Sedulurku tercinta, orang tua itu busur dan anak-anak itu panahnya, metafor ini disampaikan oleh menantunya Kanjeng Nabi, senada juga yang dikedepankan Khalil Gibran--anak2mu itu bukanlah anakmu, ia adalah anak kehidupan,engkau berhak menyayangi tapi tidak untuk pikirannya, karena mereka akan menghuni masa depan yang tidak mungkin kau temani abadi.
Begitu aku melihat anak-anak, terbayang prahara istriku, terkenag juga akan derita istri-strimu kawan. Aku ingat, manakala istriku mau melahirkan uang tidak punya--jelas kesalahanku kan. Makanya kalau detik-detik jabang bayi mau lahir dia aku tanya--melahirkan di rumah apa rumah sakit? Pasti dia menjawab dengan rona pucat pasi--tetap tersenyum, di rumah saja. Hal ini dalam diamnya ia tahu, tidak akan merepotkanku dengan seketika mencari dana rumah sakit.
Di tengah kesibukanku yang luar biasa, Allah memberi momentum bisa menunggui anak-anakku lahir, kebanyakan sebelum shubuh. Diantara sembilan anak itu, hanya satu yang melahirkan di rumah sakit Karyadi Semarang dan aku tidak menunggui, lagi-lagi alasan cari duit yang paling di cemaskan istriku itu. Pernah anakku yang nomer dua sebelum dukun bayi kampung datang, kepala sudah keluar maka secepat itu aku kangkangi tubuh istriku, dengan cara mendorong perutnya agar bayi bisa keluar, dan berhasil.
Memori jeritan kesakitan, pekik derita melahirkan menemani perjalanan hidupku, ini semua aku sadari produk polah pecicilanku itu. Kebersaman dalam proses persalinan bagai gendewo pinenthang (busur) melesatkan anak panah ke masa depan. Ada hak anak yang harus ditunaikan orang tua, menamai yang baik kala lahir, mendidik yang baik kala akalnya berkembang, menikahkan kala mereka sudah menemukan jodohnya.
Yang menjadi pusat perhatianku adalah memberi kasih sayang itu. Aku menyadari,pada umumnya umur orang tua itu hanya--paling banter--menemani sampai cucu atau cicit. Setelah itu berpisah oleh kematian, terkubur dan dipathoi loro (nisan dua), kalau pathok satu namanya tenger, karena pathoknya dua, jadinya thenger-thenger. Aku sadari sepenuhnya bahwa anak yang lahir itu pilihan Allah, setelah jutaan sperma bersaing ketat mau keluar jadi janin, makanya mengenang itu semua hatiku bersyukur dipercaya olehNya.
Syukur ini aku buktikan dengan sepenuhnya menyayangi mereka, sepenuhnya. Biarlah aku tebus derita, asal mereka bisa muluk sego (makan), bisa memperoleh pendidikan, dan merenda masa depan sesuai dengan karakter pribadi mereka masing-masing. Paling takut bagiku adalah manakala aku marah, sampai anakku memandang mataku tepat di bola mataku--aku langsung ingat pesan Kanjeng Nabi--perpalinglah dan alihkan pandangan, sebab kalau sampai di hatinya mendoakan keburukan, celakalah aku.
Aku menang kuasa tapi kalah oleh kesucian hati mereka, dimata Allah tak ada hijab. Jangankan memukul, Kanjeng Nabi pernah nggendong anak seseorang, tahu-tahu bayi itu pipis (kencing), lalu Ibunya--karena malu ke Kanjeng Nabi--langsung merebut dari gendongan beliau. Dengan lembut, lidah suci itu menegur Ibunya--Ibu...aku tahu engkau mengambil bayi ini dari pangkuanku karena mengencingiku, aku tidak apa-apa kok, kalau soal pakaianku ini kotor bisa dicuci, tetapi kasarmu mengambil dia dari pangkuanku, yang tidak bisa diganti....
Kawan-kawan, anak-anak panahmu, sayangilah, jangan kau sakiti, aku pun tidak rela dunia akhirat, karena mereka adalah anak-anakku juga, anak-anakku juga, jangan kau sakiti...
Lihatlah nanti kalau aku ketemu anak-anakmu itu pasti aku cium tangannya, sedalam cintaku, karena mereka lebih suci dariku.....
Senin, 07 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar