Sedulurku tercinta, dalam memori di hati, nampak jelas hingga kini, kalau aku bahasakan jadilah wujud tulisa-tulisan yang tak bertepi dan bisa aku suguhkan menjadi hidangan semesta ini. Dalam usiaku yang ke 47 ini, aku merasa sudah tua, tapi karena hatiku terbakar oleh Cinta maka suasana menjadi selalu muda. Cinta menjadi energi, yang hasrat dan geloranya bisa tumpah ruah mengalir di hati juga, wujudnya adalah kegembiraan hidup yang menyala-nyala. Cinta selalu melahirkan kesepakatan dari berbantahan, orang-orang yang mempunyai hati penuh cinta selalu akan mendapat pertolongan.
Cinta adalah kebaikan mutlak, apakah bentuknya spiritual ataukah sensual tidaklah penting, yang penting adalah bahwa cinta itu membawamu ke Cinta itu sendiri. Cinta dan imajinasi adalah pesulap yang menciptakan imaji Kekasih dalam pikiran, yang dengannya kita berbagi saat-saat intim yang rahasia. Bayangan tidak terbuat dari apapun, tetapi dari mulut muncul pertanyaan: Bukankah aku Kekasihmu? Dan dalam diri kita ada jawaban lembut : Ya, ya, ya, ya, ya, ya, ya.
Langit dan bumi terlalu sempit untuk menampung Cinta, cinta hanya bisa bersemayam di bidang yang sangat luas--yang penuh cinta juga--dalam hati pecinta, kita bisa mencari Dia di sana. Di sana itu aku mulai dari sebuah langgar (mushalla) kampung dengan bimbingan kasih sayang dari Kiai, setelah dari ayunan dan gendongan Ibuku. Langgarnya masih panggung terbuat dari bahan pohon kelapa, atapnya sudah genteng, dinding papannya dari kayu randu yang empuk itu--bila untuk tidur malam ramai-ramai selalu terasa hangat walau tanpa kemul. Halamannya sangat luas, tempat bermain gasing, jithungan, bal-balan, bahkan latihan gulat sama teman-teman, serta belbagai jenis mainan anak-anak, indah sekali, indah sekali, indah sekali.
Pada serambi langgar itu, lahir pemahaman bersama yang berasal dari belbagai kebijaksanaan yang sama, bukan dari bahasa yang sama. Pada serambi langggar itu terjadi ungkapan belbagai hal dengan satu hati, bukan satu lidah, bukan. Sumber kebaikan bisa aku lihat dari langgar itu awalnya, ada seorang Kiai yang baik hati kepadaku dan kawan-kawan, yang menumbuhkan keinsyafan berbagi kehidupan.
Dalam langgar itu sealalu ada semacam perayaan harian, Kiai selalu melumuri hatiku dengan keindahan perilaku atau adab, yang membukakan hatiku. Dalam hatiku yang tergerak oleh cinta, pelayanan semacam itu bagai permainan petak umpet, yang tempat tinggalnya di hatiku, cahaya Tuhan mulai nampak terang dalam fajar hidupku.
Walau aku anak yatim, tetapi pelayanan Kiai itu dengan cintanya nan manis membasuhku hingga bersih dari kepahitan dan kesepian hidup. Umur Kiai itu sepertinya sebuah kemabukan pelayanan dan pengabdian sampai beliau tidak mengetahui keadaan hidup yang sebenarnya. Usai Subuhan, aku mengaji sorogan di atas dampar yang sungguh-sungguh licin bukan karena amplas, tetapi karena gesekan atas penggeseran kitab dari banyak teman, murid-murid itu. Siang, setelah sholat dhuha, Kiai itu pake caping, memanggul cangkul, bawa sabit--pergi ke sawah. Hal ini nampak dalam pandangan hatiku, menunjukkan kerja, menamplakkan untuk mandiri, tanpa mau menyerah, namun pasrah bagai petani yang tak pernah putus asa itu, tahan banting sejarah.
Aku sepulang sekolah dasar, berjamaah bersama beliau dengan sebelumnya pepujian bareng yang menentramkan walau tanpa pengeras suara. Sore aku menuju ke madrasah yang dengan tarjet hafalan, sambil menelusuri lorong-lorong kampung menghafalkan nadhoman (syair-syair shorof, nahwu, tajwid). Sore, ditunggui Kiai itu, bagai Ibu menunggu anak-anak bermain, halaman langgar itu yang aku sebut seperti perayaan harian yang indah, belbagai permainan dipentaskan anak-anak seluruh kampung, sorak-sorai membahana, anak laki dan perempuan, sebagian ada yang terjadwal memenuhi air bak wudlu. Malamnya pesta ayat-ayat suci sampai isya', selepas ngaji bersama ada saja saat purnama, belbagai permainan digelar, dalam temaram cahaya, kami merasa bahagia.
Semuanya nampak spontan, hampir mirip sebuah kegilaan. Buku-buku belum aku kenal, agaknya saat itu mengesampingkan hal-hal yang belakangan aku tahu: rasional. Justru dalam kedinian usia aku dikenalkan dengan apa yang disebut kesadaran, kesadaran yang sesungguhnya. Ternyata hal-hal kecil itu, aku pahami mengantarkan pada Hadirat Ilahi. Semua pesona ini, tanpa sertifikat tetapi menjadikan aku tanpa keraguan melompat, mengejar momen, dan tidak sulit, sekarang ini, sekarang ini, sekarang ini....
Kawan-kawan, ayo kita nikmati sesuatu yang lengket di hati kita, sangat manis, sangat manis, angat manis....
Jumat, 18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar