Jumat, 18 Juni 2010

Traveling Cinta

Sedulurku tercinta, kisah ini aku jadikan mengenang seorang guruku yang tawadlu', Romo K.H.Marwan Al-Hafidz, alumni mBah Arwani Kudus. Sepanjang perjalanan dari Semarang ke Riau pulang balik dengan mobil Colt T stasion. Beliau ini orang yang begitu gemati mengamalkan kesunahan yang sekecil-kecilnya, semisal memakai sandal, memakai baju, meludah, keluar masuk masjid atau musholla dan lain sebagainya.

Beliau ini seorang yang mengabadikan suci dari khadats kecil, artinya begitu batal karena sebab tertentu, langsung wudlu lagi, hal ini diamalkan sejak dari pesantren dulu sampai sesepuh ini--umurnya 60 tahun saat itu, beliau sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Bagitu mobil tua ini mau dhidupkan, do'a panjang beliau panjatkan, kami dan para santri yang diajak mengamininya. Yai dan aku duduk di jok tengah. Mobil melaju tidak cepat juga tidak lambat, dan mulailah kebiasaan beliau sepanjang jalan: tadarrus al-Qur'an mulai dari Fatihah, Al-Baqoroh dan seterusnya sebelum sampai ke lokasi sudah khatam plus do'anya, sementara kami mendengar dengan tenang, beliau memakmurkan dalam mobil itu dengan bacaan kita suci di luar kepada, karena hafal dengan tartil tingkat tinggi, sab'ah.

Begitu waktu istirahat tiba--biasanya ditepatkan pada jam-jam shalat--dan selalu di Masjid, setelah sholat usai baru makan dengan masakan yang dipersiapkan di tremos besar dengan lauk yang sudah diawetkan, semisal kering, sambal tomat dan krupuk, makan duduk melingkar dengan lahap.

Perjalanan dilanjutkan, kini biliau gantian membuka buku cacatan nukilan dari berbagai kitab: berupa hikmah, syair-syair nasehat sampai pada berbagai pengobatan untuk kesembuhan berbagai penyakit. Begitu terus sepanjang jalan, tadarrus, berkidung, bertutur hingga aku sendiri merasa panen taburan cinta berbagai sudut makna.

Beliau pernah bertanya: kiai Budi, bulan ketika di bayangan kolam itu menurut mata kepala di atas apa di bawah? Di bawah Yai--aku sahut. Menurut akal sehat--lanjut beliau--kenyataannya bulan itu di atas apa di bawah? Di atas Yai--aku sahut lagi. Lalu beliau memberi penegasan makna sebuah syair itu: ini persoalan untuk menerangkan ketawadzuan, ketika orang merendah dan hormat seseorang, nampak di kepala mata ia dibawah, tetapi pada pandangan akal yang sehat, orang seperti itu akhlaknya di atas alias luhur sekali.

Rumus ini yang membentuk kepribadianku untuk selalu merendah dan tawadzuk kepada siapa saja seperti yang dicontohkan beliau sepanjang hidupnya. Ribuan kilometer telah aku lalui, diselingi pengajian demi pengajian, shalat demi shalat, masjid demi masjid, pesantren demi pesantren, ayat demi ayat Al-Qur'an, khataman demi khataman, tawajuhan demi tawajuhan tharekat, hikmah demi hikmah, syair demi syair, kisah demi kisah, saudara demi saudara….

Kawan-kawan, pengalaman agamawi seperti ini, kini menjadi tenaga hidupku dalam melayani umat manusia, begitu entheng tanpa beban, malah aku rasakan sebagai keasyikan yang menyehatkan. Benturan peristiwa itu menjadikan kuat melek, betah lapar, ringan bersilaturrahmi, tahan banting sejarah, banyak sedulur, atas izin Allah diberi kesehatan seluruh keluargaku, dan lagi bisa-bisanya di tengah gebalau kegiatan yang padat seperti itu masih bisa menyempatkan--walau nyuri2 kesempatan--sampai anakku sembilan lahir konvensional, tanpa operasi satupun. Atas kurnia ini aku mendoakan kepadamu semua kawan: semoga hidupmu semua diberkahi, amin….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar