Sedulurku tercinta, dalam pergantian siang dan malam hari selalu ada isyarat yang menjadi pelajaran bagi siapapun yang mau berfikir, apalagi siang malamnya jiwa yang disebut terang dan gelap hati. Manakala hati terang benderang semua nampak jelas, antara yang benar dan salah, antara baik dan buruk, dan antara indah dan tidak--hati bagai ada mataharinya. Namun ketika gelap hati, semua nampak hitam pekat--bagai malam gulita itu, memang ada rembulan yang kadang purnama, memang ada bintang tak berbilang di langit yang membentang, namun semua ini masih kelihatan samar cahayanya sehingga menjadi samar juga pandangan hati manusia.
Bila seseorang mengalami hal yang gulita ini maka harus menyadari akan adanya pergantian siang dan malam hari secara alami, demikian juga masalah suka dan duka itu berputar secara natural--bagai siang dan malam itu, dalam jiwa. Disamping kesadaran akan pergantian ini, orang harus cermat akan adanya hidayah pada setiap jengkal langkahnya, agar hidupnya tidak dipenuhi: kejengkelan, marah, ketergesaan, dan keputusasaan itu, setiap hari.
Bila seseorang terpanggil akan Cinta harus memahami antara pertemuan dan perpisahan itu, bagai menyadari akan adanya siang dan malam hari ini, dimana manakala bertemu maka pertemuan itu menjadi puncak keintiman antara kekasih dengan kekasih [dimana kata-kata sudah tidak dibutuhkan lagi], manakala berpisah maka bukti akan adanya Cinta itu adalah semakin intim dan intens juga antara kekasih dengan kekasih [cuma bentuk inten ini berupa nyeri rindu, yang menghasilkan puisi indah, bukan amarah].
Dengan ini bisa dilihat dengan nyata akan adanya Cinta atau tidak dalam diri seseorang, kalau ketemu kok malah dingin dan tidak nyambung, apalagi saat berpisah akan menjadi ajang kesempatan atas keterpisahan dengan tanpa adanya kenyerian rindu yang melahirkan "kidung suci", jelas bahwa seseorang itu di dadanya tak ada Cinta--demikianlah juga hamba kepada Tuhannya bagai kekasih dengan Kekasih itu.
Lihatlah Cinta seekor burung saja, ia sedemikian percaya akan adanya Cinta itu di dadanya: ia yakin dimana-mana ada karuniaNya sehingga tidak harus menumpuk harta seperti manusia ini, ia berkidung suci begitu saja tanpa transaksi--bukan seperti manusia bernyanyi atau ceramah ini, ia membangun sarang yang rentan akan goyangan angin topan pada ketinggian sebuah pohon itu beserta anak-anaknya tanpa rasa takut seperti takut yang dimilki manusia,dan masih banyak lagi sifat baik burung yang tak dimilki oleh manusia ini.
Ada seekor burung terbang kesana-kemari seharian--menyongsong rejeki--mencari makanan buat anak-anaknya di sarang, namun baru dapat rejeki setelah senja hari, maka ia belum sampai ke sarangnya sudah disergab gulita malam hari. Karena matanya gelap ketika tanpa cahaya matahari, maka ia bertengger pada sebuah ranting pohon di hutan belantara, memang ia lihat rembulan dan bintang gemintang di langit lazuardi namun baginya tak mencukupi matanya untuk meniti lorong malam, untuk kembali ke sarang--menyuapi anak-anaknya menanti sejak pagi hari.
Ia menangis ketika terdengar tawa ceria burung-burung yang sudah bertemu dengan keluarganya di sekeliling ranting tempat ia bertengger itu, lalu mereka bisa menina-bobokkan anak-anaknya dengan lagu-lagu binatang malam, namun tidak baginya karena ia masih dalam perjalanan untuk pulang--ke sarang dimana anak-anaknya menjelang. Semakin malam airmatanya semakin deras mengalir,matanya semakin gelap dan terasa hitam pekat namun tidak hatinya, karena mata hatinya "melihat" dengan jelas bahwa anak-anaknya menanti di sarang itu. Hatinya menghadirkan betapa laparnya anak-anak itu, betapa rindu anak-anak itu atas kedatangannya, selamatkah mereka selama ditinggalkannya, masih terjagakah kini atau sudah terlelap tidur atas dekapan kelaparannya?
Di puncak kerinduannya inilah burung itu berkidung padaNya--pada tengah malam: Ya Allah, selamatkan anak-anakku, lindungi mereka dari marabahaya, karuniaMu yang aku bawa belum sampai pada mereka, lewat akulah cintaMu pada mereka, kehadiranku bagi mereka adalah kesaksian cintaMu ini, biarlah aku lapar asal mereka kenyang ya Robb. Malam ini aku tidak bisa pulang ke sarang, memang banyak burung-burung di sekelilingku malam ini tetapi mereka asyik dengan keluarganya sendiri-sendiri, aku malam ini bagai di sahara tanpa tepi, aku pasrah kepadaMu, tolonglah bagaimana caraMu agar aku bisa pulang dan kesaksian cintaMu pada anak-anak itu menjadi terang benderang--bahwa aku pulang, aku pulang, aku pulang, aku pulang, aku pulang....
Kawan-kawan, datanglah seekor kunang-kunang mengitari burung itu sambil selalu terbang, ke kanan kirinya, ke depan belakangnya, ke atas bawahnya dengan cahaya kerlip-kerlip itu, sambil bilang dengan lembut dan merdu meratu: Wahai burung perindu anakmu, aku dengar tangismu atas kabar dari angin yang mendesir nan begitu dingin malam ini, aku ini orang kecil wahai kawan tetapi akuilah bahwa aku ini juga saudaramu sebelantara di hutan ini, aku tahu deritamu ini, maka aku tawarkan kepadamu supaya tangismu dan tangis anak-anakmu berhenti karena saling merindukan pertemuan malam ini, mari aku tuntun engkau saudaraku di tengah gulita malam ini dengan kecilnya cahayaku, untuk menuju sarangmu dimana anak-anakmu menunggu, dimana anak-anakmu merindu padamu, dimana anak-anakmu berbahagia bisa bertemu dengan dirimu, dimana anak-anakmu bisa terlelap tidur dalam dekapan sayapmu dalam keadaan perutnya terisi penuh karuniaNya yang masih kau bawa dalam kerongkonganmu....
mari kawan, mari, ikutilah cahaya kecilku, menuju dimana sarangmu....
Rabu, 04 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar