Kamis, 17 Juni 2010

Mainkan Saja Cinta

Sedulurku tercinta, pada pengkajian cinta di pengajian As-Sajadah Kandang Juarang Doank Tangerang, tempat keluarga Dick Doank menggelar pelayanan cinta. Semua bentuk servis itu gratis, cuma harus ingat pesan indahnya: jangan buang sampah sembarangan. Malam itu bertaburan makna cinta, mulai penampilan anak-anak yang menyatu jiwanya dengan gerak dan nyanyi-nyanyi. Penampilan group marawis dari Bojonegoro (al-Majnun) yang rancak dan enak itu, musik bambunya Mas Plompong, dan penampilan musik yang alatnya dari barang-barang bekas namun menjadi sarana menyatunya jiwa-jiwa pemainnya.

Acara dilanjut dengan dialog tentang cinta dengan segala pernik-perniknya. Acara suntuk sampai jam dua pagi, dan aku baru diminta untuk mengisi. Biasa, karena kelemahanku tidak mampu membahasakan secara rinci tentang misteri Cinta, maka terus terang kepada hadirin bahwa apa-apa yang sudah dikaji semalaman ini begitu indah.

Baru mendengar kata-kata yang indah saja sedang menggembirakan,alangkah gembiranya manakala melihat jiwa-jiwa pengungkapnya, karena kata-kata adalah bayangan jiwa. Mendengar bunyi-bunyi musik semuanya menyenangkan, alangkah senangnya jiwa-jiwa penabuhnya itu. Kamudian aku perluas, melihat semesta ini indah dengan keberadaan yang orkrestatif, apalagi indahnya Pencipta. Semua persembahan ini merupakan tindakan yang berkata-kata, sementara banyak orang yang tindakannya hanya berkata-kata.

Perhelatan itu sudah merupakan kekayaan hidup yang bermanfaat, ekspresi cinta yang sudah dilaksanakan. Sarana-sarana diri ini sangat cangggih, kalau akal kerjanya merenung, lahirlah ketrampilan hidup: kayu diubah menjadi kursi meja, tanah bisa diubah menjadi keramik, logam bisa diubah menjadi mesin dan pesawat. Kalau hati kerjanya mengenang, lahirlah cinta: seorang anak harus mengenang kasih sayang orang tua maka lahirlah adab birrul walidain, kalau murid harus mengenang derita guru mentranformasi cahaya maka lahirlah takdziman watakriman, kalau seorang suami harus mengenang prahara istrinya maka lahirlah kesetiaan hidup, kalau seorang istri harus mengenang kerja kerasnya suami sehingga ketika menerima uang jangan sekedar menghitung jumlahnya (ini kerja akal), tetapi harus mengusung di hatinya betapa uang itu tetesan peluh suami, diluar rumah. Maka kalau suami pulang songsonglah bagai selamat pulang perang, sediakan minuman kesukaannya, manakala menggelepar kelelahan di ranjang, dekatilah antarkan lelap tidurnya--mungkin hanya sentuhan beberapa saat saja, beres. Kalau seorang menantu maka kenanglah kerelaan mertua yang melepaskan permata hatinya, yang segala cintanya telah dicurahkan kepada anak itu, maka ketika kita menerima anak itu sebagai suami istri, maka cinta dan kasih sayang yang telah dilaksanakan untuk kita teruskan, dalam mahligai rumah tangga, jangan disakiti dan disia-siakan. Blablablabla!

Akhirnya aku menyatakan bahwa semesta ini merupakan instrumen, soal merasakan cinta: ayo kita mainkan saja! Seruling disebut seruling kalau kita tiup, mandolin dan gitar disebut mandolin dan gitar kalau kita petik. Siapa bilang benda-benda bekas ini sampah, di tangan orang yang yang memiliki cinta, itu semua adalah alat yang melahirkan lagu. Siapa bilang derita menyengsarakan, di altar pecinta ia adalah pemanis hati yang melahirkan keterjagaan hati, malah pada puncak derita, Tuhan bermahkota….

Kawan-kawan, malam itu semua alat musik aku minta dimainkan, maka heteroginitas sarana menjadi menyatu dalam Satu Melodi, melodi cinta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar