Kamis, 17 Juni 2010

Titipan Cinta

Sedulurku tercinta, tempo hari setelah sebuah kapal di pantai utara Jawa--Senopati Nusantara--tenggelam, seluruh penumpang yang jumlahnya ribuan, kocar-kacir di lautan lepas berombak, disamping banyak yang tenggelam berbarengan dengan kapal itu, mati. Seluruh jamaah pengajian pesantren aku ajak bersama nyambangi di Pelabuhan Tajung Mas menyapa mereka dan keluarganya yang meninggal--tahlilan--dan tabur bunga di lepas pantai.

Ada seorang Ibu muda, sudah sebulan makan minum tidur di situ. Aku lihat auranya, aku membayangkan Nabi Yakqub kehilangan Yusuf, karena Ibu itu kehilangan anak satu-satunya yang berumur 7 tahun. Semula ia berdua naik perahu karet bersama 20 orang, karena terombang ambing di samodra, pertolongan tidak datang-datang. Dia merekam kejadian di perahu karet itu, banyak yang tidak kuat, mereka satu demi satu meninggal, ada ciri-cirinya sebelum meninggal, mereka mengigau (dleming), lalu nafasnya hilang, langsung diturunkan ke laut. Minum air laut, perut akan hancur, banyak yang menyumpal perutnya dengan makan pakaiannya sendiri, bahkan makan celana dalamnya sendiri, sampai kotorannya sendiri, minum air kencingnya sendiri, tetap menjemput ajal. Baginya makanan fisik ternyata tidak menjamin kehidupan.

Saat itu ia dan anaknya merangsum diri dengan mengingatNya, dzikir Allah. Dia dan anaknya pun merangsum diri dengan shalawat Nabi. Dapet dari mana dia mengatakan bahwa Nabi dawuh, Aku adalah kapal ditengah lautan semesta raya. Bukan perahu karet ini yang menyelamatkan. Penumpang tinggal 10 orang, sudah 5 hari terapung-apung, hari ke 6 perahu karet itu kempes, mereka semua saling mengucapkan selamat tinggal, perpisahan yang sangat-sangat miris dan mengharukan. Dalam dekapan terkhir dengan anaknya semata wayang itu, di tengah gebalau ombak, desir angin dan jeritan pilu, takbir menggema--Nak, kita harus berpisah, jangan takut nak, bukan perahu ini yang menyelamatkan nak, tetapi Allah, bukan kita nak, kita berharap Kanjeng Nabi mengambil tangan kita, panggillah beliau dengan selawat yang telah aku ajarkan itu, aku pasrahkan kepada Allah, sandaran kita setelah Allah nak, ya Kanjeng Nabi itu, aku titipkan engkau kepadaNya dan kekasihNya, sabarlah nak.

Di puncak prahara kayak gitu, dalam kesucian hati anaknya masih mengelebatkan senyum,senyum yang sangat indah, yang memberikan energi tak terhingga kepadanya. Anak itu bagai Nabi Ismail mau disembelih bapaknya, Ibrahim--kepasrahannya. Ibu itu mengecup seluruh tubuh anaknya, dengan cepat, karena berpacu dengan waktu, takbir ia jeritkan menembus debur ombak.

Dalam hitungan berjam-jam ia berenang, hanya untuk mengapung, ia akhirnya tertolong oleh nelayan dengan perahu kecil, sampai ke Tanjung Mas itu. Kini ia menunggu anaknya, menunggu, menunggu, menunggu sebulan, Menunggu dengan keyakinan, bahwa ia sudah titipkan ke Allah, dan minta tangannya diambil Kanjeng Nabi. Keyakinan yang penuh, genggaman hati yang kuat, ia di panggil petugas Pelabuhan bahwa ada anak yang mencari ibunya, umur 7 tahun. Seketika ia menjerit takbir dengan tingkat kegilaan, lari mendekati televisi, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allahu Akbar....

Kawan-kawan, sungguh benar anaknya di Pelabuhan Surabaya, seketika dia berangkat ke Terminal Terboyo berangkat menuju Surabaya menjemput titipan cinta. Aku pegang tanganya sebelum berangat, aku lepas kerudung istriku, aku kenakan dengan tanganku sendiri, bagai memahkotainya, itu Ibu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar