Kamis, 17 Juni 2010

Rames Cinta

Sedulurku tercinta, sebagai perbandingan suasana hati, kesusahan dan kerepotan sedikit saja orang bisa putus harapan, sementara ada orang dengan tingkat kesusahan tinggi, tetap senyum da pasrah hidupnya. Ketika aku berangkat naik kereta bisnis ke Kenduri Cinta beserta dua anakku, begitu lepas dari Stasion Cirebon, tiba di sampingku seorang perempuan tua--aku tanya--umurnya 61 tahun, membawa dagangan makanan di kereta satu rinjing (baki), sendirian.

Belakangan aku tahu jualan nasi rames. Bisa kawan banyangkan bahan yang harus dibawa dengan berbgai jenis itu, disusun rapi sebagai persiapan bekerja, sendirian, aku pandang sebagai keaysikan. Aku foto-foto, dia tersenyum, senyum keikhlasan walau nampak sudah senja usia namun gigi-giginya masih utuh--bagai senyum pepsoden saja.

Maaf posisi duduk dia bentuk tahiyyat sembahyang dilantai kereta, aku tawari duduk di kursi jatahku enggak mau--sudah biasa katanya. Begitu penataan makanan rames sudah siap, aku ajak ngobrol. Namanya mBah Warni, bekerja di kereta itu sudah 38 tahun, keuntungan harian kalau sepi lumayan--katanya sambil senyum, 50 ribu rupiyah, kalau ramai mendekati 100 ribu. Suaminya kerja jualan karung di kampung, anaknya 15 orang, masih sembilan yang hidup.

Karena saking lelahnya, dialog ini diselingi ngantuk-ngantuk, sepertinya tidak peduli apa kata dunia, termasuk aku. Aku biarkan tidur sambil duduk, kepalanya disandarkan kursi kreta, pulaas banget, pakai kerudung biru, baju coklat tua, jarit coklat juga. Lalu aku bayangkan kesibukan dibalik itu semua datanya. Sementara aku bayangkan banyak Ibu rumah tangga duduk manis di rumah, uang dijamin, perginya hanya pelampiasan-pelampiasan--bukan mencari uang--tapi menghabiskan dana itu. Belum lagi perempuan-perempuan yang tak membayangkan dan menghadirkan derita suami di tempat kerja. Begitu sampai rumah, menyongsong tidak, kasih minuman kesukaannya tidak, menyapa tidak, tidur membaringkan kelelahan menemani tidak, bahkan manakala suami minta jatah--mereka tolak mentah-mentah. Makanya--kataku dalam hati--banyak rata-rata suami mati duluan, iya kan?

Tapi aku tersadar perempuan ini tidak begitu, ia seorang jawara, jagoan yang masyhur disisiNya, tak dikenal dunia, kecuali dikenang indah keluarganya. Padahal, jangankan sembilan anak dari limabelas itu, membereskan anak satu saja Kanjeng Nabi mengatakan--pahalanya setara dengan menghidupkan seluruh manusia, dan diganjar jihad fi sabilillah.

Tahu2, Ibu ini bangun--langsung senyum kepadaku--menkmati sebungkus makanan dengan lauk mendoan. Aku lihat begitu nikmat, bagai mengecup bibirNya, minum air putih dengan menggairahkan, bagai mereguk anggur cinta. Aku ngiler.

Dan aku bayangkan banyak orang makan dengan nasi mahal, lauk mahal namun tanpa hasrat indah itu, banyak orang minum dengan pengembaraan selera tapi tidak seperti kegairahan cinta seperti Ibu ini. Banyak yang tidur di rumah dan hotel dan apartemen yang eksotik, namun dirundung kegelisahan yang tanpa ujung, jadinya Allah cabut kenikmatan itu, hilang keberkahan dalam rasa hati itu.

Di tengah ujung menikmati makan--maaf--dengan keberanianku aku meminta, bolehkan sisa terakhir dari keberkahan makanmu Ibu, keberkahan umurmu Ibu, keberkahan rezekimu Ibu, keberkahan keluargamu Ibu, nasi ini kau suapkan kepadaku....

Kawan-kawan, dengan senyum Ibu, dengan keikhlasannya, aku sorongkan bibirku bagai kegairahan bayi di suapi Ibunya, Allahu Akbar, aku didulangnya, disuapinya.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar