Sedulurku tercinta, mungkin orang banyak yang jenuh lalu bosan dan apatis terhadap sejarah yang carut marut, dimana wajah anggun peradaban seolah lenyap dan tinggal kenangan. Kekerasan demi kekerasan menghiasi bumi, negara, keluarga dan diri sendiri, sehingga kesantunan hidup musnah dan nampaklah wajah beringas sebagai letupan kemarahan--mudah tersentil. Seolah keadaan ini mengotori kehidupan secara luas, tetapi tidak bagiku, kehidupan yang dicipta dengan cintaNya ini akan selalu memiliki harmoni, sementara kotoran itu akan dikembalikan kepada siapa yang mengotorinya.
Aku mendengar banyak orang yang gelisah dan tidak tenteram, aku mendengar keluarga yang terkoyak, aku mendengar kampung yang bentrok gara-gara pesoalan yang tidak jelas jluntrungnya, aku mendengar antar desa saling perang, aku mendengar antar wilayah porak poranda karena permusuhan, aku mendengar antar negara bersitegang karena perang berbagai kepentingan, aku mendengar, aku mendengar, aku mendengar.
Agama yang notabene menentramkan manusia ternyata diperalat juga untuk membenarkan konflik itu sehingga keadaan menjadi tambah tak terkendali, semua berujung kepada tragedi kemanusiaan: terkoyaknya jiwa-jiwa dan raga-raga. Ada sebuah syair yang mengatakan: aku heran ada orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, tetapi aku lebih heran lagi ada orang yang membeli dunia dengan agama, yang lebih mengherankan lagi dari keduanya adalah orang yang menjual agamanya dengan dunia, yang lain adalah orang yang menghutangkan agama itu--inilah yang lebih mengherankan lagi.
Dalam kaitan ini Rumi menyatakan: pertengkaran orang dewasa itu sama tidak berartinya dengan pertengkaran dunia kanak-kanak. Bahkan beliau menyatakan juga bahwa induk dari segala berhala adalah apa yang disebut: aku atau kami. Adalagi syair Jawa yang menyatakan bahwa b anyak orang yang tahu tentang dalil-dalil tetapi suka mengkafirkan pihak lain, sementara kafirnya diri sendiri tidak sempat digubris, kafirnya diri sendiri ini bentuknya adalah kotornya hati dan akalnya itu. Bukankah dalam realitas sosial sering terdengar: aku harus menang dan harus kuasa, hal ini menjadi ruh terjadinya konflik berkepanjangan, rumit dan jlimet itu. Bukankah dalam banyak kasus bentrok itu bagian dari pertentangan yang saling mencari klaim: kami harus menang dan harus kuasa, hal ini menjadi pembangkit peperangan yang tidak lucu itu.
Dimanakah "kita" dalam pengertian kebersamaan itu? Kita dalam komitmen sama-sama makhluk Sang Khalik, yang harus saling mengenal antar pribadi, suku dan bangsa itu. Kita dalam pengertian sebagai keluarga Tuhan semua, sebagaimana firmanNya itu: semua makhluk adalah keluargaKu. Ternyata aku lihat semua bentrok itu berada dalam lapisan buih--kalau diibaratkan samodra, dan buih itu semua berada di pinggir-pinggir pantai, di manapun--kata Rumi--kalau di pinggir pantai yang akan ditemukan adalah penjajah demi penjajah-- yang hanya berbicara kuasa bukan cinta.
Dalam sunyi di kedalaman semesta ternyata masih aku temukan butiran mutiara-mutiara yang tak terhingga banyaknya, dari sinilah aku selalu yakin terhadap cinta itu selalu ada dan abadi. Dan buih yang terapung itu ternyata akan lenyap lalu menjadi butiran-butiran pasir di pinggir pantai yang indah juga--di tanganNya. Cinta akan mensucikan segala yang najis, cinta akan mendekatkan segala yang jauh, cinta akan mendamaikan segala yang konflik, cinta akan mewangikan segala yang busuk, cinta akan meringankan segala yang berat, cinta akan menyembuhkan segala yang sakit, cinta akan memaafkan segala yang salah, cinta akan meng-emaskan segala yang tembaga, cinta akan menyambung segala yang putus, cinta akan memudahkan segala yang sulit, cinta akan memaniskan segala yang pahit, cinta akan menggembirakan segala yang menyusahkan, cinta akan mensenyumkan segala tangisan, cinta akan mensahayakan segala raja, cinta akan, cinta akan, cinta akan....
Kawan-kawan, sudah saatnya segala bentuk kekerasan dan pertentangan harus dihentikan, lebih-lebih kekerasan bernuansa agama dengan cahaya Cinta, di tengah puing peradaban jangan putus asa karena selalu ada cahaya, di tengah porandanya sejarah jangan putus harapan karena selalu ada harapan itu sendiri, abadi....
Rabu, 04 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar