Sedulurku tercinta, perjalanan hidup ini teramat sangat panjang--bagi Ruh malah abadi--bagai melintasi sahara tanpa tepi, sampai akhirat menanti. Masing-masing diri dan kelompoknya merupakan kafilah-kafilah pelintas tanpa batas itu, yang diantara mereka akan saling menolong dan melayani--menurut Rumi: setiap ikat pinggang kependetaan akan mewujud dalam bentuk pelayanan kemanusiaan.
Kanjeng Nabi saw juga menyatakan: orang akan dikumpulkan menurut siapa yang dicintai. Jadinya,kalau masing-masing diri dan kelomok ini memang menuju titik Yang Satu itu, maka jangan ada diantara kelompok: saling mengejek, saling menghina, saling memperolok, saling meremehkan, saling menghakimi, saling mendengki, saling riya', saling ujub, saling menyombongi, saling menjelekkan satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Misalnya hari ini [Selasa, 16 Desember 2010], ada yang merayakan hari raya Idul Qurban dan shalat Ied di lapangan atau halaman masjid--ada juga di dalam masjid. Namun ada yang akan merayakan hal ini besok pagi, sesuai dengan keyakinan kelompoknya masing-masing itu. Terlepas dalam tinjauan benar dan salahnya, masing-masing memiliki keyakinan yang benar--menurut kelompoknya, ini saja cukup menjadi alasan bahwa sebuah tindakan harus "direlakan", karena masing-masing diri dan kelompok ini akan menghadapi penilaian sejati di hari-hari perhitungan nanti, selesai.
Bagi orang yang berhari raya dengan menunggu saat Idul Fitri atau Idul Adlha, sebagai ungkapan rasa syukur atau kegembiraan berdasarkan "peraturan" tahunan ini tidak salah [masing-masing punya dasar dan alasan], tetapi ada juga orang yang merasa gembira bukan saja di hari-hari raya tahunan tetapi setiap hari bahkan setiap detik, karena orang semacam ini merasa gembira bukan sekedar berdasarkan kalkulasi minimal itu, namun berdasar atas adanya Tuhan bermahkota di hatinya, sepanjang waktu. Bahkan dalam berkurban juga demikian, tidak hanya sekedar ketika menunggu hari raya Qurban tetapi setiap waktu dirinya dikorbankan [tidak sekedar harta dan menyembelih hewan] dengan cara menyembelih banyak keinginan hayawaniyah yang ada dalam dirinya, demi kebaikan bersama baik diri, keluarga, masyarakat dan bangsa bahkan dunia raya ini.
Orang-orang semacam ini biasanya "disembunyikan" Tuhan [mastur], bagai mutiara disembunyikan Dia di kedalaman samudra itu, bila orang akan menemukan mutiara itu harus membawa sarana: perahu, melintasi gelombang lalu menyelam dan menjinakkan ikan-ikan yang "berthawaf" pada mutiara itu--baru bisa memethiknya. Dari metafor ini menunjukkan bahwa, kelompok-kelompok itu bagai perahu dengan segenap penumpangnya, sementara gelombang itu merupakan syarat "syari'ah" yang harus dilaluinya walau dengan membayar kesulitan dan derita, dan mutiaranya adalah hakekat yang dituju, yakni pencarian "harta tersembunyi" yang tak ternilai itu--dariNya.
Pertanyaanya adalah: bisakah orang menemukan mutiara bila dikala masih dalam pengarungan samudra itu sudah saling bertengkar dan bentrok atau perang antar perahu itu? Kalau sampai terjadi pertengkaran antar kelompok itu, Rumi menyatakan: pertengkaran orang dewasa sama tidak berartinya pertengkaran anak-anak kecil itu--orang Jawa bilang mburu uceng kelangan deleg. Kalau aku dengar, semua target kelompok-kelompok itu adalah surga namun kelucuannya adalah surga itu hanya akan dihuni oleh kelompok itu karena merekalah yang "paling benar" itu.
Aku sebut lucu karena bukankah surga itu seluas langit dan bumi yang tak bertepi ini, yang bisa dan muat di huni oleh semua makhlukNya itu sebagai "hidangan"Nya? Kalau semua tindakan keberibadatan ini hanya ditujukan untuk mencapai karunia surga, mereka semua tidak salah, tetapi ada kelompok yang melakukan tindakan keperibadatan itu hanya menjadi "sarana" mendekat kepada yang membikin surga--yakni Allah itu. Ya,makna Qurban itu adalah mendekat atau "taqarrub", dimana mendekat itu tidak sekedar dengan berbagai bentuk ritual keberagamaan, namun mencintai semua milikNya dengan berbagai bentuk juga.
Namun bila ada orang yang melakukan batas minimal dari cinta, yakni melakukan sesuatu berdasar atas peraturan "syair'ah" apalagi turun berdasar atas peraturan "fiqiyyah" [menurut abstraksi kelompok itu], itupun sudah bagus--amalan shalihan maqbulan. Tetapi ada yang melakukan berdasar akan cinta kepadaNya semata, tak pamrih sekedar surga itu bahkan tak takut karena neraka itu. Bagi pecinta sekelas ini bisa saja difahami, karena mereka memiliki dasar juga bahwa Tuhan ada dimana-mana, dan dimana ada Tuhan maka tak akan ada siksa atau neraka itu, makanya mereka dengan prinsip ini memilki hari raya setiap saat, bukan karena merasakan karunia bendawi tetapi karena mereka puas bahwa Tuhan bermahkota di hati, itulah surganya mereka.
Mereka ini punya ciri utama, yakni cintanya tak bertepi dan menghindar untuk melaknati milikNya karena takut akan dimarahiNya itu. Mereka ini selalu berhari raya, selalu berkurban, dan memiliki seruan: mari kita huni surga bersama seluruh anak Adam, karena neraka itu tidak ada bila Tuhan diyakini seyakin-yakinnya bahwa Dia ada dimana-mana, bagaimana bisa ada neraka bila Tuhan ada dimana-mana itu....
Bergembiralah kawan!!!!!
Rabu, 04 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar