Sedulurku tercinta, kalau mau merenung kawan, pada hakekatnya seluruh tubuh kita itu cacat adanya, memandang sebatas ujungnya apalagi ada aling2, memukul sejauh jangkauan tangan kita, menendang sejauh jangkauan kaki kita, mendengar sejauh ujung gelombang telinga kita. Di tengah kecacatan yang sempurna ini, ternyata menyelubungi hati dengan segala ornamen-ornamennya, yang bisa menembus galaksi-galaksi kongkrit dan abstraksi. Bahkan hatilah yang bisa mengetuk arsy Tuhan, melintasi dimensi fisik, akal dan nafsu kita, terbang hingga disambut dengan gempita, salamun qaulan mirrobbirrahiim, ucapan selamat datang dari Tuhan.
Tidak usah jauh-jauh--pikirku sebagai sampel, aku punya sahabat yang dianugrahi ganjaran cacat mata oleh Tuhan, namanya kang Suradi asli Mranggen Demak. Orangnya masih muda, senyumnya selalu mengembang melebihi tubuhnya yang ndekil, jam tangan selalu ia pakai, tanpa kacamata, sehingga cacat matanya nampak terbuka, selalu pake peci putih lusuh, radio bagian dari sahabatnya, tas cangklong tentu, kebiasaannya menyanyikan lagu Umi Kultsum, legendaris musik orkresta asli Mesir itu, yang konon buta, sehingga aku lihat kalau tampil selalu pakai kacamata hitam, iya kan?
Ajaib kawan! Dia hampir hafal hari kematian para Wali dan orang2 shaleh. Ia bergerak tanpa tongkat, hanya diam sementara atau lama sekali, menanti Allah menggerakkan hati orang mendekat kepadanya dan bertanya--mau kemana? Ketika aku mengisi khoul mBah Khamid Kajoran, begitu aku naik mimbar mataku langsung tertuju ke dia itu, sambil gembira menepuk -nepuk lutut sambil geleng kanan kiri, aku tersenyum merasakan panggilan hatinya--aku ne kiai Budi! Ketika aku mengisi khoul di Padangan Bojonegoro, ia sudah tersenyum di depan panggung sambil melambai-lambaikan tangannya--aku ne kiai Budi! Ketika aku mengisi khoul di mbah Joned Ngayokjokarto, ia sudah cengengesan di samping panggung--aku ne kiai Budi! Begitu seterusnya spesial acara khaul-khaul, dia ada, dia ada, dia ada.
Sederhana dia bergerak, diam lalu ada saja Allah mengutus orang bertanya dan mengantarkan dari halte ke halte sepanjang jalan, sampai kawan, sampai, ya kayak loading itu sistem dia. Setiap usai acara aku suruh orang menuntun dia ke sisiku, aku rangkul dia, aku cium pipi sebagai pemahkotaan kengerian sepanjang jalan. Dan begitu di sisiku, ia dendangkan Wulidal Hudanya Umi Kultsum kesukaanku itu. Wulidal Hudaa... (walau suaranya parau, bikin aku menangis gembira), oh kang Suradi, kau hadirkan jejak-jejak kerinduan ini di hatiku.
Pasti, setiap pulangnya bersamaku, inilah pesta hatiku, sambil mijiti sekenanya kelelahanku, dia berdendang lagu Sukaaro, Oh Ya Salam, Ahlil Hawa, Amli Hayati, semuanya dari Umi Kultsum.... Kawan2, begitu sampai Mranggen ia bergerak sendiri menelusuri lorong2 kampung, tanpa tongkat menuju rumahnya, lagi2 dengan bernyanyi-nyanyi lirih….
Wulidal Hudaa….
Kang Suradi--hatiku bicara--engkau tidak cacat, engkau tidak cacat, engkau tidak cacat….
Senin, 07 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar