Sedulurku tercinta, prasangka baik itu landasannya, lalu mata kepala dan mata hati akan memandang semua ciptaan ini penuh pesona, dariNya itu. Mozaik semesta raya tentu ada dinamika, lika liku, pasang surut--mulur mungkret itu, belum susah senang malah terkadang kesedihan yang biasanya orang menyebut tragedi.
Musim alam mengajarkan akan adanya eksotika suasana dengan landasan bahwa perubahan itu sebagai "ketetapan", jadi hidup itu yang "tetap" adalah berubah ini. Makanya orang harus tenang setenang-tenangnya, bukan karena hidup tanpa masalah, namun kecerdasan mengatasi masalah itulah kuncinya ketenangan, lalu silahkan menatap musim-musim jiwa.
Misalnya orang merasa kehilangan karena disebabkan merasa memiliki, padahal hakekatnya manusia tidak punya apa-apa, bahkan ia hakekatnya: tidak ada, yang ada hanya Dia, Dia, Dia. Orang merasa berat akan tanggung jawab, pekerjaan menumpuk dengan berbagai jenis dan jumlah, yang semuanya ini biasa aku sebut goresan hidup. Namun bila kesadaran akan semua ini adalah wilayahNya, lalu hati pun bagai matahari memandang lilin-lilin itu, hatipun bagai samudra memandang sungai-sungai itu, dan manusia akan menemukan kemegahan dalam proses perjuangannya. Andai goresan ini berbenuk tragedi, sebenarnya itu cara Dia menyibakkan tirai-tirai hidup bagai Dia menyibakkan kelopak bunga teratai yang ternyata setelah terbuka bunga itu nampak bermahkotakan seribu bunga itu, indah kan?
Demikian juga manakala orang memandang semua ciptaan ini, dimana dunia ini bagai sebuah gunung, soal baik dan tidaknya tergantung suara hati manusia memekik itu. Dalam banyak kasus aku sering menerima keluhan-keluhan soal persuami istrian, dimana pasangan itu sebenarnya musti saling bercermin, ternyata banyak yang melakukan perjalanan cintanya dengan saling menuntut itu, bukan saling memberi dan menerima.
Maka dengan asumsi dasar di atas, mari disyukuri karunia yang ada ini, karena kadang perjodohan ini bukan kehendak kita tapi kehendakNya, makanya sebagian tanda-tanda kekuasaanNya adalah perjodohan itu, bagi yang mau berfikir. Bukankah dari sudut pandang ini, suami atau istri itu amanat: Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu. Apalagi yang perjodohan itu bagian dari kehendaknya sendiri, maka hal itu menyangkut tanggung jawab akan cintanya, jangan khawatir: siapapun yang berjalan dalam cinta maka ia akan selalu mendapat pertolongan, karena cinta itu percikan dari tetesan samudra cintaNya juga.
Aku pernah dikirimi foto sepasang suami istri, dimana suaminya sangat nggantheng dan gagah, sementara istrinya [amit sewu] buntung tak punya kaki, namun mereka begitu mesra dengan kedua anak mereka, dan tentu membayar dengan segala kerepotannya, serta suami itu tak malu menggandeng istrinya yang berladaskan papan beroda, atau menggendongnya kala menuju kemana-mana itu. Aku yakin suami itu memahami bahwa ia menjadi dutaNya dalam cinta yang bisa menjadi energi tak terhingga dalam pelayanan kepada istrinya dengan kesetiaan sepenuhnya. Aku melihat istrinya bisa tersenyum indah--menurutku--bagai senyum bidadari itu, indah, indah, indah.
Bukankah dimataNya, lelaki semacam itu menjadi saksi kasih sayangNya sementara perempuan itu menjadi saksi atas cintaNya juga, mereka saling bercermin--cermin cinta.
Berbeda dengan sang Sultan yang memandang Layla hanya sebatas barang dan tubuhnya, sementara ia tak melihat Dia yang sangat cantik, tersembunyi di hati Layla itu sehingga Layla menjadi merana di istana, bagai Ledy Diana itu yang merasa kerajaan bagai penjara bagi dia. Malah si Qois, walau bukan suaminya melihat dengan hatinya akan kecantikan Layla, sampai dia tergila-gila. Dalam kegilaan cintanya: ia tahan tidur, tahan lapar, tahan kehujanan dan kepanasan sampai goresan hidup apapun musnah di altar cintanya pada Layla. Sampai sajak-sajaknya bila didendangkan di waktu malam yang diterangi cahaya rembulan, bisa masuk dalam mimpi-mimpi Layla, dan Layla tahu itu, ada seseorang yang mencintai hatinya bukan tubuhnya.
Bahkan saking kangennya,Qois [si majnun itu] begitu ingin menatap wajah yang sangat amat dicintainya, biar tenteram hatinya, maka ia menunggu di pintu gerbang rumah Sultan itu sampai mengesampingkan waktu sudah berapa lama dia disitu. Ternyata saat pintu gerbang terbuka yang keluar bukan Layla, tetapi seekor anjing kurap, maka pada saat itu ia menggesa dengan bendendang puisi ria: Wahai Layla,betapa lama aku menunggu ingin menatap wajahmu, walau sekejab saja, aku sudah puas dan terima, namun yang keluar dari rumahmu ternyata anjing kurap ini, walau seburuk apapun anjing ini toh keluar dari rumahmu, maka akan aku cium dia, barangkali anjing ini pernah kau sentuh dengan tangan lembutmu.....
Kawan-kawan, metafor ini cukup kiranya menyadarkan kita akan keelokan sentuhan tanganNya, yang berwujud suami atau istri itu, sayangilah dia, cintailah dia, rengkuhlah dia, dekaplah dia biar hangat tubuh dan hatinya, biar tersenyum dia, maka Dia akan tersenyum kepadamu. Jangan kecewa, kalau dia kurang pandai memasak mungkin dia pandai merayumu, kalau dia kurang bisa mengurus apa-apa mungkin bisa kau pandang kecantikannya, kalau [punten] dia kurang cantik mungkin bisa kau rasakan dahsyat apanya [hahaha], kalau dia kurang sayang mungkin bisa kau buktikan bahwa dia sangat subur [alias metengan itu] sehingga permata hatimu banyak itu, kalau dia kurang apanya tetapi ia sangat rajin dan setia dan carilah sendiri kebaikannya sampai hilang keburukannya.
Dari sinilah Kanjeng Nabi berpesan: Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain....
Selamat Berbahagia kawan!!!
Selasa, 02 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar