Kamis, 17 Juni 2010

Pilot Cinta

Sedulurku tercinta, setiap diri adalah pemimpin, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Jangankan sejauh menjadi Presiden, menjadi Ketua MPR, menjadi Mentri, menjadi Gubernur, menjadi Bupati, menjadi Camat, menjadi Lurah, menjadi Ketua Partai, menjadi Ketua Jamiyah, Bos perusahaan, Sopir, Pilot dan lain sebagainya.

Diri ini juga, tidak segampang yang nampak hanya seonggok daging dan tulang belulang, tetapi strukturnya juga amat njlimet yang membutuhkan kepemimpinan. Misalnya--firman Allah, Wahai anak cucu Adam, dalam dirimu ada Jasad, dalam Jasad ada Shudur, dalam Shudur ada Fuaad, dalam Fuaad ada Qolbu, dalam Qolbu ada Tsaqof, dalam Tsaqof ada Lubb, dalam Lubb ada Sirr, Wahai anak cucu Adam--dalam Sirr ada Aku.

Aku tidak akan melihat posisi sebagai apa, tetapi semuanya akan nampak jelas dan terang manakala berdasar akan Ingsun (aku) sejati itu. Manakala orang kesulitan mencapai titik itu, Allah sayang, dengan cara memberi panduan dan pembimbing sepanjang jalan kehidupan, adanya Kitab dan para Nabi Rosul, serta simboliknya alam semesta sebagai tongkat yang nuntun manakala belum bisa memandangNya.
Lihatlah fenomena seorang pilot ini misalnya, asalnya Jepara, saya tahu daerah ini keberagamaannya kuat, malah anaknya Kiai. Ketika pesawat Garuda yang ia kendalikan mesinnya mati ketika mau turun ke Jogja, ia berusaha menghidupkan mesin cadangan, mati juga. Bisa dibayangkan, pesawat dengan bobot buluhan ton meluncur tanpa bisa dikendalikan, akal sudah mati, ratusan penumpang akalnya terbakar. Saat pramugari mengumumkan kondisi sebenarnya, hati mereka menyala, Tuhan bermahkota, perbedaan keyakinan saat itu mengarah pada satu titik--Dia itu--apapun mereka menamakannya, menyerah, mati sebelum mati, semua mimpi tentang dunia musnah, hanya berharap Dia, Dia, Dia.

Sang Pilot juga demikian, ditengah pesawat yang secara teknis akal sudah mentok, sementara pesawat di awang-awang meluncur tak terarah, dengan bobot seberat itu--bisa dibayangkan--apa yang terjadi. Pilot itu akhirnya duduk sambil sedekap tangannya kayak orang sholat itu, mata ia pejamkan (ia fanakan diri), segenap sendi bergetar, mulut terkatup, tapi hatinya bicara dalam sunyi--air matanya keluar--menggesa ke Dia--Yaa Allah, aku sebelum titik momentum ini selalu menyerah kepadaMu, kini saatnya Engkau tunjukkan kuasaMu, aku tidak bisa apa-apa, seratus akal terbakar oleh cintaMu, ketika mesin ini hidup akulah yang Engkau percayai memimpin, tetapi saat mesin kedua-duanya mati, aku serahkan diriku dan seluruh penumpang ini kepadaMu, Engkaulah yang memimpin....

Kawan-kawan, lihatlah, pesawat Garuda itu turun dengan kecepatan tinggi, landing di sebuah sungai dekat rumah Mas Islamiyanto (vokal Kiai Kanjeng) dengan utuh, penumpang seluruhnya selamat, kecuali seorang pramugari yang mau menyelamatkan diri saat membuka pintu keluar, begitu loncat malah mati. Perlu diketahui beberapa meter kedepan ada jembatan kereta api melintang di sungai itu, dan pesawat berhenti sebelum membentur jembatan, dan Dia jatuhkan di Dusun yang orang-orangnya menolong dengan ikhlas.

Sebagai tanda syukur penumpang, mereka bangunkan masjid dan kantor balai desa itu sebagai monumen dahsyat ini. Ketika aku lihat Pilot ini diwancarai sebuah Stasion TV, akan diberi hadiah atas jasanya, Pilot itu dengan berurai airmatanya mengatakan--Jangan beri aku hadiah dan anugerah apa pun, aku tidak mau menerimanya, karena yang membikin pesawat itu selamat bukan aku (sambil menggeleng), bukan aku, bukan aku, bukan aku, bukan aku....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar