Sedulurku tercinta, ketika aku amati segenap pernik-pernik untuk memperindah busana lahiriyah, maka ketika berada di tangan desainer dan begitu jadi dipakai orang, maka orang itu menjadi sangat cantik dan gantheng, enak dipandang serta perlu. Aku mengenang derita Ayah Ibuku, bagai desainer itu memberiku pakaian cinta, aku mengenang Ayah Ibumu kawan bagai desainer itu yang memberimu pakaian cinta, dengan bukti nyata kau taburkan ke segala penjuru ini, sampai juga padaku dan aku bahagia menyaksikan busana desainan orang tuamu itu, keindahan adabmu--menyapaku.
Di mataku engkau bukan seonggok daging, tetapi dibalik senyummu derita orang tuamu nampak lebih terang aku kenang: mulai dari menata lahan cinta, kemudian menaburkan benih-benih kapas cinta, sampai memintal benang-benang cinta, terus menyusunnya menjadi lembaran-lembaran kain cinta, memotong kain-kain cinta itu untuk dijahit sesuai dengan ukuran-ukuran cinta, setelah semuanya selesai dimahkotakan kepadamu, lalu orang tuamu mengambil jarak denganmu, dipandangnya dari jauh dirimu, walau sedemikian panjang deritanya memahkotaimu dengan pakaian cinta itu, lihatlah dalam cermin hatimu kawan: beliau-beliau itu tersenyum, senyum kebahagiaan.
Kalau beliau-beliau itu sekarang sudah tiada, itu kan pandangan kongkrit mata kepala, tetapi pandangan mata hati dalam wujud mengenang: siapa yang bisa mendustakan ketelatenan cinta seperti itu, beliau-beliau selalu hadir mengelebat menemani perjalanan kita semua. Ada lagi, bukan kerabat, bukan saudara, tidak ada hubungan darah, tetapi atas nama cinta beliau-beliau itu melanjutkan derita orang tua memahkotai kita juga dengan pakaian cinta: dalam bentuk ilmu bertaburan cahaya. Jangan dipersoalkan masalah bahasa ya, beliau itu guru-guru kita. Beliau- beliau itu sangat senang melihatmu bermartabat, bisa punya apa saja sekarang: jabatan, uang, kehormatan berbagai jenis.
Ada lagi, mertua memberimu pakaian cinta, anaknya yang mendampingi hidupmu itu: dibesarkan, dipinterkan, setelah cantik dan gantheng pada puncak pandangan mata beliau, dikasihkan begitu saja dengan tanda-tanda jasa yang tidak imbang dengan derita sepanjang itu merawatnya. Mertuamu, orang tuamu menyaksikan kau berdampingan dalam pelaminan: tersenyum bahagia, disamping nyeri menanggung perpisahan denganmu dalam merengkuh hidup baru.
Tuhan berfirman: mereka pakaian bagimu dan kau pakaian bagi mereka. Ada lagi, cintanya kepadamu melebihi cinta orang tuamu kepadamu, melebihi cinta gurumu kepadamu, melebihi cinta mertuamu kepadamu, melebihi cinta siapapun dalam ranah ciptaan yang eksotik ini. Cinta beliau melintasi batas ruang dan waktu, cinta beliau abadi: membusanaimu dengan pernik-pernik syari'at, seperangkat aturan yang akan membingkai wujud cinta itu, sehingga ketika beliau memandangmu, pandangan sepenuh cinta, di balik selubung rahim dunia ini.
Dari beliaulah busana akhlak yang telah dimahkotakan kepada para sahabat, dan lihatlah dalam catatan sejarah, mereka sangat indah semua, pakaian itu dimahkotakan kepada orang-orang saleh: para Imam, tabi'in, sampai kepada orang tuamu itu.
Itulah cahaya Rasul kawan, secara kongkrit beliau telah tiada, tetapi secara pandangan abstraksi, dengan kenangan kasih sepanjang itu, melintai ruang dan waktu, dunia akhirat kita, menemani dalam ranah minimal setiap detik hidup kita. Untuk apa pernik-pernik busana itu, tiada lain supaya kita ini pantas dipandang Kekasih, Tuhan itu sendiri....
Kawan-kawan, dari lesan suci itu terucap: berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Tuhan. Supaya terukur pakaian cinta itu, maka beliaulah parameter dari segala kepantasan yang mengantarkan Tuhan tersenyum melihat kita, setelah Kanjeng Nabi itu--desainer kita—tersenyum….
Jumat, 18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar