Sedulurku tercinta, ada seorang petani ketela pohon kehilangan beberapa batang dengan cara periodik, ia sadari sebagai sedekah. Termasuk hewan apa saja yang mengambil buah tanamannya, ia sadari sebagai sedekah. Itulah cahaya Rosul, cahaya Allah juga asalnya.
Pada terang bulan purnama petani ini keliling ke ladang, sebenarnya itu hanya cara untuk mengulur agar tidak terlalu tidur awal, hal ini tujuannya untuk menjegat para malaikat yang diturunkan ke bumi untuk membagi rahmat, siapapun yang terjaga, harapannya dikabulkan oleh Tuhan, Allah. Malam itu ada sosok yang mengelebat dicahayai temaram rembulan, ia saksikan sosok perempuan paro baya.
Ia tahan nafas, tahan batuk, tahan tidak bergerak, agar sosok perempuan yang turun ke ladangnya tidak terganggu, bahkan rokok pun dibunuhnya. Perempuan itu amat terburu, dengan segera mengencingi sebatang pohon agar mudah untuk mengangkatnya sebab air kencingnya menggemburkan tanah itu. Lalu perempuan itu terbirit pulang sementara petani itu mengikuti kemana langkah kaki terayun, dengan jarak agak jauh.
Pada akhirnya petani ini tahu, disudut desanya ada seorang janda yang ditinggal suaminya dengan anak tiga masih kanak-kanak semua, ya yang memungut sebatang pohon itu. Petani ini paham betul, rumahnya saja bahan dari bambu, atap rumbia lantai masih tanah di pinggir sawah. Lewat lubang dinding rumah janda itu, semua peristiwa di dalamnya terekam begitu menyentuh hatinya, bagai Sayyidina Umar menyelidik rakyatnya. Ia kupas ketela itu dengan cepatnya, lalu ia masak di atas perapian kayu bakar. Semua gerak tercahayai oncor minyak tanah terbuat dari bekas kaleng makanan.
Tiba-tiba anaknya terkecil menangis (nglilir), ia redam dengan kidung rumekso ing wengi, caping gunung, semua ia lakukan untuk mengelabui anaknya yang kelaparan sejak sore hari, sampai tertidur. Begitu terus ia lakukan manakala sedang tidak ada rejeki untuk menjamin anak-anaknya. Bagitu ketela sudah masak, pada jam menunjukkan angka 3, semua anak dibangunkan. Ia suguhkan makanan ketela godok itu di atas piring.
Petani itu melihat--walau hanya ketela--makannya dengan hasrat yang penuh, sorot matanya menunjukkan kegembiraan, Ibunya tersenyum getir. Kegetiran ini mengemuka karena melihat anak bisa makan malam ini walau ketela karena hasil curian dari petani itu. Setelah semua selesai, Ibu janda itu meninabobokkan anaknya kembali dengan dekapan yang hangat, dekapan cinta Ibu kepada anak-anaknya, walau di atas ranjang bambu. Mereka semua pulas.
Petani itu lalu pulang dengan titik kesadaran bahwa mencuri seorang Ibu janda ini bukan mencuri, bukan......
Kawan-kawan, usai sholat shubuh dari langgar (musholla kampung), seperti ada yang mengabarkan di hati janda itu bahwa malam tadi ada yang melihat semua yang ia lakukan, ia silaturrahmi ke petani ketela. Tentu dengan mengemukakan banyak hal tentang kalau pas tidak ada kebutuhan, ia mengambil ketela dari ladang petani itu, ujungnya ia minta dihalalkan.
Oh….--jawab petani terbata-bata, iya Ibu, aku halalkan semuanya, aku halalkan dunia akhirat. Aku berpesan kalau mengambil besok lagi jangan malam-malam, siang saja. Seperti tupai, kera, atau binatang apa saja aku ikhlaskan mengambil buah tanamanku, sebagai persembahan cintaku, dan menjadi sedekah hidupku, karena aku yakin mereka juga punya anak pinak seperti diri kita ini. Lalu istrinya keluar dengan membawa sekanthong beras, diserahkan kepada janda paro baya itu dengan senyum keikhlasan.....
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Alhamdulillaah matur nuwun yai budi.atas taburan ilmunya.🙏🏻
BalasHapus