Sedulurku tercinta, pada saat perempuan-perempuan yg di undang oleh siti Zulaikhah memandang pesona kegantengan Nabi Yusuf As, maka pisau yg sebenarnya untuk membelah mangga ternyata malah mengiris-ngiris tangan mereka, namun tidak terasa berkat pesona itu. Hal ini bisa berlaku juga pada pesona kecantikan wanita, wajah, alis, tai lalat, dan kemerah-merahan bibirnya, Tuhan lebih nampak terang dibalik selubung halus itu.
Inilah yg melatar belakangi wanita itu disebut bayang-bayang Tuhan. Kesadaran ini dimiliki oleh seorang kiyai ndeso (kampung) dimana jamaliyah Tuhan terselubungi oleh pesona wanita. Kenyataan ini sangat real didepan mata beliau ketika tetangganya nanggap dangdut dengan penyanyi-penyanyi berbusana minim sampai-sampai ketika mereka berjingkrak—maaf—terlihat celana dalamnya yg sebenarnya untuk menutupi barang yg diselempitkan Tuhan itu.
Pertunjukan ini membikin penonton bergembira ria sampai-sampai tak kenal lelah, tak kenal waktu, dan menjadi fly. Drama ini bukan tanpa sepengetahuan kyai, malah yg punya gawe pernah mohon restu kapadanya, dan dijawab,,apik,apik,apik. Dan—Masya Allah—kyai kampung itu ambil peran membantu yg punya gawe menjadi tukang parkir kendaraan penonton dibantu para murid-muridnya.
Sehingga sepertinya kyai itu bilang menontonlah dengan tenang, aku jaga kendaraan-kendaraan kamu itu. Bagi murid beliau, melihat pesona yg dipandang penonton itu bagai lilin-lilin kecil karena didadanya telah beliau tunjukkan ada matahari. Kalau didadamu ada matahari mengapa terpesona pada lilin, kalau dadamu bagai samudera mengapa terkecoh oleh sungai-sungai, sehingga pribadi murid itu menjadi megah. Kalau toh kenyataan didepan mata penonton itu terpesona kepada selubung-selubung halus, itu hanya merupakan tanjakan yang pada akhirnya, sesuai dengan perkembangan jiwa-jiwa seiring waktu akan naik juga dan berkembang.
Latarkabunna Thobaqon Anthobaq (Sungguh kamu semua akan naik setingkat demi setingkat). Pemahaman ini yang menjadikan kyai kampung itu memiliki adab tidak mau memperolok-olok, merendah-rendahkan , dan menghakimi pihak lain, karena beliau tau betul Uluhiyah dan Rububiyah Tuhan yang bersumber dari yang Satu itu.
Kegembiraan penonton dipandang sebagai hal yang temporal dan non-eksistensi, hanya selayang pandang, tidak abadi. Maka setelah usai perhelatan itu, suasana kembali ke sepi, sepi,sepi,sepi, dan sunyi. Sementara kegembiraan yg sesaat itu lepas, mereka kembali dihadapkan pada kenyataan-kenyataan hidup, pekerjaan tidak jelas, jodoh juga tidak jelas kapan, anak-anak besok harus sarapan pagi, istrinya menagih balanja, hutang belum terbayar, dan lain sebagainya.
Bagi para biduan esok paginya harus mengundang tukang pijet karena terkilir pantatnya saat goyang ngebor, ngecor, dan goyang patah-patah, semuanya terlelap dibuai malam. Namun kyai kampung ini justru terjaga beserta murid-muridnya di Musholla sebelah rumah, menyongsong cahaya subuh dengan takbir sholatnya, dan bermunajat yang diamini santrinya dengan kegairahan dan nyala hati….
Ya Allah malam ini kami bersyukur bisa melayani mereka dengan menjadi tukang parkir. Mereka baru melihat selubung-selubung halus-Mu, mereka sudah ambruk dan bersimpuh lupa selain itu. Kami mohon kepada-Mu tingkatkan pandangan mata hati mereka untuk sampai memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...
Melihat pesona-pesona itu saja mereka sudah bergembira ria, andai melihat pesona-pesona-Mu tentu kegembiraan itu menjadi tak terkira….
Kawan-kawan, doa kyai itu diamini dengan air mata para santrinya tepat pada saat Tarkhim bergema….
Ashssholatuwassalamualaik, Ya Rasuuuuulallooooooh….
Jumat, 04 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar