Rabu, 04 Mei 2011

Ambillah Cinta

Sedulurku tercinta, dalam hidup aku punya sesanti [filosofi Jawa]: ojo rumongso biso nanging bisoho rumongso [jangan merasa sok. tetapi merasalah untuk tahu diri]. Kesadaran ini mudah bagiku karena hidup ini tadinya tidak ada, sekarang merasa ada dan kapan-kapan kembali ke tiada, hidup ini dari mana sekarang dimana dan setelah mati mau kemana. Inilah Jalan Misteri bagiku tetapi Nyata, nyata yang harus aku lalui, nyata yang harus aku nikmati, nyata yang harus aku sabari semua goresan hidup ini.

Bahkan ajaran yang aku sesap dari para "salafushsholeh" yang mengajarkan tentang "tahu diri" itu adalah: merasa hina, merasa bodoh, merasa lemah, dan merasa rendah itu. Dengan ini sudah selayaknya kalau ada yang menghina-hina diriku, membodoh-bodohkan diriku, melemah-lemahkan diriku, dan meremeh-remehkan diriku, yaya sudah selayaknya. Dalam keyatimanku sejak kecil, sudah mengajarkan bahwa tidak ada sandaran ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, dan hanya ada dua kemungkinan: ke bawah [alias mati] lalu ke atas [hanya Dia yang menjadikan aku tidak sendiri, ya ada Dia].

Reposisi ini menjadikanku hidup merasa ringan walau pas-pasan, menjadikanku selalu bergembira [bersyukur], aku merasa selalu ada cahaya dan selalu ada harapan--siang dan malam, dan merasa kenikmatan ini tiada bertepi, tiada tara--dari Dia. Aneh, pengusiran dunia dengan berbagai bentuknya ini, menggiring lagi pada posisi "keyatiman" itu, sehingga aku tidak berani melawan siapa pun, karena hal ini aku pandang "peranan" mereka menempatkanku pada posisi Dia bermahkota di hati ini. Kalau ada yang mengambil sesuatu dariku, aku tidak merasa kehilangan karena memang aku tidak berhak merasa punya apa-apa, kalau ada yang mengores hidupku dengan berbagai peristiwa, aku song-song dengan segenap hasrat yang menyala karena goresan apa pun hidup ini aku sadari "kado" terindah dari Dia.

Dalam prinsip ketauhidanku, Dia menyatakan: semua makhluk adalah keluargaKu, suara ini membawa diriku memandang bahwa semua adalah saudaraku, kalau orang tua adalah orang tuaku, kalau lebih tua adalah kakakku, kalau lebih muda adalah adikku, kalau anak-anak adalah anak-anakku juga. Inilah wilayah cintaku, karena itu aku tidak berani kepada mereka semua untuk menyakiti, sebab kalau aku menyakiti mereka maka jelas-jelas secara tauhid ini aku menyakiti Dia, mana aku berani, mana aku berani, mana aku berani.

Aku memilih disakiti, dihina, diremehkan, diolok-olok, diintimidasi, dibodoh-bodohkan, diusir, asal mereka bisa tersenyum. Senyum bagiku tidak sesederhana hanya sesungging itu, tetapi aku lihat Dia di dada mereka tersenyum, aku tidak sekedar menemukan Dia dalam tempat-tempat ibadah tetapi aku lebih intim menemukan Dia pada hati-hati milikNya itu, di jalan-jalan kehidupan ini--yang semuanya indah. Aku tidak sekedar melumat bibirku untuk membaca kalam-kalam suci tertulisnya yang pernah juga diucapkan oleh lidah suci Kanjeng Nabi saw itu, tetapi aku merasa kuyup oleh kalam-kalam Dia yang tidak tertulis ini namun bisa aku baca dan aku tancapkan di dadaku ini, sebagai manifestasi imanku.

Aku rangkul cahaya ini --siang dan malam, aku bayar dengan segenap derita dan kesusahan dan aku tidak minta tebusan karena ranah cinta tidak ada unsur transaksi. Dengan ini aku merasa hidupku ayem trentem bukan karena tanpa masalah, tetapi aku songsong segenap masalah sebagai pemanis iman ini bagai racun aku ubah menjadi madu. Dalam citra lahiriyah, aku relakan keremehan, dalam mata batinku apa yang disebut keremehan itu adalah mutiara yang berkilau sebenarnya. Dalam berbagai bentuk kehilangan dalam hidupku, ini bukan kehilangan karena apa yang disebut hilang pasti akan jatuh kepada "saudara-saudaraku" itu, tidak yang lain.

Siapa selain diriku itu kalau bukan milikNya? Aku memang tidak punya atribut apa-apa, jabatan apa-apa, tetapi aku merasa menjadi "raja" bagi diriku, sementara seluruh instrumen tubuhku adalah rakyatnya, aku hadapi diriku dan akan aku semakin sempurnakan instrumen diriku, bagai membikin senyum rakyat bagi pemimpin itu. Aku merasa bahwa ini dulu yang musti digarap, sebagaimana pesan Nabi: mulailah dari dirimu sendiri itu. Aku berfikir, kalau diri ini disharmoni mana mungkin bisa menebar cinta dan cahaya, aku tidak menunggu saudaraku mengambil apa-apa dari diriku tetapi aku datang dan menyerahkan apa-apa yang akan membikin senyumnya itu: ambillah, ambillah, ambillah....

Kawan-kawan, aku melihat kepasrahan semesta untuk manusia: ayam dipotong untuk kelaparan manusia, bayam dipangkas untuk kenyang manusia, pohon-pohon bagai nampak punya ribuan tangan yang menyodorkan buah-buahan kepada manusia, hewan-hewan disembelih untuk kepuasan manusia, padi ditumbuk, gandum dilumatkan dan seterusnya, semua ternyata untuk jamuan pesta para kekasih-kekasihNya, seburuk apapun mereka aku melihat bukan keburukannya tetapi semua ini aku pandang sentuhan lembut tanganNya itu, aku tahu Dia lebih tahu daripada tahuku....

1 komentar:

  1. subhanallah..alhamdulillah..masyaaAlloh.. laa haula wallaa quwwata illabillah.. sungguh luar biasa bening dan tulus hati yai. semoga aku ikut terperciki ketulusan dan keheningan itu. salam dari ungaran.🙏🏻

    BalasHapus