Jumat, 18 Juni 2010

Panggilan Cinta

Sedulurku tercinta, aku sering menungguhi saat-saat orang sedang sekaratul maut: nenek-nenek dari ayah ibuku, beberapa orang kampung, sampai Ibunya saudaraku Dick Doank itu. Tetapi orang yang satu ini aneh: dia dan keluarganya tidak kenal aku. Dalam sekaratnya, dia bisa bicara patah-patah menyuruh suaminya --seorang tentara--mencarikan orang yang namanya Kiai Budi. Tentu suaminya gelagapan, dimana Kiai Budi berada, posisi yang sekarat ini berada di Rumah Sakit Tentara Magelang.

Tanya, tanya, tanya sesama tentara lewat HT antar tentara, pencarian cepat terjawab. Ada seorang anggota koramil kecamatan Tembalang Semarang datang ke Pesantren, aku diminta saat itu juga ke sana. Gayaku meniru adab Kanjeng Nabi, tidak ada yang tidak (lawala). Dengan mobil Blazer (bukan miliku) aku meluncur ke Magelang, karena melayani orang sekaratul maut, aku suruh secepat angin itu sopir.

Begitu sampai Rumah Sakit, nampak sosok perempuan pucat, membujur diselimuti kain putih, dikelilingi keluarganya--tentu dengan mata yang sembab semuanya: ayah ibunya, suaminya, kakak adiknya, beberapa kawannya sesama istri tentara. Bagitu aku datang, suaminya membisikkan ke telinga istrinya: Pak Kiai Budi datang.

Aku amati, dia membuka matanya amat pelaaan, bibir bergerak pelaan, suaranya tipis, lalu bilang--sambil terngah-engah: Pak Budi, sebelum aku mati, bimbinglah aku sholawat dulu....

Kemudian aku tanya, ada permintaa apa lagi, dia menjawab: aku mau minta minum berempat (aku, dia, kedua orang tuanya yang terbang dari Riau ). Setelah kami minum segelas air putih berempat, terakhir dia, aku sambil jongkok supaya setara dengan telinga kanan dia, membimbing selawat. Saat itu aku teringat kata suci Kanjeng Nabi, barangsiapa yang bersholawat--tentu dengan keriduan yang tiada terperi--saat matinya, malaikat Izrail mencabut nyawanya dengan adab sopan santun mencabut nyawa para Nabi dan Rasul.

Dan saat seperti itu aku merasa bahwa fadlilah bersholawat dengan cara mengikuti jejak-jejak cintanya, bertaburan memenuhi semesta raya, sampai pada perempuan ini. Dan Nabi saw itu orang yang tidak tegaan, tentu derita perempuan yang sakit lever akut ini tidak berkepanjangan. Namun pihak keluarga, tentu tetap pada harapan ada keajaiban kesembuhan, siapa sih yang begitu gampang rela ditinggal mati sanak keluarganya.

Dengan pelan-pelan aku tempelkan bibirku ke telinga perempuan ini,sholawat terpendek: Allahumma, dia menirukan lembut pelan, Allahumma. Shalli 'alaa, dia menirukan, shalli 'alaa. Sayyidina, dia menurukan, Sayyidina. Muhammad, dia menirukan tersendat, Muhammad. Demikian terus sampai sebelas kali, setelah itu dia berbisik terimakasih dengan ujung suara hilang, lalu mata dipejamkam lagi, selamanya….

Kawan-kawan, aku yang membimbing shalawat ini cemburu kepada perempuan ini, cemburu atas nyerinya rindu sampai pada titik ketidak sadarannya bisa sejenak menyempatkan berselawat dulu lalu meningggal, dengan berlinang airmata kerinduanku kepada Kekasih Allah itu, aku pulang ke Semarang dengan mulut terkatup: bisakah aku mengakhiri hidupku nanti seperti perempuan itu....

bisakah ya Allah....

bisakah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar