejauhmana keterlibatan mengurusi derita umat ini, bukan pada indahnya pernik tasbih, bagusnya lembar sajadah dan kemegahan jubah-jubah itu, tetapi membebaskan derita hamba itulah bagian dari cara kita: mendekat atau taqarrub itu kepadaNya….

Kawan-kawan, jangankan soal-soal yang berat ini menyangkut manusia, bahkan ketika Kanjeng Nabi saw melihat seekor onta dibenani diluar batas kewajaran, beliau gemetar seluruh sendinya. Ow, ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Allah, aku hanya bisa melihat namun tak kuasa menolongnya….

Kafarat Cinta

Sedulurku tercinta, ketika aku melihat semua bentuk derita, terbayangkan di baliknya adalah cahayaNya, sementara mereka yang tak tahu di balik penderitaan itu selalu mengeluh dengan bermacam ungkapan, lucu sebenarnya. Sikapku ini bukan tidak empati kepada derita dan kepayahan namun keprihatinan itu sebenarnya selubung dan di baliknya adalah kehendak baikNya itu, di balik kulit ada isi yang segar.

Kalau manusia merasakan kegembiraan dengan berbagai warna, waspadalah bahwa ujungnya bisa berubah kepahitan dan tragedi. Sekaliber singgasana Fir'aun, tragedinya adalah melahirkan supremasi dirinya itu di hadapan Tuhan, imperium diperoleh tetapi ia kehilangan di hatinya singgasana Tuhan, dia sendiri yang mengaku Tuhan. Namun bagi yang menderita dalam kepahitan, pahamilah pada ujungnya terasa sebagai manisan, memang tak merasakan kenyamanan dalam imperium itu, tetapi ia akan mendapatkan imperium lain yang Maha: Dia bermahkota di hatinya.

Aku bergembira selalu dipertemukan Tuhan kepada mereka-mereka yang nampak menderita, tetapi tidak sebenarnya, sebaliknya aku sering menemukan banyak orang yang nampak gembira tetapi hakekatnya menderita, derita yang dibungkus ketawa dan senyuman.

Misalnya pagi ini, aku dipertemukan seorang penjual jamu gendong ketika sedang jalan-jalan pagi, sambil jajan nasi pecel minumnya jamu paling pahit darinya itu [barangkali berguna bagi tubuhku]. Di samping penjual pecel dan jamu gendong ini, ada tukang sapu jalan, tukang becak, penjual kelontong kaki lima, satpan perusahaan, sopir truk yang kepayahan dan deru kendaraan yang lalu lalang dengan menjemput derita masing-masing. Aku sebut derita masing-masing, karena dunia ini batu gosok sementara manusianya dengan berbagai level adalah pedangnya, dan tentu yang menggenggam itu Tuhan, seburuk apapun mereka, iya kan?

Aku tak mampu menceritakan semua derita penggosokan ini, maka akan aku ceritakan satu saja: tukang jual jamu gendong yang aku reguk dari adonan tangannya yang paling pahit itu. Namanya Ibu Maryati [indah kan], alamatnya tidak sempat aku tanyakan, usianya 55 tahun, anaknya tujuh [semua di Jakarta], berkerudung sederhana, baju kebaya Jawa, pakai tapeh [jarit], sudah 25 tahun berjualan jamu gendong, [oh,iya] sandalnya jepit.

Dia berdinas mulai sehabis subuhan sampai jam sebelas siang, menjelang dhuhur, keuntungan bersih limapuluh ribu rupiyah. Ya, cara dia berjualan itu sederhana: ia hanya berjalan terus dari gang ke gang, dari kampung ke kampung, ternyata merekalah yang memanggil dia, bukan dia yang bengak-bengok [gembar-gembor] menawarkan. Dia tidak mau bantuan anak-anak yang dibesarkan itu, walau sukes di Jakarta.

Kemandiriannya itu yang aku takjubi, ya dia tak mau mandek namun terus bergerak, sampai ajal tiba--katanya. Senyum tetap mengembang: sepanjang jalan. Sesaat aku termenung oleh kata-kata Iqbal: semesta ini penempaan, semua bergerak: matahari, bulan, bintang-bintang dan gugusan bintang-bintang, kalau kau tak bergerak maka mingggirlah karena kau tak siap dalam dunia penempaan ini, jadilah kau bunga tanpa aroma dan gelak tanpa tawa.

Aku lebih terpikat pesona Ibu Maryati ini dibanding khabar-khabar besar di televisi dan koran yang nggegirisi itu: anda tahu sendiri kan? Aku melihat dia: senja yang bertaburan akan fajar, ia menyongsong sang ajal dengan semangat yang menyala, tetap bekerja, tetap bekerja. Aku bayangkan betapa bening hatinya, karena derita kerja dengan kesungguhan dan kesetiaan itu mengantarkan dia pada ampunan Tuhan.

Kanjeng Nabi saw menyatakan: kerja keras itu menjadi kafarat dosa, yakni menjadi tebusan dosa. Bahkan sekecil kena ujung jarum saja menjadi kafarat dosa. Akhirnya dalam hatiku menjerit-njerit: Wahai saudara-sadaraku yang dilanda musibah, saudara-saudaraku penyapu jalan kota yang sungguh-sungguh, saudara-saudaraku tukang becak yang megah kesabarannya, saudara-saudaraku yang teraniaya, saudara-saudaraku para sopir yang hati-hati, saudara-saudaraku siapapun kamu yang merasa menderita, jangan bersedih dan mengeluh, ayo teruslah melaju dalam penantian nan indah ini, menuju kepadaNya, lebih berharga mana kau tanpa derita tetapi hatimu kosong tanpa Dia tuan rumahnya, dibanding imperium tak kau punya tetapi dipuncak deritamu Dia bermahkota di hatimu, ayo, ayo, ayo, ayo......

Sedulurku, begitu jeritan hatiku terhenti, Ibu Maryati berpamitan dariku dengan setumpuk do'a: mas, mugi panjenengan pinaringan sehat panjang umur murah rejeki, pinaringan anak-anak ingkang sae-sae, pengeran ndandosi lahir batin panjenengan sarono manah ingkang sae lan suci, soho pinter olehe nyukuri kanikmatan, pareng-pareng....

Suaranya masih terngiang entah sampai kapan ini...

Senin, 20 September 2010

Seruling Cinta

Duhai Tuhan kami,ya Allah
Apa pun yang menggores tubuh ini indah adanya
akulah saksi CintaMU
aku adalah Engkau yang jatuh cinta
dengan diriMu
aku adalah Engkau yang mencari CintaMu sendiri
aku ada di tempat yang tak terjangkau pemikiran
ketika aku tinggalkan segalanya selain Engkau
aku fana dalam diriMu
aku tidak ada
aku menjadi apa saja yang Engkau bentuk
aku adalah pena diantara dua jariMu
aku tak akan bergerak sendiri
aku akan menulis apa pun
yang ingin Engkau katakan
aku patung Engkau pemahatnya
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Dalam penjara rahim Ibuku
beliaulah yang mengabarkan pesona dunia
Dalam penjara rahim dunia
kekasihMu yang mengabarkan pesona sorga
dengan panduan Cinta
KekasihMu itu sandaran hatiku
setelah Engkau
beliaulah gondelan dunia akhiratku
KekasihMu itu
orang yang terbakar Cinta
tak terpikat oleh aroma dan warna
beliau melihat Keindahan itu sendiri
dimana dan kapan saja
beliau mentahkan kerangka opini
dan merasakan itu pengalaman langsung
beliau merobek-robek pemikiran
dan membuka kesadaran
beliau menyeberangi lautan
menuju sumber ma'rifat ini
Dalam menggapai kafilah kekasihMu
aku akan terus mencari SahabatMu sejati
di tengah puing-puing reruntuhan
akan aku cari orang-orang tulen
dan akan aku tempel terus
boleh jadi ia penjaga Harta Karun tersembunyi.

Seruling Cinta

Duhai Tuhan kami,ya Allah
Ketika orang-orang bertanya siapa aku?
Aku tertawa keras atas ketidak mungkinan menjawabnya
Bukankah kendaraan siang dan malam dunia
hanya untuk menghabiskan kehidupanku:mencari aku
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Kala ujungnya aku temukan diriku
kesimpulannya bahwa aku tidak ada
Aku adalah sebuah misteri
Semua atribut-atribut inilah:selubung
yang memburamkan cerminku
memandangMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Kalau orang-orang bilang "jalan" ini
adalah penyimpangan
sudah selayaknya aku sandang
Biar mereka puas
sebutlah aku ini setan sekalian
sebab aku tidak ada
tidak ada
Yang ada hanya Engkau semata
Pesta raya "rasa" ini memuncak
memabukkan hatiku
hingga tidak peduli atribut-atribut itu
sebab mana yang bisa aku bawa kepadaMu
selain hati ini
rumahMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Aku tidak menyesal
walau dunia melupakanku
asal aku mengingatMu
sebab Engkaulah Yang Maha Raja
mengutus ke Taman ini
untuk mengasah diri
Memang tugasMu amat sangat berat
tetapi biarlah: aku rela
Karena dengan mencintaiMu
segala derita musnah
duri sekalipun bagiku terasa roti
semua yang menggores hidupku
adalah kado dariMu
setelah aku buka isinya
ternyata sekuntum bunga teratai
yang bermahkotakan seribu bunga itu
hingga semua nampak indah adanya
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Jalan sunyi ini dikira orang terasing
jauh dan menjauhi hiruk pikuk dunia
tetapi tidak bagiku
Sejarah memberi kesaksian
dipuncak orang-orang putus asa
Engkau taburkan harapan
Engkau terangi cahaya
bahkan dipuncak derita: Engkau bermahkota
ujung dari segala penempaan
melahirkan keterjagaanku
mengingatMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Betapa nyata dan terangnya Engkau
dalam misteri ini
Perjalanan ini bagiku asyik
segala yang ada mengabarkan tentang Engkau
bagaimana bisa aku melupakanMu
Engkaulah yang Tercinta
Engkaulah kekuatan Cinta
dalam kalbuku
Begitu aku menatap kalbuku:
Engkau ada di sana
aku menemukanmU
bukan di tempat lain
Hanya ada satu
diriMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Engkaulah identitasku sebenarnya
Kesadaran ini menghidupkanku
dalam setiap langkah hidupku
aku mencari Aku
dalam kegairahan yang menyala
bagai kegairahan Zulaikha menggapai baju Yusuf itu
bagai Sayyidina Ali mengejar jejak hijrah Kanjeng Nabi itu
bagai Qois merindukan Layla itu
bagai Nabi Ya'kub merindukan anaknya Yusuf itu
Kenyerian prosesi ini aku bayar
demi mengenalMu
demi menjumpaiMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Keterpisahan ini bagai gelombang diriku
sementara Engkaulah samudra raya itu
pemikiran dan perbuatanku
hanyalah arus dari lautanMu
bagai anak panah lepas dari busurnya itu
sementara Engkaulah yang melepaskannya itu
Kalau aku seruling Engkaulah peniupnya
Kalau aku biola Engkaulah penggeseknya
Kalau aku gitar Engkaulah pemetiknya
Kalau aku gamelan Engkaulah penabuhnya
Kalau aku rebana Engkaulah pemukulnya
Kalau aku pedang Engkaulah pemegangnya
Kalau aku debu Engkaulah penggosoknya
Kalau aku kapal Engkaulah nakodanya
Bukan aku sumbar perbuatan ini
melinkan diriMu
diriMu
diriMu
diriMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Dalam arus cintaku menuju samudraMu
aku hanya mengalir:pasrah menyerah
bagai rintik hujan yang jatuh itu
keterpisahan air cinta dari samudra
menyerah dalam proses kembali
melalui lahan-lahan bumi
melalui sawah tambak petani
mengalir dalam benturan sungai berkelok
disongsong gelombang
disambut karang meradang
berbantak ombak
berselimut angin mendesau
lalu Engkau mahkotai itu rintik air
di kedalam samudra cintaMu
menjadi butiran-butiran mutiara
sebagai harta tersembunyi
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Mutiara-mutiara itu ada di dadaku
Engkau bentur-benturkan diri ini
dengan gebalau peristiwa
aku tetap menyerah
aku tahu dan menyadari tujuanMu
untuk melampaui banyak keadaan
Ampunilah kedahagaanku ini
anugrahilah tenaga merenung
dalam semua aspek diriMu
jauhkan aku dari perangkap tataran
agar melangkah lebih jauh
larut dalam samudra CintaMu
dan menjadi mabuk
agar seperti diriMu: menjelma Cinta
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Sayap kegembiraan hatiku dalam penyatuan
dan sayap derita pilu perpisahan denganMu
menerbangkan jiwaku
Kemajemukan yang tidak terbatas
aku pandang: betapa besar gambar ini
semua adalah kurnia-kurniaMu
yang menjadi tongkat penuntun menujuMU
tetapi apa artinya tongkat
andai aku telah melihatMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Ketika aku lihat harmoni Taman
Engkau ada di situ
saat aku mereguk kopi pahit
teras olehku mengecup bibirMu
kala aku memandang istri :
wajah,alis,tahi lalat dan kemerahan bibirnya
Engkau nampak lebih terang
dibalik selubung halusMu ini
kemana aku berpaling: disitulah wajahMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Ajaran dari mata rantai kekasihMu
bagai wangi bunga-bunga beraroma
aku tidak sekedar cinta agama
namun tumbuh di dadaku: agama cinta
yang memandu menuju Taman Kebahagiaan
Bagiku ajara-ajaran ini
tak sekedar nampak dalam pernik tasbih
keindahan sajadah
dan kemegahan jubah-jubah
tetapi kemabukan dalam pelayanan kemanusiaan
inilah sejatinya keberagamaan
dan keperibadatan
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Aku ingin keikhlasan bagai pohon itu
mempersembahkan buah-buah segar
sebagai hidangan semesta raya
tanpa sekat perbedaan
bagai roti dan nasi diriku
untuk disapa dan menyapa:semua orang
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Dalam berenang mengarungi arus cinta ini
aku peluk misteriMu
dengan meninggalkan keterpenjaraan
aku ingin berkembang dan berenang
menuju samudra CintaMU
Manisnya derita perjalanan ini
bagai pilu lengkingan seruling
yang merdu terbakar rindu
yang menggesa ingin kembali
ke rumpun bambu
Aku cemas terhadap ahitnya kegembiraan
walau di surga
tanpa gairah mencari
hati menjadi mati
Kegembiraanku tidak menunggu esok hari
sekarang ini aku bahagia
karena mendekatiMu
aku merdeka dari dimensi ruang dan waktu
setelah merasa bulu-bulu cintaku tumbuh
aku akan terbang meninggalkan sarang
yang penuh kotoran-kotoran ini
menujuMu
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Setelah matang dalam rahim Ibuku
aku lahir dalam dunia tujuh warna
matangkan aku dalam rahim dunia
agar aku lahir dari dunia
menuju tak terhinggan warna
Aku reguk ludah suci kekasihMu
apapun yang disandarkan kepadanya
adalah panggilan cinta
aku akan pasrah
walau mengaburkan pikiran-pikiran
karena cinta banyak sayap-sayapnya
walau terselip pedang didalamnya
aku akan pasrah
walau melukaiku
Ketika orang bilang itu fantasi
yang memperdaya
sampai orang bilang:aku gila
terserah
Aku terpesona oleh lidah suci ini
aku takjub oleh khabar suci ini
Keyakinanku bagai khabar Ibuku
kala aku dalam rahimnya itu:
Nak,di luar dunia gelapmu akan kau lihat nanti
ada alam raya yang tertata
menakjubkan penuh pesona
tunggulah sampai engkau lahir
engkau akan melihat bumi langit yang amat luas
tersedia makanan na lezat-lezat
ada pegunungan
ada samudra
ada lembah
ada kebun buah-buahan nan semerbak
ada ladang-ladang penuh hasil bumi
ada langit yang berkilauan cahaya
dengan matahari,bulan dan bintang tak terbilang
ada angin semilir
ada taman-taman berbunga harum mewangi
semua laksana jamuan pesta pernikahan
keajaiban-keajaiban dunia ini tak terlukiskan
Nak,sabarlah dalam penjara rahimku
reguklah darah lewat pembuluk cintaku
Duhai Tuhan kami,ya Allah
Kini aku saksikan sendiri
khabar dibalik tabir gelap rahim itu nyata
nyata
nyata
nyata
Maka ketika kekasihMu mengabarkan pesona
dibalik rahim gelap dunia ini: aku percaya
Aku percaya
Aku percaya
Aku
Percaya!

Rabu, 28 Juli 2010

Kenduri Cinta

Sedulurku tercinta, ketika aku melihat kabar di koran di televisi tentang keburukan-keburukan, hampir saja aku percaya dunia ini sudah rusak: perampokan, pembunuhan, pencabulan, pemerkosaan, pencopetan, amuk masa, korupsi, kekerasan rumah tangga, tabrak lari, perselingkuhan, penyebaran vedio porno dan lain sebagainya.

Ternyata tidak demikian, dunia terlalu luas untuk dikotori oleh berita yang tidak menyenangkan ini, ternyata pada akhirnya siapa pun yang mengotori kehidupan ini mereka akan memanen keburukan itu sendiri, tidak secara keseluruhan. Tuhan memiliki sifat rububiyah: Dia mencipta, menyediakan sarana, membenahinya dan menyempurnakannya, abadi.

Siapapun yang mengotori samodra, maka kotoran itu akan dihantarkan gelombang ke pinggir pantai, sepertinya samodra mengatakan: siapa ini yang mengotoriku! Kepercayaanku ini juga atas pernyataan Tuhan sendiri: Dia tidak akan memberikan kerusakan pada suatu negri, selagi masih saja ada orang yang berbuat kebaikan.

Menurutku, dunia sedemikian melimpah kebaikan ini, sehingga kalau toh ada keburukan, itu sebenarnya adalah kebaikan yang tidak mendapat ruang, atau kejahatan itu sebenarnya adalah kebaikan yang belum terkuak kedoknya, jadinya keburukan itu sangat temporal, karena Tuhan adalah kebaikan mutlak yang abadi.

Dalam perjalanan hidupku, aku bagai menyelami ke dalam samudra, di mana aku temukan mutiara-mutiara yang tak terhingga banyaknya sampai-sampai pada kesimpulan: di pinggir pantai memang banyak bukur-bukur itu, tetapi kosong dari mutiara. Maknanya banyak hal-hal yang tak termediakan tetapi memiliki peradaban yang amat luhur, yang menjadi titik tumpu rahmat Allah diturunkan di bumi ini, tetapi juga banyak keburukan itu diberitakan, tetapi itu akan mengenahi diri yang berbuat itu sendiri.

Aku menemukan salah satu mutiara itu, yakni sebuah kebersamaan yang merangkum keberagaman yang sangat indah, dimana tema utamanya adalah Cinta. Semua keberadaan diberi ruang, antara yang ranah rahman dan ranah rahim, jadilah bismillahirrahmanirrahim. Sabda Kanjeng Nabi: sesuatu kalau tidak dilandasi dengan bismillah irrahmanirrahim maka akan terputus dari rahmat Tuhan. Kebersamaan ini dan keragaman ini menjadi sumber kebaikan, goodness from assosiation. Siapapun boleh hadir dalam kemesraan ini: agamanya apa, parpolnya apa, ormasnya apa, pendapatnya apa dan lain sebagainya.

Mozaik musiknya juga sangat eksotik: rebana bisa, musik bambu Plompong bisa, jazz bisa, pop bisa, gambang kromong betawi bisa dan lain sebagainya. Semua menjadi sarana untuk mengantarkan keindahan yang bisa menebar wangi pada jiwa-jiwa secara universal. Memang acara ini nampak sederhana bahkan kecil, namun menjadi oase bagi yang dahaga dalam Kesatuan--atau Tauhid itu.

Komunitas ini menjadi semacam reoni bagi jiwa-jiwa yang rindu akan keuniversalan Tuhan, bukan subyektif, bukan sektarianis dan primordial. Persoalan yang dibahas dalam mencari solusi kesalehan bisa pribadi, bisa sosial, sampai pada kenegaraan bahkan dunia dan keakheratan. Kalau boleh aku gambarkan, kenduri ini bagai kegelisahan seekor burung emprit yang mengambil tindakan nyata kala mendengar Ibrahim akan dibakar oleh api Namrud, sampai-sampai perhelatan ini bisa bertahan dari jam 20.00 sampai jam 3 dini hari, bahkan tak jarang sampai kenthong subuh.

Burung emprit dengan paruhnya yang kecil akan mematuk air samudra, dan akan menyiramkan api Namrud, supaya Ibrahim khalilullah ini selamat. Maknanya, kenduri Cinta ini digelar, diniatkan akan meredam gejolak api apa saja yang diindikasikan membakar kemuliaan kemanusiaan, agar manusia damai, negara damai, dan dunia damai.....

Kawan-kawan, Kenduri Cinta ini bagian dari upaya seorang pengembara Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, bersama-sama dengan orang-orang yang mau bersama untuk menegakkan Cinta menjaga Indonesia, di halaman TIM Cikini Jakarta, yang digelar setiap jum'at kedua dalam setiap bulannya, yang pada hari ini sedang punya gawe ulang tahunnya ke 10.....

Selamat Ulang Tahun Kenduri Cinta, aku selalu menemanimu dalam upaya cinta yang telah dilaksanakan

Srabi Cinta

Sedulurku tercinta, aku harus menjawab bagaimana ketika ada banyak orang menanyakan soal pekerjaan, mereka nganggur di tengan wewangian keberadaan yang diperuntukkan bagi hamba-hamba--sebagai kekasihNya ini. Kita sudah di dunia (Jawa--donyo), ternyata masih menanyakan dunia, bagai sudah di WC kok tanya tinja--dawuh Kiaiku dulu.

Dari penggambaran guruku itu, aku ditunjukkan betapa kalau hanya soal rejeki itu melimpah melalui instrumen semesta, semua jadi uang--jadi duit. Aku saksikan sendiri dalam realitas kehidupan: ketika aku pulang pengajian dari Bojonegoro jam 4 pagi sampai Cepu, ada seorang perempuan menyeret barang-barang pakai gerobak sendirian, sementara jalan sepi dan orang-orang masih terlelap kecuali bakul-bakul pasar yang berangkat menyongsong pembeli dengan hasrat fajar jiwanya.

Begitu sampai di emperan toko perempuan tua itu sendirian membongkar barang berwujud meja kecil terbuat dari kayu-kayu sederhana, tiga tungku, tiga lepek, sebongkah arang dalam plastik, adonan santan dan tepung beras, sewakul ketan sudah matang, beberapa kupasan kelapa muda, lembaran dau-daun pisang untuk bungkus, plastik kresek hitam--semua dipersiapkan sedemikian rupa--kala menyongsong subuh itu, yang tentu dipersiapkan di rumahnya dini hari kala banyak manusia mengeja mimpi-mimpi.

Usai subuhan datanglah Ibu tua itu dengan seorang anaknya perempuan yang masih gadis--tentu tidak sama dengan gadis2 yang hanya berpangku tangan--mengelar dan memethik wewangian karunia Allah yang namanya uang atau duit itu. Anak gadis itu menyalakan arang dan mengipasinya, lalu menuangkan adonan santan dan tepung itu, dan jadilah serabi yang menyengat wangi gosongnya itu, sungguh amat wangi.

Sementara Ibunya menyongsong srabi di meja yang dilambari daun pisang itu dengan parutan kelapa muda. Aku mewancarainya sambil memesan sepuluh bungkus untuk anak-anakku yang aku ajak keliling, transit di tempat Kiai Lilik Cepu--seorang Abul yatama--sukanya merawat anak yatim. Ternyata hanya setia berjualan srabi selama 25 tahun ini bisa membesarkan anak tiga, termasuk yang gadis itu, Keuntungan bersih setiap pagi bisa lima puluh ribu rupiyah, dan itu disyukuri habis-habisan, Alhamdulillah--desisnya sambil tersenyum.

Sambil berjalan pagi aku tenteng sepuluh bungkus srabi, karena mobil aku suruh duluan sejak aku menyaksikan drama cinta ini, aku terseret oleh keluasan karunia, dan kerelaan atas kesahajaan kehidupan. Andai saja penduduk negri ini memiliki kemegahan hati kayak Ibu dan anaknya ini, tentu kehidupan akan sangat terasa indah adanya. Terbayang olehku akan penjual nasi kucing yang rata-rata masih muda, terbayang olehku akan penjual siomay yang anak-anak muda imut itu, terbayang olehku akan kemandirian-kemandirian menyongsong wanginya rejeki melewati pertarungan nan pasrah ini, terbayang olehklu akan keterjagaan bakul-bakul yang membayar dengan Cinta, sementara pembeli menghargainya dengan hanya duit, lembaran-lembaran kertas itu, terbayang olehku akan petani-petani yang bergelepotan lumpur di sawah dan malamnya masih menyediakan waktu untuk mengaji sampai larut malam....

Kawan-kawan, diam-diam mataku meleleh airnya, aku menangis bahagia pagi kemarin bukan oleh gema wirid dan shalawat, tetapi aku menangis bahagia oleh gema Cinta yang genderangnya dibayar dengan seluruh dirinya itu, dan ketika aku sampai di transit, srabi yang dimasak dengan Cinta itu disongsong anak-anakku dengan harapan yang penuh, begitu lahap makan mereka makannya seperti hasrat Ibu dan anak yang membikinnya itu, aku tersimpuh di depan anak-anakku, dan mereka ada yang menanyakan kenapa Abah menangis, aku tak bisa menjawab kecuali derasnya air mataku ini....

Allahumma bariklana fiima rozaktana waqinaa adzaabannar....

Dolly Cinta

Sedulurku tercinta, aku pernah diprotes oleh guru salah satu SMA di Semarang ketika menyampaikan sebuah kisah seorang pelacur yang diampuni dosanya dan dimasukkan ke surga hanya sebab pelacur itu memberi minum seekor anjing yang kehausan di gurun sahara. Maka dengan kerendahan hati aku menyatakan bahwa itu bukan kata-kataku, tetapi kata suci dari lidah suci Kanjeng Nabi Muhammad saw, dimana beliau memberikan kabar akan keluasan dan kebesaran rahmat atau cinta Allah kepada hamba-hambaNya yang mau melakukan kebaikan walau sekecil dan sesederhana itu. Bahkan andai hamba itu melakukan kesalahan--menurut peraturan--harus memperoleh hukuman yang semestinya, tetapi ketahuilah bahwa Cinta Allah itu mengalahkan marahnya, sehingga sedemikian suci CintaNya sampai sebanyak pasir di pantai itu dosa, akan diampuniNya manakala hamba itu bertaubat kepadaNya.

Kalau toh ternyata hamba itu masih melakukan dosa kecil atau besar, sebenarnya itu proses aku mencari Aku dalam dirinya melalui lorong-lorong waktu yang setiap orang harap memahami dan memakluminya. Bukankah kejahatan atau keburukan itu hakekatnya adalah kebaikan atau cahaya yang belum terkuak kedoknya. Terkuak kedoknya ini melalui dua cara: ada yang bersumber atas hasrat di dada dan ada yang berasal dari Tuhan menyapa dengan membayar derita sebagai kafaratnya.

Dan Rendra pun menulis puisi: terhadap penjahat yang paling laknat pun pandanglah dari jendela hati yang bersih. Dan jangan kaget, sedekah sebiji kurma pun Kanjeng Nabi saw mengabarkan bisa merubah neraka menjadi surga, begitulah rahmat Allah tak bertepi, bukan sebagai mana manusia--sudah tidak mengatasi dan mengentaskan--tapi malah melaknati dan menghakimi serta memperolok-olok sedulur semanusia yang dalam proses mencari Aku dalam dirinya itu--atau Tuhan bermahkota di hatinya.

Malam ini aku diizinkan oleh Allah merekam kebaikan orang-orang Dolly, mereka libur semalam karena mengadakan pengajian rejeban bekerja sama dengan teman-teman Bang-Bang Wetan, hadir semua elemen masyarakat Dolly--konon tempat pelacuran terbesar Asia--bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng, ribuan pengunjungnya.

Kesaksianku malam ini seperti tidak ada keburukan di Dolly, karena aku tidak mau melihat keburukan orang lain, yang aku lihat adalah semua penghuni Dolly bersimpuh menyerah hatinya, larut dalam celupan cahaya--yang lapan2--akan dirangkul itu cahaya dalam pertaubatan kepadaNya. Ada yang membaca ayat-ayat Suci Al-Qur'an dengan indah, tartil dan merdu disertai koor istighfar yang menyayat hati.

Mereka berbalut jilbab yang sangat anggun, walau itu membalut derita yang menggetarkan hatinya: karena tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur, tidak ada gadis yang berdebar hatinya membayangkan alangkah indahnya menjadi tuna susila, tidak ada tubuh fisiknya yang sintal sepanjang masa--mereka seperti kita akan disongsong oleh kematian setelah tubuh ini aus, keriput, melorot pantatnya, tua bangka.

Malam ini mereka diajak untuk memiliki pengetahuan akan masa depan dirinya, setelah terbukti bahwa pemerintah pun tak bertanggung jawab kepada mereka sebagai warga negara, ormas agama pun tak mengentaskannya, parpol pun tak membebaskannya, mereka yatim dalam kehidupan bernegara, mereka menangis dalam sunyi--menjerit di kedalaman hati.

Aku tertunduk malu, kesalahan sepenuhnya tidak hanya pada mereka, namun juga pada diriku sendiri karena tak peduli itu. Ketika aku diminta Cak Nun memberi sepatah kata--aku tak sanggup--pada akhirnya aku persilahkan anakku Syahiq menyuguhkan sebuah lagu dari Michel Jackson diiringi Kiai Kanjeng: Yoa are not aloon, kamu tidak sendiri.

Maknanya, dalam puncak derita kalau hamba ini menggesa: Wahai Ya Allah, maka Dia menjawab: Wahai hambaKu, Akulah Allahmu. Hal ini aku hadiahkan kepada mereka semua, sebagai petikan hikmah dari Rejeban, saat Kanjeng Nabi saw sendiri setelah kematian istri dan pamannya dalam tahun yang sama--sebagai tahun duka cita itu....

Kawan-kawan, setelah usai acara dini hari Cak Nun dan Kiai Kanjeng pulang ke Jogja, aku menemani panitianya, ternyata disitu ada sebuah pesantren Jauharatul Hikmah yang dikelola oleh anak-anak muda, Kiai-kiai muda. Pesantren kecil ini dulunya adalah wisma Dolly yang mereka rubah menjadi tempat mengaji bagi anak-anak warga Dolly, merubah tanpa pertumpahan darah, merubah dengan Cinta.

Dan momen ini aku tulis di tempat temanku Kaji Haris bersama Kang Rudd Blora, untukmu kawan-kawan, teriring do'a: semoga jeritan sunyi penghuni Dolly menjadikan Allah dan RasulNya tak tega lalu mengentaskannya.... Amin...

Senyum Cinta

Sedulurku tercinta, sebenarnya aku ini amat sangat bodoh, cuma aku merasa punya dorongan dari dalam untuk menutupi kebodohan itu dengan cara membangun dan menyambung persaudaraan tanpa batas, maka aku tertuntun menuju agak tahu sedikit tentang sedikit hal, bukan tahu banyak tentang sedikit hal, apalagi tahu banyak tentang banyak hal—mukhal bagiku.

Demikian saja sudah aku syukuri habis-habisan, karena tahu sedikit tentang sedikit hal bagiku merupakan percikan cahaya—yang aku rangkul—lalu percikan cahaya itu menyeret diriku pada lapisan-lapisan cahaya yang tak bertepi ini, dari saudara-saudaraku itu—termasuk anda semua.

Misalnya, pada suatu senja—selepas Ashar—aku menyaksikan di antara anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah, yang sedang latihan menari. Ada di antara mereka, seorang anak yang benar atau salah dalam gerakan itu, selalu tersenyum—ya selalu tersenyum. Aku seketika terbayang kepada siapa saja yang pernah aku temui, memiliki senyum yang indah seperti itu, yang bersumber dari langit jiwa yang sama—senyum keikhlasan. Senyum kayak gitu yang Kanjeng Nabi saw menyatakan sebagai sedekah. Anak perempuan itu bernama Putti Kaya Hati Imanni, sebuah nama yang diijabahi oleh Allah yang sepadan dengan keindahan senyuman itu.

Selayang pandang aku membayangkan bahwa di dada anak perempuan itu ada matahari hati bersinar, hingga menumbuhkan taman dalam wujud keindahan senyum itu—itulah senyum cinta. Sepantasnya senyum itu dimiliki oleh seorang Ibu, yang dipercaya oleh Tuhan atas titipanNya dalam wujud setia penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, walau dalam keadaan suka maupun duka, menjadi sandaran kuat digelayuti jiwa-jiwa. Bukan saja anak-anak yang pernah dilahirkan melalui rahimnya, namun juga anak manusia yang menjadi suaminya itu.

Bukankah setua apapun lelaki itu hakekat jiwanya adalah anak-anak abadi? Tidak aneh manakala sembilan akal laki-laki, tidak mampu mengendalikan satu nafsu yang dimilikinya, sementara sembilan nafsu yang dimiliki oleh perempuan mampu dikendalikan dengan satu akal bagi perempuan, perempuan yang shalekhah tentu. Bagi perempuan yang tidak memiliki jiwa seperti Ibu, minimal rumah tangganya dihiasi bentrok ujungnya menunggu perceraian, hanya soal waktu saja.

Aku yakin—dengan do’a—anak dengan senyum indah itu kelak manakala punya suami, bila diajak bicara, suami itu pasti akan menggunakan dengan tutur kata yang indah, karena kata yang kotor dan jorok akan mencemari keindahan senyum itu. Manakala suaminya menyajak bergaul secara seksualitas, maka ia akan menggunakan akhlak sebaik-baiknya, karena sifat kebinatangan akan terbakar oleh senyum indah itu, dan senyum itu menyadarkan bahwa dirinya bukan seonggok daging saja, bukan. Kalau suaminya menyuruh-nyuruh—sebagai istri—pasti perintah itu akan disongsong sepenuh cinta dan hasrat yang menggelora—walau dibayar derita—asal suaminya itu tersenyum gembira. Kalau suaminya andai rewel dan nakal, maka akan ia pandang persis seperti memandang anak-anaknya, maka ia akan tegar dan megah, semua diterima sebagi kado dari Tuhan, yang pasti didalamnya berisi hadiah yang tak ternilai harganya, namanya Cinta itu, pasti. Pada ujungnya hanya kematian yang akan memisahkan, sebelumnya hanya akan dibayar dengan kesetiaan, ya kesetiaan.

Hari ini aku sekeluarga, setelah sejak dua hari yang lalu menjalankan Ziarah ke mBah Priuk lalu ke Habib Luar Batang kemudian subuhan di Masjid Kubah Emas beserta satu bus jama’ah Maiyah lingkungan pesantren—atau penghuni Rumah Cinta—terakhir silaturrahmi ke Kandang Jurang Doank. Rombongan ziarah sudah sampai rumah dengan selamat pagi ini, tinggal aku sekeluarga diizinkan oleh Allah untuk masih di KJD ini.

Kandang Jurang Doank adalah wahana kreatifitas yang disebut Cak Nun merupakan kelembagaan memuat empat departemen dalam ranah negara: departemen agama, departemen pendidikan dan kebudayaan, departemen pariwisata dan departemen sosial. Tempat ini merupakan Rumah Cintaku yang ada di Jakarta, selamat datang bagi siapa saja, ke Kandang Jurang Doank.

Ternyata anak perempuan yang aku amati dengan abstraksi seperti di atas adalah anak ketiga dari Raden Rizky Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma, orang mengenal Dick Doank. Anak yang pertama, Ratta Billa Baggi, yang kedua Geddi Jaddi Membumi, yang ketiga tentu yang punya senyum yang indah itu, semua ini keluar dari rahim seorang Ibu bernama Myrna Yuanita, istrinya Dick Doank atau Om Gantheng itu.

Perempuan ini, saat Ibunya Om Dick meninggal selang tiga harinya aku mahkotai dengan kerudung sutra milik istriku—yang juga punya senyum yang sama—sebagai rasa syukur atas bayang-bayang Tuhan ini. Hari ini dia ulang tahun ke-42 dan aku hadiahi catatan di facebookku ini, sebagai larut hatiku sekeluarga atas syukur tiada tanya Om Dick punya istri bernama Myrna Yuanita ini, catatan Cinta....

Kawan-kawan, sapalah dia di facebook ini biar menjadi saudara, teriring do’aku kepadamu semua semoga Allah menganugerahimu anak-anak yang punya senyum indah itu yang dilahirkan dari Ibu yang punya senyum indah juga, hati orang tua bernyanyi pada anak-anaknya, salam buat istrimu semua, salam calon istrimu semua kawan-kawan....

Selamat Ultah mBak Ayu Myrna Yuanita....

Sedekah Cinta

Sedulurku tercinta, setiap perkara yang menurut aturan itu baik, maka perkara itu bernilai sedekah, atau pemberian yang tanpa berharap akan timbal baliknya--bahasa lainnya ikhlas. Keikhlasan ini akan memberi tenaga tak bertepi bagai keikhlasan sebuah pohon, ia hanya berbuah melulu tanpa peduli lagi siapa yang akan memetiknya, ia memiliki cinta tanpa batas.

Memberi karena sebab diminta itu baik, tetapi memberi bukan karena diminta itu akan lebih baik, tentu. Ada kebahagiaan pada si pemberi dan pasti ada kebahagiaan yang menerima. Drama agung ini tentu ditepuk tangani para malaikat dengan gemuruh, disaksikan dengan senyuman para kekasih Allah dan Allah sendiri pasti tersenyum--senyum Cinta.

Cinta yang dilaksanakan ini bersumber dari Sang Pemilik Cinta, kalaulah pelaku itu memiliki apa yang disebut agama, pasti agamanya adalah agama Cinta. Ia malu mengambil dan malu kalau tidak memberi, karena dalam hatinya ada gudang kekayaan yang tak terhitung dan tak ternilai harga dan jumlahnya, dan itu terselip disetiap dada manusia yang bernama Cinta itu.

Kalau orang ingin merasakan maka tidak jalan lain kecuali masuk di dalamnya dengan resiko berani menanggung derita dalam keasyikan pelayanan kepada sesama itu. Andai itu berwujud benih maka benih itu akan disebarkannya, maka akan tumbuh lingkungan yang akan membawa suasana dalam sebuah taman, ada keragaman pohon dan keragaman buah-buahan yang menjadi persembahan semesta alam dengan segar, lezat dan halal.

Kalau andai itu bunga maka akan semerbak bau wewangian yang akan tergeraklah kupu-kupu hinggap mencercap manisan, tergeraklah lebah datang menghisap madu sebagai obat kehidupan, bunga memang layu setelah itu tetapi akan lahir buah kehidupan. Andai tergerak burung datang mematuk bebuahan maka akan tersisa terakhir dalam perutnya, lalu benih itu lewat burung terbang akan disebarkan ke segenap penjuru alam, maka taman akan semakin meluas menjadi suasana surga yang diturunkan di bumi ini.

Dengan isyarat ini makanya Kanjeng Nabi mengajarkan tentang Cinta nan agung ini bisa dipentaskan dalam kehidupan nyata, lihatlah: senyum ketemu saudara itu sedekah, memberi minum yang kehausan itu sedekah, memberi makan yang kelaparan itu sedekah, menasehati yang sedang kesusahan itu sedekah, memberikan sebiji kurma itu sedekah, memberi minum seekor anjing yang kehausan itu sedekah, menghormati tamu itu sedekah, menghargai tetangga itu sedekah, silaturahmi itu sedekah, diam tafakkur--tidak lholak-lholok--itu sedekah, omong yang baik itu sedekah, menjawab salam itu sedekah, menjenguk yang sakit itu sedekah, mendo'akan yang bersin itu sedekah, mendatangi undangan kawan dan saudara itu sedekah, memerintah yang baik dan mencegah yang tidak baik itu sedekah, bekerja keras untuk menyuapi sanak keluarganya itu sedekah, sayang kepada yang muda itu sedekah, hormat kepada yan g tua itu sedekah, menyambungkan yang putus hubungan itu sedekah, menyapa orang yang mendiamkannya itu sedekah, memberi kepada orang yang membakhilinya itu sedekah, memaafkan orang yang mendholiminya itu sedekah, mencuci pakaian keluarga itu sedekah, memasakkan sanak keluarga itu sedekah, menyiram bunga yang kekeringan itu sedekah, merelakan tanamannya dimakan hewan itu sedekah, merelakan sebagian kecil pertaniannya dimakan burung-burung atau dimakan tikus itu sedekah, mencium istri dengan sepenuh hati itu sedekah, merawat anak yatim itu sedekah, membantu fakir miskin itu sedekah, memandikan jenazah itu sedekah, mengantarkan sampai ke kubur itu sedekah, menyingkirkan duri dari jalan itu sedekah, membaca tasbih tahmid takbir dan tahlil itu sedekah, membaca kalam suci itu sedekah, sembahyang itu sedekah, membaca shalawat itu sedekah....

Kawan-kawan, teruskanlah wewangian ini dalam tindakan, pasti akan harum di kalbu kehidupan, dan inilah yang menjadi pesta pora kegembiraan yang memabukkan, tanpa kenal lelah, tanpa kenal ruang dan waktu, teruskan kawan dalam gempita kesejahteraan, jangan takut, Dia memberimu tenaga baru, saat orang lain ambuk dalam ketakberdayaan....Hap!

Puncak Cinta

Sedulurku tercinta, dalam penggapaian kepada Dia yang tak bertepi ini, ada tantangan di atas langit masih ada langit, bahkan tantangan kepada jin dan manusia, manakala bisa melintasi cakrawala langit dan bumi, Tuhan mempersilakan--lintasilah--dan manusia tidak akan bisa melintasi ini kecuali dengan kekuatan.

Kesadaran manusia akan keterpatahan sayap atas penggapaian itu menjadikan rumus: semakin manusia tahu maka ia semakin tidak tahu. Sehingga kebenaran mutlak hanya pada Dia, sementara kebenaran relatif berada pada diri manusia.

Misalnya masalah minum saja, kita ditanya oleh Al-Qur'an: kamukah yang menurunkan airnya dari langit ataukah Kami, Allah? Pertanyaan ini memakai hazah istifham taqriri, dimana Tuhan bertanya tetapi tidak membutuhkan jawabannya karena dalam hati manusia tahu kalau yangmenurunkan air hujan dari langit itu Dia. Kalau ini dijawab dengan akal, maka akan sedemikian panjang jawabannya, karena harus meniti sebab akibat yang ada.

Pengetahuan memberi tahu bahwa air hujan itu tadinya bermula dari matahari menyinari air laut, air laut itu menguap, maka di atas langit muncullah mega-mega itu, karena ketinggian tertentu dan terjadi perbedaan suhu maka mega itu lalu digiring angin pada tempat tertentu. Gambaran ini bagai tetesan air yang menempel pada gelas manakala ada perbedaan suhu antara yang di luar gelas dan di dalam gelas, maka terjadilah titik-titik kondensasi--titik-titik itulah yang namanya air hujan.

Kemudian akal melacak lagi: dari mana asal matahari itu? Kembali pengetahuan mengajarkan bahwa metahari itu asal muasalnnya adalah: ada gas yang meledak secara besar-besaran (teori big bang), dan ledakan dari gas itu lalu terpencarlah gugusan bintang-bintang--termasuk salah satunya adalah matahari itu.

Ketika sampai pada adanya gas, akal bertanya lagi: dari mana asal muasalnya gas dalam ledakan besar itu? Pengetahuan mengajarkan bahwa itu mata rantai yang belum ketemu, maknanya mereka mengatakan tidak tahu. Ini baru satu titik yang namanya air minum itu, belum pada sebanyak jantera alam semesta, dari yang kasar sampai yang lembut ini.

Inilah yang disebut jalan misteri yang dianjurkan oleh Rumi: peluklah misteri. Siapakah yang menumbuhkan pohon itu, siapakah yang menumbuhkan bayi di rahim Ibu itu, siapakah yang meninggikan gunung itu, siapakah yang menghamparkan bumi ini, siapakah yang memberi wangi pada bngaa-bunga itu, siapakah yang menciptakan matahari itu, siapakah yang menciptakan benda-benda langit yang tak terbatas ruang dan jumlahnya itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu?

Misteri ini telah melintasi zaman yang teramat panjang, orang sering menyebut misteri itu: Tuhan. Para Nabi dan Rasul mengabarkan bahwa itu semua dicipta oleh Allah. Allah pun merupakan yang ghaib itu, kembali kepada misteri lagi, kecuali dikenal dengan sifat-sifatNYa, sampai Kanjeng Nabi menyatakan: berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Dia.

Dalam penggapaian yang menyangkut sifat-sifat ini pun setelah, manusia mengamati isyarat-isyarat cinta itu, yang pada ujungnya kembali kepada Allah, Allah, Allah, Allah, Allah, Allah. Inilah puncak cinta itu, yang tidak diketemukan di mana-mana, ternyata kita temukan di dalam dada setiap manusia itu sendiri, atas cahayaNya, Dia berbagi.

Dengan demikian, ketika ada orng yang mengatakan bahwa dia tidak tahu, sebenarnya di dalam hatinya telah ia ketemukan sebuah jawaban yang teramat jelas nan panjang dalam banyak hal ini, tetapi karena tidak semua bisa diterangkan dengan bahasa tulisan, atau ungakapan bahasa kata. Hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia.

Kalau toh manusia menemukan dalam sudut hatinya--sebagai rumahNya itu--sebuah harta karun yang tak ternilai harganya, itulah Cinta. Sampai di sisni akal akan terbakar oleh api Cinta, bagi akal pahit tetapi bagi hati bisa manis, bagi akal jauh tetapi bagi hati dekat, bagi akal berat tetapi bagi hati ringan, bagi akal racun tetapi bagi hati madu, bagi akal tua tetapi bagi hati yang terbakar oleh Cinta, ia akan selalu merasa muda....

Kawan-kawan, itulah puncak Cinta, dimana di hatinya telah terhujam keindahan mutlak, selebihnya adalah pandangan keragaman yang tidak akan mencebak diri dalam keburukan dan kesalahan, semuanya indah, sungguh indah, sungguh....

Selasa, 27 Juli 2010

Gembira Cinta

Sedulurku tercinta, sebagaimana pernah aku katakan kepada istriku: lihatlah aku tetapi jangan tanyakan tentangku, aku meniti lorong waktu ini bagian dari keterasingan dan pembuangan untuk kembali ke rumah surgawi--sebuah pembuangan spiritual--karena berpisah dengan samudra Cinta, bagai ikan di samudra yang dientaskan ke daratan, menggelepar-lepar diriku bersamamu semua kawan dan teman.

Dunia ini bagiku pembuangan yang nyata, yang disebut Kanjeng Nabi SAW: kepasrahan (Islam) mulai sebagai asing dan akan berakhir sebagai asing pula--lalu disimpulkan--dan berbahagialah mereka yang menganggap dirinya asing.

Aku yakin kondisi ini dimiliki oleh semua orang yang merasa dirinya berada dalam pembuangan di dunia ini. Bisa saja suasana hati itu dialami setiap warga negara yang merasa dirinya dalam pembuangan dari tanah kelahiran mereka sebab pemerintahan yang tidak peduli kepada nasibnya, atau seorang istri yang diremehkan suaminya, atau seorang karyawan yang direndahkan pimpinannya, atau seorang suami yang disia-siakan istrinya, atau seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya, atau seorang murid yang diusir gurunya, atau, atau, atau, atau.

Bagiku bukan saja seperti itu, tetapi menanjak kepada pembuangan spiritual ini sehingga meneteskan nyerinya rindu untuk mencercap kembali percikannya percikan dari tetesan samudra Cinta itu, tergerak oleh seruan Sang Ruh yang misteri ini.

Ketergerakan ini--dalam bahasaku keterseretan--menjadi tenaga tak terhingga dalam mencari Dia semata. Bagi kawan-kawan dan saudara semanusia, manakala mengejar dan memuaskan diri dengan kurnia apa saja, atau puas dengan mengejar sifat-sifat--sebagai pengganti DzatNya--aku relakan sedemikian rupa karena apa saja yang ada ini bagiku adalah isyarat Cinta, yang pada akhirnya akan kembali ke samudra Cinta itu lagi.

Maafkan aku kawan, aku ini seolah-olah telah menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatiku, dan dalam harta karun ini telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, yang bernama Cinta. Selain ini, kalau aku kau pandang memiliki apa-apa --dan kau inginkan--ambillah dan aku tidak akan merasa kehilangan, karena aku tidak merasa memiliki apa-apa. Dan bila ada yang melihat aib-aibku, lalu ada yang ingin menyiarkannya untuk supremasi dirinya, aku relakan sedemikian rupa karena aku bukan siapa-siapa.

Ringkasnya, aku matikan saja diriku--anggaplah tidak ada sebagaimana diriku merasakannya--agar Dia hidup menari-nari di rumahNya ini, toh ujungnya Dia menghidupkan yang mati. Tangisan Kanjeng Nabi saw di perang Badar itu, cukup mewakili jeritanku: Ya Allah, seberat apa pun tanggungan ini Engkau bebankan, akan aku kuat-kuatkan ya Allah, asal Engkau tidak duko (marah) padaku.

Aku tidak berani menyatakan sejauh keintiman kepadaNya, atau merasa bisa dekat denganNya, atau merasa bisa memandangNya, atau merasa kenal denganNya, sebab aku merasa mengenal diriku sendiri membutuhkan kehabisan umurku untuk sampai. Termasuk aku tidak berani mengumumkan mimpi ketemu kekasihNya itu, atau merasa bisa gondelan bajunya beliau itu, atau merasa melampaui salafushshaleh yang yang telah memercikkan cahayaNya melewati mata rantai yang suci ini, sampai padaku, karena aku merasa malu akan silaunya cahaya di mataku yang lemah ini, dan hinanya akhlakku yang tak sembuh-sembuh ini.

Banyak peristiwa dalam goresan hidupku yang aku nikmati sedemikian manis, goresan itu aku prasangkai bagai kado penganten hidupku, ternyata ketika aku buka bungkusnya, berisi sekuntum bunga teratai yang mengelopak, yang bermahkotakan seribu bunga. Jadinya, ketika ada orang menyingkirkanku--siapa pun itu--maka aku relakan sedemikian rupa agar mereka puas, mereka bisa tersenyum atas terpenuhinya keinginan itu. Toh sudah aku sadari sepenuhnya, kehadiran di dunia ini adalah sebuah pembuangan, yang melahirkan kenyerian rindu yang menggetarkan dan mengguncang hati ini....

Kawan-kawan, aku tidak punya derita kecuali derita nyeri rindu kepadaNya, aku tidak punya perlindungan kecuali perlindungan dalam diriNya, dengan ini aku merasa bahagia, aku sangat berbahagia, karena duka dan derita yang datang dari Kekasih, melahirkan keterjagaan hati, penderitaan yang meneteskan anggur kemabukan, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka....!!!!

Ingat Cinta

Sedulurku tercinta, ingat itu bahasa arabnya dzikir, dzikir dalam agama sebagai perbuatan ibadah, dimana puncaknya itu tercapainya kedudukan atau maqam dimana dzikir dan kesadaran tiba-tiba muncul melalui pertolongan Allah yang disertai kehebatan dan keberkahan dzikir itu sendiri, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Qudsi itu: HambaKu senantiasa mendekatiKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencitainya maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya ia mengambil, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Seandainya ia meminta kepadaKu, tentu Aku akan memberinya, dan seandainya ia meminta perlindungan kepadaku, tentu Aku akan memberikannya.

Kalau ini ternyata belum bisa dicapai, maka boleh jadi kita akan menapaki dzikir sebelumnya, yakni dzikir yang dapat menggambarkan keadaan batin, dimana rasa takut dan kesadaran akan Allah (taqwa) dan amalan dzikir menguasahi si pencari yang sedang menempuh Jalan, sehingga ia benar-benar berpisah perhatiannya dengan dunia.

Bila ternyata tingkatan ini belum bisa kita tanjaki, maka bisa dilakukan dengan dzikir sebelumnya lagi, yakni menyebut secara berulang-ulang nama Allah, atau yang lebih dikenal wirid. Amalan ini bisa dilakukan dengan niat yang ikhlas, sadar, dan konsentrasi penuh--biasanya dibimbing oleh pemandu atau guru itu.

Kalau ternyata hal ini masih berat juga dilakukan, maka kita akan selalu mengingat Allah dalam setiap saat, ketika sedang terjaga, dalam kehidupan seseorang. Dalam level ini dzikir sebagai hakekat dari perjuangan melawan bisikan Iblis yang selalu berusaha memalingkan kita agar lalai dari mengingat Allah.

Tingkatan ini dimaksudkan dan ditujukan agar setiap saat jiwa selalu dalam keadaan diridhoi Allah--misalnya: sabar ketika menderita, bersyukur ketika memperoleh kebaikan, menyesali perbuatan yang salah, dan memiliki harapan untuk memperoleh ampunan. Keadaan ini akan meningkatkan iman, dan meningkatkan kesadaran. Kesadaran bahwa Allah pada posisi sebagai kekasih, tentu sebagai kekasih pasti akan mengingat dan mengejar ridha Kekasih, dan dambaan kekasih hanyalah perjumpaan dengan Kekasih. Diingatnya Kekasih meningkat pada dipandangnya Kekasih dengan kedua mata hatinya, hati mengenal Kekasih dan melihatnya, bahagia kekasih bila dapat mendekati Kekasih, puncaknya tidak ingat apapun kecuali Kekasih.

Inilah ingat Cinta, dimana Tuhan menjadi Pelaku dalam setiap ucapan dan perbuatan atas orang-orang yang Dia sucikan--pada umumnya orang menyebut fana atau lenyapnya diri. Dia berbicara melalui orang-orang yang Dia sucikan itu, mereka semua abadi ingatnya kepad a Allah.

Adalagi orang yang ingat kepada Allah dengan lisannya tetapi hatinya lalai, ada orang yang ingat kepada Allah dengan lisannya yang disertai kehadiran hatinya itu--walau dzikirnya mencari-cari pahala--hal ini masih bisa dibenarkan.

Adalagi orang ingat ke Allah dengan hatinya--tidak sekedar lesan dan hadirnya hati. Orang semacam ini hatinya dipenuhi dengan Allah, dan lisannya tidak mengucapkan apap pun. Lisannya telah memasuki sirr, hatinya yang berada dalam rahasia Cinta, Cinta itu dalam rahasia Cahaya, dan pandangan seperti ini merupakan hal yang tidak bisa digambarkan--inilah misteri itu--kecuali pandangan langsung....

Kawan-kawan semua Nabi dan Rasul menyeru kepada manusia supaya mengingat dan mengucapkan Allah. Orang yang hanya mendengarkannya dengan telinga saja, lafal itu akan keluar melalui telinga lainnya, orang yang mendengarnya dengan hatinya, maka lafal itu akan menghujam dalam hatinya, lalu meningkat--dengan cara diulang--sampai pada terbebasnya dari bunyi dan huruf, lalu menjadi asyik di dalamnya sehingga mereka tidak lagi sadar akan keberadaan dirinya....

Ingatanku yang mana ini, Wahai Kekasih....

Musik Cinta

Sedulurku tercinta, aku sangat mendukung musik dan tarian sebagai salah satu metode untuk melatih spiritual. Seandainya ada larangan musik--setahuku--itu tidak mengikat, artinya banyak ahli fikih yang secara spesifik meperbolehkan musik bagi orang-orang yang memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan diri. Kalau ada yang melarang itu hanya semacam kekhawatiran kalau musik hanya dinikmati secara indera yang lepas kontrol--mengumbar syahwat. Tetapi kalau musik dinikmati dengan hening, dalam kondisi fokus (khusyu') dan jauh dari keadaan yang tidak menyenangkan--misalnya dalam keadaan tidak lapar, sakit,atau jiwa yang ragu--musik dapat mempengaruhi bertambah kuatnya memahami keindahan Ilahi robbi.

Inilah yang bisa kita sebut Musik Cinta, karena apa saja sebenarnya di semesta ini bisa menjadi isyarat jiwa dan perantara jiwa untuk memahami keindahan Ilahi itu. Efek ini bisa menjadi tambah kuat melalui bentuk tarian, karena gerakan tubuh yang berulang-ulang--khususnya yang memutar-mutar itu--bisa menyerupai gerakan putaran semesta, pengaruhnya terhadap tubuh dan jiwa bisa naik ke awang-awang--bagai mi'raj itu.

Hal ini bisa terjadi karena keindahan dari benda-benda duniawi selaras dengan keindahan Ilahi, karena keindahan dan keadilan di alam ini, merefleksikan ketauhidan Tuhan, Allah itu. Karena itu tidak aneh kalau orang melihat wajah yang rupawan, bau parfum yang sangat wangi, dan suara indah dan merdu dapat mendorong seseorang untuk mempersepsikan keindahan Tuhan dan dengan cara demikian akan menjadikan manusia terbebas melampaui pembatas-pembatas jiwanya.

Gambaran ini sama dengan ayat-ayat yang disampaikan para Nabi yang tiada bandingannya untuk membangkitkan gairah imajinasi dari orang-orang yang--maaf--bebal. Bila demikian, dari melampaui batas-batas jiwanya itu orang dapat terbebas dari dominasinya dan beralih pada kepatuhan dan keyakinan atau iman itu.

Coba dengarkanlah orkrestanya Beethoven, orkestranya Ummi Kultsum, orkestranya Kiai Kanjeng Cak Nun itu, atau apa saja musik kesukaanmu, maka di situ kita akan merasakan keagungan Tuhan dengan keadaan yang sesuai penggapaian jiwa terhadap keindahan Ilahi itu. Andai seburuk apapun musik--aku terharu--bagi Gus Mik melihat bahwa musik sedemikian saja dan dengan tarian yang sensual itu, tetap menjadi tanda-tanda (jelas memberhala--maaf), dan dido'akan: Ya Allah, orang-orang ini melihat dan mendengar demikian saja sudah mabuk kepayang, bimbinglah hatinya untuk menanjak memandangMu, tentu mereka akan mengalami jutaan kali kemabukan atas pasona keindahan MU itu.

Sebagaimana Rumi, yang mendengar ketukan tukang pande besi yang demikian saja, di telinga orang pukulan besi itu berbunyi: dang, deng, dong, dang, deng, dong, tetapi di hati Rumi bunyi pukulan besi itu menjadi musik cinta: hu, hu, hu, hu, Dia, Dia, Dia, Dia. Dalam seribu kemabukan Rumi, menari bagai tarian semesta pada porosnya, sampai kakinya bisa terangkat satu meter dari atas tanah, bagai gasing itu. Dan sampai hari ini tidak ada satupun yang sudah belajar tari Darwis ini puluhan tahun, bisa menyamai Rumi menari itu, walau 4000 penari datang saat khulnya itu, tak satupun bisa....

Kawan-kawan, bagaimana diri kita kala mendengar musik alam: burung menyanyi, deru gelombang lautan, angin mendesir pada gesekan daun bambu, tetesan air hujan dari atas genting: tik, tik, tik, halilintar menggelegar, katak bernyanyi pada sepanjang malam hari, anjing mengonggong, ayam berkokok, kambing mengembik, singa mengaum, adzan menggema, tarkhim membahana di fajar hari, Qur'an mengalun dari bibir qori'nya, gema shalawat dengan rancak rebananya, gitar dipetik, biola digesek, seruling ditiup, drum di pukul, mandolin dimainkan, siter dibunyikan, gendang ditabuh, gamelan dialunkan, jangkrik berjingkrak dengan kidung semalam, sampai bunyi kentut dengan berbagai variasinya itu.

Andai kita bayangkan dakam waktu yang bersamaan, bukanlah itu musik orkestra alam yang sangat indah, yang tak bisa ditiru oleh siapapun dan mengema agung dalam jeritan hati: hu, hu, hu, hu, hu, hu, Dia, Dua, Dia, Dia, Dia, Dia....

Engkaupun menari dalam kemabukan ini, sebab mana yang tidak mengabarkan tentang Dia, bagai Rumi menari itu....

Dzat Cinta

Sedulurku tercinta, kalau manusia menyembah Tuhan yang diciptakan secara imajiner dan artifisial, karena setiap orang telah membangun semacam bentuk imajiner dalam pikirannya, yang dianggap sebagai Tuhan yang Mutlak. Pola keberagamaan ini menyembah bentuk Tuhan, meskipun sebenarnya Tuhan tersebut hanyalah sebuah produk artifisial pikiran manusia.

Lihatlah pada ranah pergaulan, mereka--amat parah--menganggap orang-orang yang disebut menyembah berhala itu adalah sesat, mereka menuduh kafir dan pengikut setia patung-patung berhala. Nah, padahal kesalahan tersebut juga ada pada diri mereka sendiri sebab mereka juga menyembah berhala--imajiner itu.

Keimanan ini tertuju hanya kepada berhala, maka keberagamaan ini tidak menyadari adanya Tuhan dari segala Tuhan--Kebaikan Yang Mutlak. Ranah ini bisa diklasifikasikan benere dewe, naik ke benere orang banyak karena ada perbedaan antara tuhan model tersebut dengan Tuhan dari semua Tuhan itu. Orang-orang yang mencapai Wajah Tuhan tetapi bukan dzat Tuhan adalah para penyembah berhala--buktinya kawan--siang malam bertarung dan berdebat dengan orang lain, orangnya fanatik buta dan tidak memiliki serta menentang sikap siapapun yang berbeda dengan mereka itu.

Sedangkan orang-orang yang mencapai Wajah dan Dzat Tuhan, menyembah hanya kepada Tuhan Yang Esa itu, sebagai sorang muwahhid dan membebaskan diri dari penyembahan berhala, buktinya merekalah orang-orang yang menciptakan perdamaian dengan seluruh umat manusia dan membebaskan diri dari perselisihan dan pencelaan ide-ide orang lain. Dengan kata lain, bila seseorang belum mencapai pada tataran tersebut--akuilah saja--pandangan mencapai Wajah Tuhan itu menunjukkan ia masih politeis yang membuat sekutu untuk Tuhan (yang disebut musyrik itu), meskipun pada dataran pengakuannya ia mengaku menyembah Tuhan.

Orang ini disebut oleh Allah--dalam Qur'an--Dan mereka tidak menghormati Allah dengan semestinya. Allah dengan struktur khayalan pribadi inilah yang disebut tidak menghormati dengan semestinya, karena hal ini bagian dari mempertahankan pemujaan pada diri sendiri. Sesuatu yang dipahami melalui akal dan pandangan mata merupakan gambaran yang terbentuk oleh fantasi dan hayalan semata--yang subyektif--karena khayalan itu tunduk pada batas-batas rasio dan khayalan itu sendiri.

Pada ujungnya, apa yang aku paparkan ini bagian dari proses mengajak pengejawantahan cinta pada dataran kenyataan atas dasar keyakinan Tuhan dari segala tuhan, dimana wujud nyatanya adalah mempersiapkan diri dengan sifat pengabdian, berprilaku sangat lapang dada, dan terbebas serta jauh dari segala kepentingan atau gangguan yang formal atau spiritual itu.

Dengan demikian bisa diperjelas buktinya antara orang yang memandang Wajah Tuhan dengan Dzat Tuhan--bahasaku Dzat Cinta--terbaca dalam kenyataan, dimana bagi yang pertama masih mengedepankan pertengkaran yang kedua mengejawantahkan perdamaian abadi. Bagi yang merasakan Dzat Cinta, maka ia akan memuji apa pun yang essensinya baik dan yang menyebabkan kesempurnaan manusia.

Biarkan dan relakan setiap agama dan umat memelihara ritual dan ibadah mereka masing-masing, karena sikap terpancing dan terikat pada kata-kata (Jawa, aran) dan ekspresi masing-masing agama adalah bentuk kekafiran juga. Jadinya--aku ingat dawuh Kanjeng Nai saw--kalau orang mengafirkan orang maka hakekatnya ia adalah orang kafir itu sendiri....

Kawan-kawan, aku rindu pada suasana damai yang saling menyadari bahwa berbagai macam wujud tajjaliNya ini, ditampilkan dalam berbagai keyakinan umat manusia adalah seruling jiwa yang rindu akan kembali ke rumpun bambu itu--walau berbeda--sesunguhnya berdasar pada Cinta kepada Wujud yang Satu itu....

Punten Semuanya....

Berhala Cinta

Sedulurku tercinta, aku menghabiskan sebagian besar hidupku untuk merenungkan dan mengenang ilmu dan kehadiran Tuhan--cahaya Ketauhidan. Berkelana tidak ke Mesir, ke Yaman, ke Mekah, ke Medinah, ke New York, ke Amsterdam, ke Berlin, ke Cina dan kemana-mana, tetapi aku latih merenungkan dan mengenang sekaligus merasakan ketauhidan itu dengan cara mendatangi kuburan-kuburan, untuk merasakan dan menghadirkan ilmu ketiadaan--bukan meminta sesuatu seperti yang banyak orang tuduhkan itu.

Aku tidak peduli siang apa malam, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, desa apa kota, gelap apa terang, sehat apa sakit, pahit apa manis, dipuji apa dihina, jauh apa dekat, berat apa ringan, sendiri apa berkawan dan seterusnya. Begitu banyak aku baca tulisan yang menakjubkan, mengungkapkan perkataan-perkataan yang indah dan memikat, wujudnya buku-buku serta kitab-kitab dari yang ringan sampai yang berat-berat. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu sedikit pun menikmati suguhan-suguhan Allah itu, termasuk menikmati buku-buku dan kitab-kitab agama lain, termasuk aliran-aliran apa saja.

Pada kesimpuanku, apa yang aku nikmati semua ini--tentu dengan susah payah--merupakan tadarrus kehidupan, dengan dasar bahwa tulisan apa saja itu bersumber dari dari bahasa kalbu, bukan di tempat manapun. Aku cari maknanya semua ini dalam kalbuku, aku selami setiap pertanyaan dan panggilan, aku ketuk pintu pada diriku tanpa mengabaikan bilangan pintu-pintu karena setiap keberadaan ini pintu menuju Tuhan, Allah swt.

Dasarnya sederhana namun sarat makna: Sesunguhnya--firman Tuhan--semua yang ada bertasbih kepadaNya. Kalau manusia memandang Tuhan masih dalam dataran wujud--entah kasar atau halus--maka sebenarnya ia langsung menjadi berhala. Namun dalam ranah Jalan Cinta, semua berhala itu adalah isyarat dan tanda yang menyingkap Tuhan dalam Cinta dan Kesatuan. Inilah prinsipku yang melandasi bahwa setiap ikat pinggang kependetaan adalah kesetiaan melayani umat manusia dan alam semesta.

Apa yang menjadi olok-olok manusia satu dengan yang lain--maaf, menurutku amat primitif--misalnya antara iman dan kekufuran, pujian dan hujatan itu pada Wujud, selalu abadi dan tetap, makanya apa yang orang bilang kemusyrikan dan Ketauhidan itu hanyalah Satu. Setiap orang muslim jangan merasa banggga dengan menghina keberadaan yang berbeda dalam keragaman semua ini, karena segala sesuatu yang berasal dari Wujud itu berubah dalam berbagai macam bentuk, maka satu dari keseluruhan bentuk tersebut berasal dari Ruh yang sama.

Setiap orang yang berbeda dengan diriku--orang ada yang bilang kafir itu--janganlah berkecil hati karena aku pandang: kegairahan hasrat mencari yang misteri itu--dibalik berhala sekalipun atau bayang-bayang suram yang pernah dilihat orang--kemudian mewujud dalam kepasrahan (bahasa arabnya Islam) itu lebih baik daripada orang yang bersimpuh di masjid tetapi membawa hawa sok suci itu.

Kalau orang mau melihat berhala yang abstrak ini dalam dirinya, maka ia akan merasa jijik pada prilakunya yang suka menghina-hina saudaranya itu--dalam kesatuan persaudaraan sesama makhluk Tuhan. Lebih sederhananya kalau orang menyembah berhala kongkrit saja sedemikian melahirkan ketundukan hati, kenapa orang yang merasa sok suci--menyembah bayang-bayang suram itu--melahirkan kepongahan yang bisa diklasifikasikan Kanjeng Nabi saw sebagai orang gila yang hahiki ini.

Aku sebut bayang-bayang suram karena siapapun yang membayangkan Tuhan secara demikian, ini menjelma menjadi berhala juga--secara abstrak--karena Dia tidak bisa di gambarkan dengan sesuatu (tan kinoyo opo-Jawa), Dia berada dibalik semua yang tergambarkan--kasarnya--Dia berada dibalik berhala ini semua....

Kawan-kawan, maafkanlah aku, atas kesederhaan pemikiranku, atas kebodohanku menangkap isyarat itu, atas kehinaanku yang rindu akan kesempurnaan adabNya, yang lemah atas keterseokan dalam perjalanan menujuNya, aku ngeri melihat pertentangan dan percekcokan itu, aku rindu akan Taman yang menghargai setiap ciptaanNya itu, bagiku Tuhan tanpa kesalahan, aku aksiomakan semua ini bagai akar dan cabang-cabangnya Iman, ini semua--maafkan aku--dari al-Qur'an itu: semua yang dicipta tidak ada kesia-siaan dan tidak ada kesalahan dalam ciptaan Tuhan....

Aku menangis dalam sunyi, atas kesaksian yang Indah ini....