Selasa, 03 Mei 2011

Lambaian Cinta

Sedulurku tercinta, pada galibnya yang bicara itu lisan atau mulut, ternyata peristiwa juga bisa berkata bahkan Kanjeng Nabi saw menyatakan bahwa cukup kematian bisa menjadi "nasehat", dari sudut pandang apa saja, terutama kapan kita menyusul itu.

Pagi ini aku melihat bahwa tangan bisa berbicara, ketika aku mengantarkan pemberangkatan haji sahabatku di Cepu--Kiai Lilik, yang rumahnya aku sebut juga Rumah Cinta karena "well come" bagi siapa saja untuk sekedar jagong atau mau menginap--termasuk Anda, monggo saja. Rumah yang eksotik Jawa ini [karena serba ukir] bernilai milyaran ini, dibangun hanya untuk menghormati tamu-tamunya secara universe [tanpa sekat perbedaan apapun] sebagaimana diajarkan kekasih Allah itu.

Sejak semalam aku lihat sendiri orang sederhana yang murah tangannya ini karena sedemikian suka memberi sedekah kepada siapapun, termasuk yang paling utama adalah mengentaskan anak-anak yatim dan miskin, belum membantu sarana ibadah dan kepentingan umum, konon sikap ini keturunan dari ayahnya Haji Samadun, hati orang tuanya bernyanyi pada anaknya ini. Tamu yang hadir di rumahnya sedemikian tak putus-putusnya, mereka disamping mendo'akan lancar dan selamat serta diberi  kekuatan beribadah selama di Makkah Medinah, mereka rata-rata titip salam sama Kanjeng Nabi saw dan mohon dipanggil namanya agar bisa segera menyusul berangkat tahun-tahun berikutnya.

Peristiwa agung [menurutku] ini aku menjadi saksi bahwa yang bicara bukan mulut tetapi tangan-tangan itu, mereka datang membawa oleh-oleh [yang tak dikehendaki Kiai Lilik], tangan mereka saling berjabat tangan yang menunjukkan kehangatan paseduluran tanpa batas dan tepi ini, bahkan dalam suasana ketawadlu'an dan keharuan hati. Bahkan sampai pagi tadi, tangan-tangan penuh harap ini berbicara lebih keras dari sisi keharuan hati karena mereka akan saling berpisah untuk "munggah kaji" ini [walau keluarga Kiai Lilik ini sudah berkali-kali], keintiman yang begitu kenthal yang aku saksikan menjadikan pagi tadi penuh makna dan warna.

Setelah usai aku mengajak bershalawat dan bersama membaca talbiyah [labbaikallahumma labbaik labbaika lasyaikalakalabbaik innal hamda wannikmata lakawalmulk lasyarikalak], kembali tangan tangan itu bicara dalam suasana yang tambah mengharu biru: mas sugeng tindak [selamat jalan], pakde panggil aku njih, kiai panggil namaku ya, panggil aku, panggil aku, panggil aku, panggil aku! Mereka sambil berkerumun, berjubel dan berangkulan serta berjabat tangan dengan bersimbah airmata yang memata air, diam-diam aku larut dalam tangis ini.

Boleh tahu ada seorang sepuh yang sudah berumur tujuh puluh lebih--namanya mBah Suli, yang lewat keberkahan tangannya [dukun pijit dengan menyentuh] Allah memberikan keajaiban bisa sehat dan sembuh, termasuk Gus Ali Tulangan juga pernah beliau pijiti, aku pagi itu mencium tangan beliau dengan penuh ketawadlu'an juga, sambil berbisik di hatiku meniru Kanjeng Nabi kala menjabat seorang pemecah batu di sahara: dengan tanganmu ini mbah yang suka menolong orang dengan keikhlasan, engkau tak akan tersentuh oleh api neraka--ujungnya aku pun meneteskan airmata.

Diiringi talbiyah menggema rombongan keluar dari gang rumah Kiai Lilik ini, aku lihat kota Cepu yang kecil ini macet oleh para pengantar saudara-saudaranya yang naik haji ini, berkumpul menuju Masjid di Viatra Migas Cepu, se kloter 67. Pasar banyak yang tutup juga mengantarkan pemberangkatan sedulur-sedulur mereka ini, suasana mirip kesemarakan hari raya Idul Fitri saja. Aku mengamati pesona ini sambil berjalan kaki mengiringi Kiai Lilik dan keluarganya--termasuk mBah Suli--sejauh satu kilometer karena jalan penuh dengan pengantar.

Pesona keluarga lalu bergerak ke pasona se Cepu ini, mereka rata-rata bermata sembab karena banyak airmata tumpah antara yang mengantar dan yang berangkat itu, tangan-tangan saling berdamai, tangan-tangan saling berjabat basah oleh do'a-do'a indah: semoga menjadi haji mabrur dan mabrurah.

Begitu upacara se Cepu usai di serambi Masid Viatra Migas ini, aku lihat sendiri Kapolsek akan memandu perjalanan menuju Kabubaten Blora menuju Donohudan Solo, untuk berangkat esok hari, dengan mobil sedan patroli, diikuti Camat dan Lurah-lurah, tambah anak-anak pramuka yang mengumpulkan dana untuk saudara sebangsa yang baru terkena musibah itu. Lalu kembali tangan-tangan itu berjabat lagi dengan sedemikian erat--diiringi talbiyah dari loudspeaker Masjid--untuk yang terakhir kali karena setelah itu mereka berpisah, ya berpisah. Berpisah dengan orang-orang yang dicintainya: anak, dan kerabat handai tolan.

Aku merasakan juga keberatan itu kala aku sendiri naik haji tahun 1997, dimana aku berfikir dan sadar: kalau memang ini perjumpaan terkhir dengan istri dan anak-anakku, maka aku ciumi mereka satu-satu barangkali kalau aku mati di sana, paling tidak aku meninggalkan kenangan indah dalam hidup anak istriku, yakni kecupan cinta yang dirasakan abadi dalam hati anak istriku ini, inilah kecupan terakhir, maka tumpahlah airmata di antara kami, airmata cinta dan kasih sayang. Aku berbisik dengan bibir bergetar: Dik, aku pamit yah, Gus abah pamit yah, Gus aku pamit yah, Nok abah pamit yah, terbayang kalau aku mati dalam perjalanan suci ini sebagi tamu Allah,tamu yang bagai mayit itu--lalu aku usap kepala istri dan anak-anakku semua yang berjumlah sembilan itu.

Suasana indah itu aku saksikan pagi tadi di Cepu ini, bus-bus pengangkut jama'ah sudah bergerak seiring sirine mobil patroli meraung-raung, aku yakin senada juga raungan jiwa-jiwa antara harap dan cemas bisa kembali atau meninggal di tanah suci itu, bisa bertemu kembali atau tidak di tanah air tercinta ini, bisa bertemu kembali atau tidak di rumah-rumah mereka itu. Dan masya Allah, kembali aku lihat ribuan tangan-tangan itu melambai-lambai yang juga disambut lambaian saudara atau orang tuanya di balik kaca bus ber-Ac itu. Ribuan tangan itu bagai memekik do'a-do'a indah, lambaian tangan-tangan itu berbicara dengan lantang: wahai kakekku, wahai nenekku, wahai kedua orang tuaku, wahai saudaraku ambil tanganku kapan bisa menyusul kerinduan sucimu ini, kapan aku bisa berangkat untuk mewujudkan tanda sebagai hamba yang pandai bersyukur ini, selamat jalan, selamat jalan, selamat jalan, semoga selamat dan kita bisa bertemu kembali dalam dekapan cinta yang lebih baik lagi, disini....

Kawan-kawan, aku yakin pesona ini tak akan putus, sambung menyambung dari kampung sampai ke tanah suci yang di sana cinta dan rindu akan tertampung, sedunia. Sementara tangan-tangan itu melambai--lambaian cinta--dengan iringan talbiyah menggema, aku berdo'a dalam iringan airmata: semoga yang hormat semua ini Engkau beri jalan mudah untuk membayar cinta dan rindu sebagai bentuk nyata menjadi hambaMu yang pandai bersyukur, bisa berangkat "munggah kaji" walau sekali seumur hidupnya ini.

Sampai aku tulis pesona itu kali ini, aku berdo'a dengan kedalaman hatiku: semoga teman-teman facebookku ini ya Allah Engkau anugrahi kemudahan rizki sehingga seumur hidupnya--walau sekali ya Allah--bisa ziarah haji untuk ziarah juga ke makan kekasihMu, yang telah memperkenalkanMu, menujukkan jalan menujuMu, mewarisi kalam suciMu, yang tak tega atas neraka umatnya dan sepenuh harap beliau gendong umatnya menuju surgaMu, ya Allah, ya Allah, yaAllah, amin, amin, amin....

Labbaikallahummalabbaik….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar