Sedulurku tercinta, akal merenung lahirlah kecanggihan yang memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidup ini, sementara hati mengenang maka lahirlah Cinta yang dirasa dalam bentuk kegembiraan tiada tara dan ujungnya memusnahkan derita, apapun bentuknya. Derita musnah,karena dalam tatapan mata Cinta apa yang disebut derita sejauh neraka itu tujuan Dia adalah membersihkan kotoran-kotoran kekasih-kekasihNya ini. Sehingga kalau ada yang empati di dada,berarti di hati mereka Dia bermahkota.
Pagi ini aku duduk di sini [padahal sambil menulis], pada saat yang sama [nah ini canggihnya hati] aku mengenang jutaan memori yang tak mungkin aku goreskan dalam tulisan semua: aku mengenang Ayahku yang sakit batuk berdarah yang dengan setia Ibuku memijiti dan mengelus punggung beliau [saat itu aku umur kelas dua SD], aku mengenang pagi-pagi Ibuku menggoreng tempe dan aku menunggu di depan pawon [semacem tungku api] dengan saudara-saudaraku sampai sarapan pagi bersama [oh] di pandang Ibuku dengan senyum yang indah dan puas [saat itu ayahku sudah meninggal saat aku kelas dua SD], aku mengenang bersama kakakku menunggu sawah [saat padi menguning] dari serbuan burung-burung manyar pada suatu gubug yang sederhana namun eksotik suasananya, aku mengenang bersepeda menuju sekolah ke kota [saat sekolah SMP Muhammadiyah] yang berjarak enam kilometer dari desaku dengan berkejar-kejaran dengan teman-teman saking asyiknya, aku mengenang saat mandi di sungai bersama teman dengan akrobat-akrobat bagai di kolam renang termahal sekalipun, tetapi tak bisa menandingi menandingi keriangannya, aku mengenang "ngaji" di madrasah dan di musholla [langgar, surau pangung] yang selingi berbagai jenis permainan yang mewah [hehe, menurutku] semacam setinan; betengan; bal-balan; kasti; setruman; pencakkan; dan sebagainya itu, aku mengenang saat naksir seorang gadis desa [padahal masih kelas 6 SD] tetapi ditolaknya dengan senyum jemberut tetapi di mataku malah semakin nampak kecantikan wajahnya yang dibalut dengan kerudung selendang [sampai saat ini istriku aku minta pakai kerudung selendang], aku mengenang saat hujan turun di malam hari sayup-sayup terdengar musik rebana merdu merayu yang diiringi nyanyian binatang malam seperti gending kodok ngorek itu, aku mengenang semua guru-guruku yang sampai hari ini [atas kebajikannya] aku sangat dirundung malu karena tak mampu membalasnya kecuali dalam do'a-do'a indahku padanya [semoga dosanya diampuni, amal baiknya diterima, anak-anaknya sholeh sholehah sebagaimana telah mendidikku dulu], aku mengenang semua kerabatku yang menjadikan keyatimanku seolah hilang atas kehadiran cinta mereka itu menyekolahkanku, aku mengenang sebuah momen kala di pesantren seorang Kiai yang lembut akhlaknya: namanya K.H. Abdushshomad, ketika seluruh santri tak seorang pun memenuhi air kolam dengan menimba [padahal aku lurahnya, ketua santri] maka pada saat beliau [seperti biasa tahajjud abadi] tahu-tahu menimba air sumur, aku terperanjat dan lari mendekatinya dengan ketawadlu'an puncak dengan meminta biar aku sajalah yang mengerjakan memenuhi kolam yang besar itu, ternyata sambil tetap menimba air beliau [semoga Allah merahmatinya beserta seluruh keluarga beliau] menjawab dengan lembut dan nafas terengah: Bud, untuk malam ini karena mungkin santri-santri [bocah-bocah] kelelahan biarlah aku kerjakan dulu sampai penuh, aku juga ingin cari ganjaran kok, aku ingin menjadi hamba [kawulo] yang pandai bersyukur. Pada detik itulah aku tersungkur di lutut beliau, aku tempelkan pipiku ke sarung beliau yang basah kuyub itu, aku menangis tak habis-habisnya sampai menjelang subuh tiba, lalu aku cium tangan beliau begitu usai dan tangisku masih aku bawa kala berjama'ah subuh itu, sementara teman-teman santriku tidak ada yang tahu drama agung hiduku ini....
Kawan-kawan, aku yakin engkau semua memiliki memori-memori yang eksotik itu, yang menjadi inspirasi abadi hidupmu sehingga engkau bisa memilki kekuatan bertahan sampai hari ini, coba khabarkan kepadaku, khabarkan kepadaku, khabarkan kepadaku, wangimu itu kawan. Aku rindu akan wewangian hidupmu, apapun bentuknya itu dan aku yakin itu bersumber dari percikan yang percikan itu berasal dari samudra cintaNya, dari orang-orang yang mencintaiNya, dari perkara-perkara yang mendekatkan cinta kepadaNya itu. Di sini aku menunggu, bersamaan aku mengenang kebaikan siapapun kepadaku yang belum sempat terbalas itu: senyum indah anak-anak, kesetiaan istri, kebaikan mertua, kasih sayang orang tua, pertolongan teman-teman, sampai pada sepeda bututku yang sampai hari ini teronggok di pojok rumah kampung yang pernah menemaniku di hari-hari sulit itu. Termasuk wadah mangsi [tempat tinta dari gerusan batu batre yang hitam itu] untuk menggoreskan makna-makna kitab kuning, yang sampai hari ini menemaniku dalam sunyi muthola'ahku, pada sepertiga malam itu....
Ya Allah, ya Allah, ya Allah, bimbinglah daku: selalu, b e r s a m a M u.....
Selasa, 03 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tiada mawar yang tak berduri
BalasHapus