Jumat, 18 Juni 2010

Keadilan Cinta

Sedulurku tercinta,ketika cinta dipahami secara holistik (penuh) dengan merangkum segenap unsur-unsurnya, maka orang akan melihat dengan jelas akan keseimbangan hidup, tidak ada yang gecol di semesta raya ini. Diri akan terasa damai sekali walau dirundung persoalan hidup yang dipahami secara adil itu, ia akan semakin membungkan mulut untuk banyak omong karena terpesona oleh keindahan keadilan, paling-paling ia akan melempar senyum, senyum yang indaaah sekali.

Seandainya ia berani omong, paling-paling beraninya yang baik-baik saja, karena pandangan pesona hatinya tidak memungkinkan ada ruang bagi keburukan, tidak ada, tidak ada. Kalau diri itu merajut cinta dalam mahligai keluarga, maka akan tercipta sakinah mawaddah warrahmah. Sampai-sampai Kanjeng Nabi menyebut keluarga yang rukun itu: suasana surga yang diturunkan Tuhan di bumi. Kalau diri-diri semacam ini mengurusi kenegaraan, maka akan tercipta suatu negara yang baldatun thayyibatun warobbun ghafuur. Penduduknya akan menampilkan tarian cinta dalam bentuk saling menyapa, saling silaturrahmi, saling menolong, saling mendo'akan, saling, saling, saling.

Setiap diri merasa bahwa kelengkapan hidupnya ditentukan oleh kehadiran pihak lain, bukan sebaliknya kehadiran orang lain bagian dari hal yang mengancam hidupnya, bukan. Kalau diri ini menjadi penghuni dunia maka pandangan keadilan itu membawa kepada sikap ketenangan yang luar biasa. Lihatlah atribut-atribut dunia menjadi sarana pertengkaran yang cenderung primitif, maju kebelakang.

Lihatlah, banyak orang yang tidak memahami rububiyah Tuhan, mereka menjadi tuhan itu sendiri, mereka menyerang penyembag berhala, mereka menjadi berhala itu sendiri. Mereka mengutuk setan, aneh bin ajaib mereka menjadi mBahnya setan, menjadi Iblis itu sendiri.

Aku tidak benci kepada atribut, karena bisa dijadikan sarana-sarana menggabungkan energi cinta, agar lebih dahsyat bentuk pelayanan sesuai dengan wilayah keluarga, organisasi apa saja, negara apa saja, agama apa saja. Setiap keberadaan pasti atas izin karunia Tuhan, kalau tidak, mengapa mereka tetap dihidupkan.

Ini berarti kita pahami teritorialnya cinta, bisa Rahman bisa Rahim. Hati-hatilah berbicara, karena sekelas Nabi Musa bisa ditegur Gusti Allah atas kelancangannya meremehkan ungkapan cinta seorang pengembala, di gurun sahara itu, apalagi kita-kita ini, kelasnya apa. Termasuk soal keadilan ini, Nabi Musa menggesa: tunjukkan keadilanMU. Maka Tuhan memerintahkan Musa duduk di pinggir kolam: Lihatlah Musa, di seberang kolam, apa yang akan terjadi.

Nampaklah peristiwa terjadi, segerombolan rampok datang mabuk dengan meletakkan barang rampokan. Sejenak ada pemuda langsung mengambil barang itu. Begitu para perampok itu sadar dari kemabukannya, sejenak datang orang tua bertongkat, jalannya membungkuk-bungkuk, nampak tanpa salah. Kesimpulan perampok: karena barang rampokan tidak ada, di puncak kemarahannya para perampok itu membunuh orang sepuh bertongkat itu. Ya Allah--gesa Nabi Musa, aku tambah tidak faham......

Kawan-kawan, akhirnya dijawab oleh Tuhan bahwa anak muda itu tidak salah karena mengambil barangnya sendiri yang dirampok, sementara perampok itu membunuh orang sepuh itu juga bukan kesalahan, karena orang bertongkat itu--dulu, beberapa puluh tahun yang lalu--yang membunuh ayahnya anak muda yang mengambil hartanya sendiri itu. Banyak orang yang bagai Nabi Musa itu: kenapa keadaan begini, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa….

Mereka belum Me-Muhammad!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar