Sedulurku tercinta, orang ini aku kenal di traffic light kota Wali Demak, aku kenal pekerjaannya, jualan kacang godok di bangjo itu. Dengan caping kropak, tubuh tegap dan hitam legam kulitnya, senyumnya yang ikhlas ia berjihad menjemput rejeki Allah. Siapapun bisa menemui dia di tempat itu, setiap hari kerjanya yang rutin itu untuk menyuapi anak istrinya dengan halalan mubarokan thayyiban.
Saat mobilku berhenti di bangjo itu, aku membeli senyumnya yang bening itu dengan mengulurkan uang selembar lima ribuan, namun ia serahkan segepok kacang godok bungkusan plastik bening sambil uluk salam padaku, dan menyebut bungkusku--ini hadiah untuk pak Yai dan mohon berkahnya, katanya. Tentu aku amini sedalam hatiku, semoga Allah memberkahi orang sederhana namun rajin bekerja ini, sepertinya mengenalku.
Ternyata benar adanya, pada saat aku mengisi pengajian di daerah kota Wali itu, aku disambutnya dengan senyum yang sama saat aku membeli kacang godoknya, malah memintaku untuk mampir di rumahnya karena lokasinya tidak jauh dari tempat pengajian itu. Kali ini, tentu lain penampilannya, peci putih, baju koko putih juga, sarung hitam, serban merah melintang di pundaknya. Dan memperkenalkan bahwa dia di pengajian itu sebagai penabuh rebana yang mendampingiku. Soal permintaanya untuk mampir itu aku iyakan, seperti biasanya usai pengajian aku buat melek2 dengan silaturrahmi kenalan-kenalan.
Begitu usai pengajian dan ramah-tamah, aku pamit dan dipandunya menuju rumahnya. Betapa gembira dia begitu aku masuk rumah yang sederhana itu. Istrinya keluar dengan menyuguhkan kopi dan dua anaknya sudah bobok. Dengan semangat tukang asong ini bercerita, dan yang diceritakan ternyata dia simak apa yang pernah aku sampaikan tentang bekerja dengan cara keikhlasan, produknya akan menyenangkan hati manusia.
Teori ini dia pakai dalam menabuh rebana dengan ikhlas, ternyata tidak sekedar menyenangkan hati banyak orang, tetapi Rasulullah sendiri berkenan. Saat dia menabuh rebana pada suatu acara, demikian lama kasidah-kasidah itu didendangkan, yang ia tatap bukan rebana tetapi Rasulullah berkenan itu. Dia menabuh rebana sambil memejamkan mata, tidak tahunya ada seorang yang melihat tangannya berdarah-darah, namun tukang asongan itu sendiri tidak merasa pendarahan itu, ia asyik dan larut dalam menatap Rasulullah saw. Begitu usai acara, katanya, seseorang yang melihat pendarahan tangannya itulah yang menghadiainya bisa menunaikan ibadah haji, dan tentu yang menjadikan dia bisa berziarah ke pusara kekasih Allah itu, Rasulullah saw, Nabi yang membawa agama cinta itu,,,
Kawan, aku mendengar dan melihat, airmatanya mengucur deras, tapi bibirnya mengguratkan senyum,,, Aku pamit menjelang Shubuh, dan membawa oleh2, senyumnya yang bening, sama beningnya saat aku lihat di bangjo itu,,,
Minggu, 30 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar